Yustinus Anang Jatmiko, Menggambar untuk Asah Kepekaan
Yustinus Anang Jatmiko mengkritik berbagai masalah sosial melalui kartun dan karikatur. Tak segan-segan, dia membagi ilmunya untuk mengasah bakat anak-anak menggambar.
Yustinus Anang Jatmiko (49) menyebarkan semangat berekspresi melalui gambar kepada banyak orang. Secara sukarela, dia berbagi ilmu kepada siapa saja yang datang ke rumahnya dan taman bacaan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Selama lebih dari sepuluh tahun, Anang berkarya dan meraih prestasi di ajang lomba kartun tingkat nasional dan internasional. Warga Desa Ngablak, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, sukarela berbagi ilmu secara gratis kepada siapa saja yang datang.
Populer dengan nama Nank Ngablak, Anang beberapa kali masuk sebagai nominasi dalam beragam kompetisi, antara lain Honorable Mention 17th DICACO 2008 di Korea, dan Special Prize of Jury Meeting The 2nd Gold Panda tahun 2011 di China. Terakhir, tahun ini, dengan karya kartunnya berjudul Global Warming, dia mendapat juara 1 XV Edition of the Trento Economics Festival di Italia, yang bertema Environment and Growth.
Dalam karyanya itu, dia mengkritik perilaku umat manusia yang terus membangun gedung dan mengabaikan alam, sehingga membuat sebagian satwa justru kehilangan habitatnya. Dalam gambar diperlihatkan beruang kutub dan penguin yang panik membicarakan es yang mulai mencair sehingga mereka bingung mencari tempat tinggal.
Dengan bekal ilmunya, Anang ingin membagikan kepada banyak orang. Kebiasaan berbagi ilmu menggambar secara gratis dilakukan sejak tahun 2008. Bermula dari permintaan teman untuk memberikan tutorial menggambar di sebuah perpustakaan di lereng Gunung Merbabu di Kabupaten Semarang, yang berlanjut mengajar anak-anak di perpustakaan di Kecamatan Pakis. Di dua tempat tersebut, jumlah anak yang menjadi peserta pembelajaran mencapai lebih dari 100 orang.
Kepada mereka, Anang hanya sebatas membantu memberi tahu tentang cara menggambar paling mudah, untuk obyek yang dirasa sulit digambar. Selebihnya, dia pun membebaskan mereka untuk berekspresi sesuka hati.
Terkait warna, misalnya, dia pun juga tidak pernah meminta anak untuk mewarnai sesuai warna normal atau warna yang ada dalam kenyataan. “Daun bisa diwarnai merah jambu, matahari bisa diwarnai ungu. Silakan warnai sesukanya, karena ternyata tiap anak memiliki cerita dan alasan masing-masing kenapa mereka memilih warna-warna tak lazim itu,” ujarnya.
Tak jarang, dia berdiskusi dengan anak-anak terkait obyek dan warna yang menarik untuk dituangkan di kertas. Upaya membiarkan anak untuk bebas berekspresi memang sengaja dilakukannya agar kreativitas anak-anak semakin berkembang. Cara ini, menurut dia, secara sekaligus juga melatih anak untuk berpikir lebih luas dan lebih mengenali kondisi sekitarnya.
“Saya berharap pikiran anak-anak menjadi lebih peka dan kaya. Mereka harus berpikir bahwa lukisan pemandangan tidak melulus berisi gambar dua gunung dengan matahari di tengah dan sawah di bawahnya,” ujarnya sembari terbahak.
Tidak hanya berhenti di perpustakaan, pembelajaran menggambar juga berlanjut di rumah. Di tengah pandemi, ada saja yang datang ke rumahnya. Jika kebanyakan anak yang diajarinya di perpustakaan berusia balita hingga SD, maka yang datang ke rumah adalah orang dewasa usia lulus SMA hingga rekan sesame seniman.
Sebagian besar yang datang meminta Anang untuk mengajari menggambar karikatur. Biasanya, sebelum menggambar, mereka akan diajak berdiskusi terkait isu-isu yang sedang ramai diperbincangkan. “Upaya diskusi diharapkan bisa mendorong, memunculkan ide bagi mereka untuk menggambar sesuatu yang lucu untuk menyikapi isu tersebut,” ujarnya.
Anang mengaku, senang untuk terus berbagi semangat berekspresi, dan membagikan ilmu terkait menggambar terutama manggambar karikatur. Pasalnya, hal itu menurut dia, adalah cara baik untuk menghibur banyak orang. “Kartun masih dibutuhkan dan harus tetap ada karena masyarakat juga masih perlu tersenyum dan tertawa,” ujarnya.
Saya berharap pikiran anak-anak menjadi lebih peka dan kaya. Mereka harus berpikir bahwa lukisan pemandangan tidak melulus berisi gambar dua gunung dengan matahari di tengah dan sawah di bawahnya
Bakat menggambar
Semasa kecil, Anang memang sudah gemar menggambar. Seiring waktu, dia tertarik untuk belajar menggambar kartun dan karikatur, meniru gambar yang sering dilihatnya di koran dan majalah. Sekitar tahun 1990-an, tanpa ada pendampingan dari siapa pun, dia kemudian mencoba belajar menggambar kartun secara otodidak.
Setelah merasa bisa, dia pun kemudian mengirimkan gambarnya ke berbagai media cetak. Berkali-kali ditolak, tidak diterbitkan, dia akhirnya terkejut dan gembira ketika akhirnya melihat bahwa gambar kartunnya dimuat di korban Bernas.
Kegembiraan pun masih berlanjut saat dia mengambil amplop berisi uang honornya di kantor redaksi Bernas di Yogyakarta. Pemuatan gambar di koran semakin memacu semangat Anang untuk terus menggambar dan mengirimkannya ke lebih banyak media.
Di tengah kesibukan kuliahnya, Anang terus melewati hari dengan menyempatkan menggambar. Lulus kuliah, dia sempat bekerja di koperasi selama setahun. Namun, menyadari bahwa apa yang ditekuni tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, dia pun kemudian beralih kembali menekuni aktivitas menggambar.
Tahun 2002, dia diajak sepupunya pindah dan mencari kerja di Bali. Bagi Anang, Bali bisa mengembangkan bakatnya dalam menggambar. Sembari bekerja, Anang terus berkarya dan mengirimkannya ke sejumlah majalah dan koran.
Di Bali, dia sempat bekerja sebagai desainer produk di sebuah industri mebel. Pekerjaan itu dipilih karena semula disangka akan bisa dilakukan bersamaan dengan hobinya menggambar kartun. Namun, belakangan, dia pun kecewa setelah menyadari bahwa dua bidang yang ditekuninya tersebut sangat bertolak belakang. Lalu, dia memutuskan untuk bekerja formal dan memilih menjadi kartunis lepas hingga kini.
“Saat membuat desain mebel, saya harus menggambar menggunakan penggaris, dan membuatnya dengan ukuran yang presisi. Sementara ketika saya menggambar kartun, saya cenderung menggambar sesukanya dengan menggunakan pena atau pensil,” ujarnya.
Merawat ibu
Melewati tahun kedua di Bali, di tahun 2007, Anang mendapat kabar dari keluarga, yang mengharuskan dia kembali pulang. Kakak perempuannya meninggal, dan dia tidak bisa kembali ke Bali, karena harus mengurus dua keponakannya yang masih kecil bersama ibunya.
Seiring waktu, kesehatan ibunya berangsur memburuk hingga mengalami gejala stroke. Sejak itulah, Anang akhirnya memiliki tugas baru, sebagai perawat ibu. Dia membantu aktivitas keseharian ibunya mulai dari menyuapi makanan, memandikan hingga mengganti popok.
Di sela-sela itu, Anang pun terus menggambar. Dia terus mencari info tentang kompetisi kartun dan karikatur di tingkat nasional dan internasional. Karena sudah terbiasa menggambar, maka ide-ide menarik pun diakuinya selalu didapatkan dari mana saja. Dalam satu hari, dia bisa membuat satu hingga empat gambar karikatur.
Baca juga: Millah Kamilah, Berbagi Kail Ilmu demi Masa Depan
Dia sering memuat konten-konten lokal sebagai ide. Hal ini dilakukannya dengan membuat gambar kartun sinterklas yang diangkut petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan tentang tradisi berbuka bersama di bulan puasa. Sebagai bentuk sindiran, acara berbuka bersama dilakukan oleh kelompok elit dengan meja mewah dan kelompok gelandangan yang berada di bawahnya, setia menunggu remah-remah.
Anang mengatakan, ide untuk membuat kartun tidak akan pernah mati karena masalah-masalah sosial semacam itu, terus ada di sekitar kita.“Kondisi tidak ideal akan selalu ada, dan kartun adalah sindiran paling halus, yang sekaligus menghibur,” ujarnya.
Yustinus Anang Jatmiko
Lahir : Magelang, 26 Agustus 1971
Pendidikan terakhir : S1 Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Organisasi : Anggota Komunitas Gold Pencil Semarang