Siti Hajir, Berkisah dengan Motif Batik Jambi
Kain-kain batik yang sempat menumpuk di awal pandemi karena tak ada yang membeli disempurnakan oleh Siti Hajir lewat pewarnaan ”daur ulang”. Hasilnya, pembeli kembali berdatangan.
Setelah berbulan-bulan dihajar pandemi Covid-19, Siti Hajir (48) akhirnya bisa sedikit lega lantaran usahanya berangsur bangkit. Satu per satu pesanan kain batik datang dan para wisatawan mulai bertandang.
Aktivitas pembatikan kembali hidup di lantai bawah rumah Batik Siti Hajir di Kelurahan Jelmu, Kota Jambi. Ada pesanan 50 set kain batik dari istri Wakil Wali Kota Jambi, dr Nadia Maulana. Pekan sebelumnya, sudah ada pesanan 30 lembar kain dari Bank Indonesia Perwakilan Jambi dan 50 lembar kain batik dari Universitas Jambi. ”Kami mulai lega usaha batik dapat bertahan,” ujarnya, Rabu (5/11/2020).
Demi mengurangi ancaman penularan virus korona baru, para perajin dapat bekerja dari rumah masing-masing. Sejumlah mahasiswa magang yang biasanya membantu produksi juga diterapkan datang bergantian saja. Sementara itu, Siti Hajir dan Junaidi, sang suami, tetap rutin membatik di tempat itu.
Kain-kain batik hasil produksi di masa awal pandemi sempat menumpuk berbulan-bulan. Ada sekitar 500 kain batik menanti pembeli. Karena penjualan turun drastis, Siti perlu berhemat pengeluaran. Ia pun memanfaatkan masa-masa sepi itu untuk menyempurnakan pewarnaan pada kain batik yang telah jadi.
Ia menyebutnya daur ulang pewarnaan batik meski sebenarnya yang dimaksudkan bukan mewarnai di atas kain bekas, melainkan memperkaya pewarnaan pada batik yang telah jadi. Rangkaian proses yang panjang itu menghasilkan gradasi warna yang lebih memukau. Motifnya pun jadi berkesan timbul.
Sungguh tak terduga, kain-kain hasil olahan tersebut diminati pelanggan. Sebagian besar sudah langsung dipesan para relasi yang mengetahuinya dari hasil foto yang diunggah Junaidi lewat media sosial.
Perlahan, usaha itu pun menggapai normal. Tahun lalu, rata-rata 200 lembar kain batik terjual setiap bulan. Ketika pandemi menghantam, ekonomi terjungkal. Penjualan batik di kawasan itu jatuh ke titik terendah. Tanpa pembeli, rumah-rumah batik terasa sunyi.
”Selama masa pembatasan sosial, tak ada satu pun pembeli datang ke rumah. Kondisi yang begitu berat,” kenangnya.
Pembatasan sosial yang dikeluarkan pemerintah daerah meluas, mulai dari larangan untuk mengadakan pesta kondangan, imbauan beribadah di rumah, hingga menutup tempat wisata.
Kawasan Seberang Kota Jambi yang merupakan tempat pariwisata jadi sepi pengunjung. Termasuk sentra kerajinan batik yang menjadi salah satu aset kunjungan wisata meredup. Kontras dengan saat kondisi normal, banyak orang singgah untuk belajar membatik maupun berburu batik.
Saat okupansi hotel meningkat, penjualan batik biasanya turut terdongkrak. Banyak wisatawan yang menginap di hotel singgah ke sentra batik milik Siti. Namun, semuanya terhenti selama pandemi.
Strategi mendaur ulang pewarnaan akhirnya menghidupkan kembali pasar batik yang sempat meredup. Angka penjualan berangsur naik. Siti dan Junaidi optimistis usaha batik tetap bertahan dalam terpaan badai.
Motif asli
Terlebih batik tersebut memiliki ciri khas yang kuat. Siti Hajir merupakan generasi ketiga pembatik di Seberang Kota Jambi (Sekoja), kawasan wisata kota tua di seberang Sungai Batanghari, yang tetap mempertahankan motif lawasnya, seperti angso duo, sungai batanghari, durian pecah, dan kapal sanggat. Belakangan, motif baru muncul, tetapi masih mewakili identitas lokal, seperti burung kuaw dan keris siginjai. Motif-motif itulah yang membedakan batik Jambi dengan daerah lain.
Ia pun masih menonjolkan penggunaan warna-warna khas Jambi yang identik dengan merah hati, pinang masak, dan warna hijau daun. Warna-warna itu baru belakangan mulai berbaur dengan warna lainnya.
Siti mempertahankan pewarnaan dengan bahan alam, mulai dari rebusan jengkol, daun jambu, hingga kayu tinggi. Bisa dikata, ia adalah segelintir keturunan pembatik yang masih bergelut dalam pemanfaatan pewarna alam.
Buah jengkol dan serbuk kayu bulian dimanfaatkan untuk memberi warna coklat pada kain batiknya. Untuk warna krem, ia menggunakan rebusan daun jambu dan warna kuning dari rebusan nangka. Namun, Siti mulai terkendala mendapatkan bahan alam pewarnaan merah. Dulu warna merah didapat dari getah jernang. Bahan itu semakin sulit didapatkan. Harus masuk jauh ke dalam rimba.
Siti mengenang pada masa lalu neneknya telaten dalam pewarnaan. Kain direndam di dalam guci berisi air rebusan tanaman. Perendaman bisa seminggu dan berulang-ulang menghasilkan warna pada motif sangat indah. Awet hingga kini.
Selain bahan alam, Siti pun masih selalu tenggelam di balik goresan motif. ”Ada banyak cerita dapat tertuang di atas selembar kain batik,” katanya.
Suatu ketika seorang tamu duduk di samping Siti yang sedang menggoreskan motif kapal sanggat. Kain itu bergambar kapal dikelilingi ikan, kerang, dan binatang air lain. Sembari menggoreskan motif, cerita mengalir dari mulutnya. Sebuah kisah lawas tentang kapal yang kandas di hilir Sungai Batanghari. Cerita itu lalu diakhiri dengan pepatah.
”Berlayar sampai ke pulau, berjalan sampai ke tujuan,” katanya. Pepatah itu bermakna, siapa pun bilamana melakukan sebuah pekerjaan haruslah sampai tuntas. Jangan putus di tengah jalan.
Baginya, motif bukanlah sekadar motif. Siti ingin menghasilkan kain-kain yang berkisah. Itu sebabnya ia masih mempertahankan tradisi batik tulis di tengah masifnya produksi batik cap di Jambi.
Sejak kecil
Dunia batik telah lekat dalam kehidupan Siti Hajir sejak dirinya masih kecil. Keterampilan itu diwariskan mulai dari nenek kepada ibunya, lalu kepada dirinya. ”Sejak usia tujuh tahun, kami sudah bisa membatik,” kenangnya.
Di masa itu, batik Jambi belum menjadi bagian dari gaya hidup dan mode. Namun, ibunya getol menawarkan batik dengan pembayaran yang boleh dicicil.
Setiap kali membatik, Siti Hajir pun kerap menggoreskan namanya di salah satu tepian kain. Nama yang tergores di tepi kain kedapatan oleh sang ibu. Akhirnya nama Siti Hajir disematkan sebagai merek usaha batik keluarga itu.
Ketika usaha batik terus berkembang, sang ibu meninggal. Kepergian yang terbilang mendadak tahun 2000 itu mengentak seisi keluarga. Siti Hajir yang merupakan anak pertama dari empat bersaudara teringat pesan ibunya sebelum meninggal untuk menjadi pengganti sebagai tulang punggung keluarga.
Di masa awal kepergian sang ibu, kesulitan ekonomi melanda keluarga itu. Tetapi, sebagaimana kapal sanggat yang berlayar sampai di tujuan, Siti ingat untuk berjuang sampai selamat. Tak terbayangkan ketiga adiknya berhasil selamat dari ancaman putus sekolah. Ketiganya bahkan menjadi sarjana dari hasil keringat Siti membatik.
Dari situlah Siti semakin menyadari dunianya yang telah dekat dengan batik akan menjadi semakin lekat. Pernikahannya dengan Junaidi tahun 2007 semakin membuka jalan. Sang suami yang semula guru di salah satu sekolah menengah pertama memutuskan pensiun dini. Bersama-sama mereka mengembangkan usaha batik. Siti berfokus pada produksi, sedangkan Junaidi pada pemasaran dan pengembangan teknologi tepat guna.
Usaha batik pun terus berkembang. Mereka berharap pandemi segera berakhir agar kawasan Sekoja yang menjadi sentra batik Jambi dapat makin semarak.
Siti Hajir
Lahir: Jambi, 12 Januari 1972
Suami: Kemas Junaidi (45)
Anak:
- Nyimas Siti Nur Annisah (10)
- Kemas Rahmat Rizki Akbar (7)