Veronika Ata, Mengabdi untuk Korban Kekerasan di NTT
Separuh hidup Veronika Ata atau Tori Ata dihabiskan untuk mendampingi perempuan korban kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·5 menit baca
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Nusa Tenggara Timur seperti fenomena gunung es. Selama 16 tahun, Veronika Ata menangani sebagian saja dari banyak kasus yang muncul. Ia membangun jaringan untuk memutus kasus-kasus kekerasan.
Begitu mendengar kabar masyarakat adat Pubabu, Timor Tengah Selatan, digusur dari hutan adat oleh Pemerintah Provinsi NTT, pertengahan Agustus lalu, Veronika Ata langsung bergerak. Ia mengajak sejumlah perempuan menuju lokasi kejadian untuk memantau dampak penggusuran pada perempuan dan anak-anak.
”Malam itu anak-anak dan perempuan tidur di tenda darurat beralaskan terpal tipis, langsung di atas tanah bebatuan. Ada yang belum makan sejak siang ketika rumah mereka digusur paksa oleh Satpol PP. Barang-barang mereka dipindahkan entah ke mana, termasuk stok makanan,” tutur Veronika yang biasa disapa Tori Ata di Kupang, Selasa (3/11/2020).
Nalurinya sebagai ibu dan perempuan kian terusik ketika menyaksikan anak-anak korban penggusuran minta minum susu, makan dan tidur di tempat tidur. ”Demi rasa kemanusiaan, saya meminta aparat keamanan dan Satpol PP agar sebelum menggusur menyiapkan rumah baru untuk warga,” tambahnya.
Akibat penggusuran paksa yang disertai kekerasan itu, Tori Ata mencatat 74 anak mulai bayi hingga remaja SMA mengalami trauma. Hal serupa terjadi pada kaum perempuan. Mereka terancam kehilangan seganya termasuk tanah warisan leluhur yang sedang mereka perjuangkan. Ia menggalang bantuan seperti pakaian layak pakai, kental manis, bahan kebutuhan perempuan remaja, dan makanan siap saji untuk warga yang tergusur.
”Saya selalu meluangkan waktu hadir di sana, membantu ala kadarnya, sekaligus memberi peneguhan. Jika tidak, berkomunikasi melalui ponsel sekadar mengikuti perkembangan,” kata Tori Ata. Ia khawatir nasib mereka tidak tertangani sampai musim hujan 2020/2021. Saat ini saja sebagian dari mereka mulai terserang penyakit batuk, demam, dan lain-lain
Separuh hidup
Hampir separuh hidup Tori Ata mengabdi untuk masyarakat. Seusai menyelesaikan pendidikan sarjana hukum tahun 1991, ia bergabung dengan Yayasan Cinta Damai tahun 1992. Tiga tahun berikutnya, ia mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Yusticia. Pada 2004, ia mendirikan Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak Nusa Tenggara Timur (LPA NTT).
Lembaga ini berjejaring dengan sejumlah LSM yang peduli terhadap masalah perempuan dan anak NTT. Selain itu, LPA NTT juga bekerja sama dengan LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) dan sejumlah psikolog.
”Januari sampai dengan Oktober 2020 ada 37 kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di NTT. Ini data yang sempat terekam oleh LPA melalui laporan langsung dan hasil investigasi, tidak termasuk data dari kepolisian dan media massa atau media sosial. Masih banyak kasus tindak kekerasan seksual yang tidak terungkap,” katanya.
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di NTT, lanjut Tori Ata, ibarat gunung es. Itu terjadi lantaran masyarakat merasa tabu membicarakan tindak kekerasan dalam keluarga, apalagi terkait kekerasan seksual. Padahal, pelaku kekerasan seksual 97 persen adalah orang dekat, yakni ayah kandung, ayah tiri, saudara kandung, kakek, sepupu, keponakan, kemenakan, dan tetangga. Korban tahu siapa pelaku kekerasan, tetapi takut mengungkap karena diancam dibunuh atau diiming-imingi kuliah di perguruan tinggi atau diberi barang berharga.
Pemerkosaan oleh orang dekat bisa berlangsung belasan tahun. Tori Ata memberi contoh satu kasus pemerkosaan terhadap seorang anak oleh ayah kandung di Kupang selama belasan tahun. Pertama korban diperkosa saat berusia 10 tahun dan terus berlangsung saat ia berusia 24 tahun. Setelah korban duduk di bangku kuliah, ia baru berani mengungkap kasus itu kepada LPA dan Yayasan Rumah Perempuan. ”Dia sampai pingsan saat menceritakan kasusnya,” kenang Tori Ata.
Ada pula kasus pemerkosaan terhadap tiga anak perempuan, kakak beradik, yang dilakukan oleh ayah kandungnya. Pelaku pertama kali memerkosa anak perempuannya yang sulung saat ia 10 tahun. Dua tahun kemudian ia memerkosa anak perempuan kedua yang berusia 9 tahun, dan terakhir memerkosa anak perempuan ketiga yang berusia 8 tahun. Ironisnya istrinya tahu perilaku biadab itu, tetapi tak berani mengungkapkannya. Kasus itu akhirnya diungkap korban pertama kepada pamannya.
Pemerkosaan juga sering menimpa anak perempuan ketika orangtuanya bekerja sebagai TKI di luar negeri. Biasanya anak dititipkan di rumah kakek-neneknya. Pemerkosanya biasanya kakek, paman, atau saudara sepupu korban.
”Saya begitu terenyuh, susah tidur manakala kasus-kasus tindak kekerasan seksual terhadap anak–anak di bawah umur terus terjadi dengan ancaman pembunuhan. Para korban itu menderita seumur hidup, masa depan mereka hancur, tetapi para pelaku dan orang-orang dekat tidak pernah sadar akan hal ini,” kata Tori Ata gemas.
Tori Ata berusaha mendampingi korban hingga proses pemulihan psikis dan trauma. Bersama jaringannya, ia memberdayakan para korban dengan aneka pelatihan membuat kerajinan. Hasil kerja mereka dibeli oleh Ata atau para sukarelawan.
Jika para pelaku diproses sampai masuk penjara, Tori Ata merasa legah karena akan ada pertobatan pelaku. Korban pun merasa puas, dan tidak takut lagi berada di lingkungan keluarga. ”Para korban selalu didampingi psikolog yang difasilitas LPA,” katanya.
Tiga tahun terakhir, NTT masuk zona darurat tidak kekerasan seksual dan KDRT. Kasus tindak kekerasan seksual dan KDRT ini menyebar rata di seluruh NTT seperti Rote Ndao, Lembata, Sikka, Kota Kupang, dan Sumba.
Selain tindak kekerasan seksual, kasus KDRT pun terus meningkat terutama di masa pandemi Covid-19. Suami kehilangan pekerjaan yang berdampak pada ekonomi rumah tangga, perselingkuhan, dan ketidakcocokan. Dalam satu hari bisa terjadi 30-50 KDRT, tetapi jarang terekspose.
Tori Ata berharap, gerakan yang dibangun para sukarelawan bisa mengeluarkan NTT dari zona darurat kasus kekerasan seksual dan KDRT.