Agus Maulana Pemandu Wisata Alam Anak
Dengan penuh kesabaran, Agus Maulana mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus untuk mengarungi alam.
Alam adalah guru terbaik. Dengan semangat itu, Agus Maulana (25), pemandu perjalanan, mengajak anak-anak dengan gangguan spektrum autisme untuk berguru pada alam. Perjalanan menembus alam sangat berguna bagi anak-anak spesial untuk berlatih fokus, adaptasi, serta gerak tangan dan kaki.
Pada Selasa (28/10/2020), Agus berjalan lincah menyusuri sungai di Curug Kalimata, di Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Bogor, Jawa Barat. Ia trekking bersama Efraim, remaja laki-laki berusia 14 tahun, yang tumbuh dengan gangguan autisme.
Cuaca pagi itu cerah menemani langkah mereka. Sepanjang jalan terdengar suara sungai bergemuruh. Tinggi aliran air mencapai 100 sentimeter, cukup tinggi mengingat ini merupakan sisa aliran air hujan yang mengguyur kota Jakarta dan Bogor sehari sebelumnya.
Agus menuturkan, Curug Kalimata kurang diminati masyarakat yang ingin berlibur ke air terjun karena jalurnya terlalu panjang dan berat. Jalur sepanjang 4 kilometer ini melewati jalan setapak yang naik dan turun kemudian dilanjutkan menyusuri sungai. Bebatuan besar dengan aliran air yang cukup deras membuat perjalanan semakin menantang.
Waktu tempuh perjalanan mencapai sekitar 1 jam. Berbeda dengan air terjun lainnya, seperti Curug Kencana, yang bisa ditempuh selama 20 menit dengan kendaraan bermotor dari pos pemberangkatan pengunjung. Meskipun kurang diminati masyarakat, Curug Kalimata sangat bagus untuk terapi anak-anak berkebutuhan khusus.
”Anak bisa merasakan pengalaman menyusuri sungai yang cukup menantang. Di air, mereka berlatih fokus, adaptasi, serta motorik tangan dan kaki. Air juga membuat anak-anak merasa tenang,” kata pendiri komunitas Sentul Hill Trekking ini.
Di Curug Kalimata, Agus melangkah pasti. Ada kalanya, ia berjalan di depan Efraim. Tak jarang, Agus melangkah di belakang mengawasi bocah itu melewati batu-batu besar.
Berdasarakan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2008), ada sekitar 2,4 juta penyandang autisme di Indonesia dengan pertambahan penyandang baru 500 orang per tahun. Diperkirakan jumlah anak dengan sindrom autisme semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah kunjungan anak ke klinik tumbuh kembang setiap tahun.
Anak dengan autisme umumnya mempunyai gejala umum sulit berkomunikasi, sulit interaksi sosial, minat obsesif, dan perilaku repertitif. Agus dituntut untuk memahami karakter setiap anak, mempelajari suasana hati mereka, serta luwes mengajak anak beradaptasi dengan alam.
Menurut Agus, tantangan terbesar mendampingi anak berkebutuhan khusus adalah ketika mereka sedang tantrum, seperti menangis atau marah. Anak dengan autisme kerap menunjukkan sikap tidak nyaman karena tidak terbiasa memakai baju yang basah diguyur hujan. Beberapa anak juga merasa jijik mengenakan sepatu yang kotor kena lumpur.
Di hadapan alam, anak-anak kemudian ditempa untuk berhadapan dengan rasa tidak nyaman itu. Anak juga harus bisa menguasai diri ketika mereka bertemu serangga, lumpur, atau bebatuan. Kemampuan beradaptasi kemudian terbawa dalam kehidupan sehari-hari.
Agus mengatakan, anak-anak biasanya marah kalau keinginan mereka tidak dipenuhi. ”Saya sudah terbiasa dipukul atau dicubit,” katanya. Ketika anak marah, Agus berusaha memahami keinginan mereka. Kalau anak marah karena ingin berenang, misalnya, ia memberi kesempatan anak berenang dengan waktu yang sudah disepakai. Lama-kelamaan anak tidak akan marah lagi. Anak juga belajar mematuhi kesepakatan.
Bagi Agus, bekerja sebagai pendamping anak berkebutuhan khusus memang sangat menantang. Melihat orangtua dan anak-anak berkebutuhan khusus yang sangat hebat membuat Agus merasa terpanggil untuk ikut berperan. ”Anak dan orangtua mereka tidak mudah menyerah, itu yang bikin saya kagum,” jelasnya.
Ia pernah mendampingi anak yang terperosok dalam lubang. Anak menangis kesakitan karena terimpit batu. Sambil ikut menangis, sang ibu berusaha mengeluarkan kaki anaknya dari lubang. Melihat peristiwa itu, Agus ikut terharu perjuangan ibu dan anak. Dengan bantuan warga setempat, anak tersebut akhirnya bisa keluar dari lubang. Pengalaman itu sangat berarti dan membuat Agus semakin yakin melangkah dalam hidupnya.
Menantang
Agus merupakan lulusan SMK Galileo jurusan teknik mesin. Ia pernah kerja di pabrik sepatu selama 1,5 tahun. Hobi naik gunung dan menyusuri sungai membuat Agus mendirikan EO yang bergerak di bidang kegiatan alam. Pada 2016, ia berkenalan dengan Ibu Susan, dari Sensory Lab Indonesia. Dari Ibu Susan, Agus mengenal anak-anak dengan autisme. Ia kemudian mengikuti pelatihan sebagai penamping anak-anak berkebutuhan khusus.
Sejak empat tahun lalu, Agus bekerja di Sensory Lab Indonesia sebagai pendamping anak berkebutuhan khusus. Hampir setiap hari, Agus mengajak anak masuk keluar hutan. Namun, pandemi mengubah segalanya. Kegiatan Sensory Lab Indonesia berhenti beroperasi. Kini Agus solo karier mendampingi anak-anak dan orang dewasa yang ingin trekking di alam.
Dari teknik mesin ke pekerjaan sebagai pendamping anak memang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Ia hanya mengikuti bagaimana alam memberi pekerjaan dan kehidupan. Selain mengikuti kecintaannya kepada alam, pekerjaan ini sekaligus membuatnya merasa menjadi manusia berguna.
Bagi anak-anak berkebutuhan khusus, perjalanan menembus hutan belatara ini dilakukan tidak semata-mata mencapai tujuan. Sebaliknya, perjalanan dilakukan sebagai pembelajaran. Dalam setiap trip, Agus mengusahakan ada pos pemberhentian yang menjadi sarana belajar anak. Di pos itu, ia memberi anak tantangan-tantangan sederhana untuk melatih fokus, konsentrasi, serta koordinasi tangan dan kaki. Latihan disesuaikan kebutuhan anak. Untuk Efraim, misalnya, diutamakan untuk meningkatkan fokus. Efraim termasuk anak yang suka dengan kegiatan outdoor. Namun, ketika dipanggil ia tidak cepat menanggapi.
Di tengah-tengah perjalanan, Agus memanggil Efraim yang sedang berdiri di atas batu besar. ”Efraim! Efraim!” teriak Agus. Lebih dari tiga kali Agus memanggil, tetapi bocah itu tetap bergeming. Setelah namanya dipanggil berkali-kali, akhirnya Efraim menoleh. ”Efraim, bantu saya naik!” kata Agus. Efraim memandang sekilas ke arah Agus, kemudian ia kembali masuk dalam dunianya. ”Efraim, bantu saya naik!” teriak Agus lebih tegas.
Baca juga : Tan Novita dan Ovy Sabrina, Pendaur Ulang Sampah Saset
Efraim terlihat berpikir sejenak, mempertimbangkan apa yang harus dilakukan. Ia lalu bergerak, melewati bebatuan dengan langkah-langkah yang panjang untuk menghampiri Agus. Remaja itu mengulurkan tangan untuk membantu Agus naik ke batu yang besar.
Agus mengatakan, setiap kali melihat pertumbuhan anak, ia merasa bangga dengan dirinya sendiri. ”Progress itu tidak secepat orang makan cabai lalu kepedesan. Tetapi, sekecil apa pun progress anak-anak, bagi saya itu sangat berarti,” ujar Agus.
Agus Maulana
Lahir: Bogor, 11 Agustus 1995
Pendidikan: Jurusan Teknik Mesin SMK Galileo Bogor