Kasrin Endroprayono, Setia Menjadi Pemahat Batu di Muntilan
Kasrin Endroprayono membawa angin segar pada seni pahat batu di Desa Tamanagung, Muntilan, Jawa Tengah. Dia juga melahirkan banyak pemahat ulung sejak 1968.
Kasrin Endroprayono (79) termasuk generasi awal pemahat batu di Dusun Prumpung, Tamanagung, Muntilan, Jawa Tengah. Selain karya, ia juga melahirkan banyak pemahat ulung sejak 1968. Sebagian dari mereka adalah anak-anak putus sekolah yang dididik Kasrin di sanggarnya.
Anak-anak didik Kasrin banyak yang telah mendirikan sanggar sendiri dan karya mereka dikirim ke sejumlah daerah di Indonesia hingga mancanegara. Kasrin senang karena mereka tak pernah melupakan jasanya.
”Anak-anak (para perajin) selalu mengunjungi saya, memberi buah tangan saat Lebaran. Mereka memanggil saya ’Bapak’,” ujar Kasrin saat ditemui di Muntilan, Jumat (23/10/2020).
Hingga saat ini di usianya yang 79 tahun, Kasrin masih berkarya. ”Saya belum berhenti karena saya tidak suka menganggur,” ujarnya.
Agustus lalu, dia diminta membuat patung kepala Buddha untuk ditempatkan di salah satu wihara di Kabupaten Temanggung. Di luar itu, ia juga memiliki sejumlah pesanan dari beberapa pihak. Sebagian telah selesai, sebagian lagi belum.
Kasrin adalah anak Wirodikromo, warga Desa Tamanagung, Muntilan, yang dikenal sebagai perajin batu. Wirodikromo termasuk perajin yang dilibatkan dalam restorasi ke-2 Candi Borobudur pada 1973-1983. Keterampilan memahat batu lantas ia turunkan kepada Kasrin. Setelah mahir, Kasrin meneruskan pekerjaan ayahnya sebagai perajin batu.
Tahun 1960-an, kerajinan batu yang dibuat warga Dusun Prumpung, Tamanagung, umumnya berupa batu nisan, ubin, dan batu umpak tempat meletakkan tiang penyangga rumah. Semua produk yang dibuat lebih mengedepankan fungsi daripada cita rasa seni.
Kasrin mencoba untuk memasukkan unsur seni sehingga karyanya berbeda dengan perajin lain. Awalnya, ia mengukir gambar yang ada di topeng Penthul Tembem, tari topeng tradisional khas Jawa Timur, di atas batu. Setelah jadi, karya kreasi baru berupa itu ia letakkan saja di depan rumah lantaran ia bingung menjualnya.
Tanpa disangka, patung itu menarik perhatian seorang pengunjung asal Medan, Sumatera Utara, yang kebetulan lewat di depan rumahnya. Ia membeli karya itu seharga Rp 3.000. Harga itu jauh di atas rata-rata harga produk batu pada era 60-an atau 70-an. Bahkan, karya ayahnya saja biasanya dihargai Rp 5.000-Rp 7.000 untuk 20-an potong.
Inspirasi Borobudur
Tak berapa lama, pembeli dari Medan itu datang lagi dan memesan patung kepala Buddha. Karena belum pernah membuat patung kepala Buddha, Kasrin ragu-ragu. Namun, pembeli itu terus memberi semangat. Ia menyarankan Kasrin untuk meniru kepala Buddha yang ada di Candi Borobudur.
Kasrin menyanggupi permintaan itu. Sesuai dengan saran pemesan, sebelum berkarya ia terlebih dahulu datang dan melihat kepala Buddha yang ada di Candi Borobudur. Ia merekam gambaran wajah Sang Buddha dalam ingatannya. Kepala Buddha ia ukur secara manual menggunakan jari.
Kasrin kemudian pulang ke rumah dan mulai mengukir batu. Ternyata, pekerjaan ini tidak mudah. Ia kerap lupa detail kepala Buddha yang ada di Candi Borobudur. Karena itu, ia kerap menghentikan pekerjaan dan pergi ke Candi Borobudur untuk melihat kembali kepala Buddha di sana.
Pesanan itu akhirnya baru bisa saya selesaikan setelah lima kali bolak-balik ke Candi Borobudur.
”Pesanan itu akhirnya baru bisa saya selesaikan setelah lima kali bolak-balik ke Candi Borobudur,” ujarnya.
Pemesan patung kepala Buddha itu puas dengan karya Kasrin. Ia membelinya seharga Rp 3.000. Sejak saat itu, Kasrin makin semangat berkarya. Ia memutuskan menjadikan Candi Borobudur sebagai sumber inspirasinya dalam berkarya. Ia tidak hanya membuat patung kepala Buddha, tetapi juga memindahkan ukiran relief di Candi Borobudur ke dalam karya-karyanya.
Kreasi Karsin membuat karyanya bernuansa klasik. Ia terus menggali inspirasi dari sejumlah candi di Magelang selama 10 tahun hingga 1968. Setelah itu, dia mengembangkan kreasi lain. Ia mengukir batu dengan mengambil obyek-obyek nyata yang ada di alam, seperti satwa dan bunga.
Kreasi-kreasi itu membuat Kasrin terkenal dan menerima banyak pesanan. Kasrin, yang tidak ingin sukses sendiri, mengajak sejumlah kerabatnya untuk berlatih memahat batu. Ia kemudian mendirikan Sanggar Syailendra pada 1968 untuk menampung para remaja dan anak-anak putus sekolah yang ingin belajar memahat dan mengukir batu.
Anak-anak didiknya belakangan mendirikan sanggar sendiri dan memutar roda perekonomian desa. Karena banyaknya perajin, Desa Tamanagung menjadi sentra kerajinan batu, terutama di Dusun Prumpung yang berada di tepi jalur utama Yogyakarta-Magelang.
Sebagai pemahat batu senior, Kasrin terus didatangi banyak warga atau siswa SMA dan SMK yang ingin belajar memahat batu. Ia melayani mereka dan tidak meminta bayaran. Bahkan, ia tidak menuntut bayaran pada turis asing yang belajar memahat batu selama seminggu di sanggarnya.
”Bapak (Kasrin) tidak meminta apa-apa. Pada akhirnya justru kami yang repot karena harus melayani warga asing yang datang menginap dan tidak bisa mengonsumsi nasi,” ujar Yoga, putra sulung Kasrin.
Kasrin ingat, orangtuanya pernah berpesan agar ia sungguh-sungguh menekuni dunia pahat batu. Dengan ketekunan, suatu saat batu akan memberikan pengalaman berharga, membawa Kasrin terbang jauh, dan menyeberangi lautan.
Semula, Kasrin tidak memahami pesan tersebut. Belakangan, ia terkejut karena apa yang disampaikan orangtuanya benar-benar terjadi. Tahun 2003, dia didatangi seorang pelanggan asal Belanda yang memintanya membuat karya yang menggambarkan situasi di Asia.
Kasrin menyanggupi permintaan itu. Ratusan batu dari lereng Gunung Merapi diangkut menggunakan kapal, sedangkan dia dan putranya, Yoga, pergi ke Belanda menggunakan pesawat. Untuk mengerjakan karya itu, Yoga dan Kasrin tinggal di Belanda selama 1,5 bulan. Pekerjaan menata batuan dilakukan pada Senin-Jumat. Sabtu-Minggu, mereka diajak jalan-jalan menikmati suasana Eropa.
”Kami pernah diajak jalan-jalan ke sejumlah negara seperti Inggris dan India,” ujar Kasrin yang karyanya tersebar ke sejumlah negara, seperti Singapura, Taiwan, dan sejumlah negara Eropa.
Di usianya yang lanjut, Kasrin masih setia berkarya di jalur pahat batu. ”Selagi mampu, saya masih akan terus berkarya,” ujarnya.
Kasrin Endroprayono
Lahir: Magelang, tahun 1941
Istri: Jumiati
Anak:
- Yoga Budiwantoro (50)
- Dwi Edi Susilo (45)
- Tri Mulyani (40)