Dadan Sudjati melihat potensi pasar pandai besi masih sangat luas. Ia pun beralih profesi dari karyawan kantoran menjadi pandai besi yang menuntut ketekunan, tenaga, dan cinta.
Oleh
BUDI SUWARNA
·5 menit baca
Dari seorang karyawan kantoran di Jakarta, Dadan Sudjati (48) beralih profesi menjadi seorang pandai besi. Sebuah pekerjaan yang bekeringat dan menuntut ketekunan, tenaga, serta cinta. Setelah 10 tahun menjalani profesi ini, ia bertekad mencetak pandai-pandai besi generasi baru.
Senin (19/10/2020) siang di sebuah bengkel pandai besi di Ciater Wareng, Gunung Sindur, Bogor. Mesin tempa menghantam baja yang merah membara berkali-kali. Dadan Sudjati menahan baja itu dengan tang bertangkai panjang agar tidak mencelat ke mana-mana. Sesekali ia memindahkan baja tersebut ke dalam tungku pembakaran, kemudian menempanya lagi. Sekitar 30 menit, baja yang tadinya berbentuk bulat berubah menjadi panjang dan pipih.
Dadan menempanya lagi. Kali ini secara manual. Tangan kiri menjepit lempengan baja itu dengan tang, tangan kanannya menghantam menggunakan palu nan berat. Proses yang melelahkan itu menghasilkan bentuk kasar sebuah pisau. Masih banyak proses lain yang mesti dilalui hingga materi baja bekas komponen mesin berat itu menjelma pisau atau golok yang indah.
Ia lantas menunjukkan sebuah golok yang sudah jadi. Golok tajam itu berlekuk indah dengan gagang dari tanduk itu sangat nyaman digenggam. Dadan mengatakan, golok itu pesanan seorang teman.
Tidak hanya pisau dan golok, Dadan juga membuat aneka bilah bersisi tajam lain seperti belati, parang, kapak, hingga egrek (semacam sabit untuk memanen sawit). Pelanggannya mulai kolektor, aktivis pecinta alam, pekerja perkebunan, militer, koki, juru sembelih hewan, hingga pengusaha. Belakangan, pisaunya dilirik sebagai properti film laga. Pisau-pisau yang dipakai dalam film The Night Comes for Us yang dibintangi Joe Taslim, dibuat oleh Dadan.
Ia membuat pisau atau bilah tajam lainnya sesuai keinginan pemesan. “Juru sembelih, misalnya, punya teknik menyembelih yang berbeda-beda. Saya buatkan pisau sesuai dengan keinginan dia.”
Sebulan Dadan hanya memproduksi 10-15 pisau atau bilah lain. Ia mengerjakannya semua prosesnya sendirian di bengkelnya di Ciater Wareng yang berada tepat di sisi kolam-kolam ikan nan asri. Satu bilah pisau kustom buatannya dijual paling paling murah Rp 3,5 juta termasuk sarung dan gagangnya. Ia juga menerima pesanan bilah dalam skala massal dengan harga lebih murah.
Lahir dari Komunitas
Dadan mulai mengenal dunia pisau 2010. Ketika itu, ia dan orang-orang yang suka naik gunung aktif ngobrol tentang pisau untuk aktivitas luar ruangan di forum di Kaskus. "Diskusi mulai memilih pisau yang bagus, materinya, cara mengasah, sampai bagaimana membuat pisau yang bagus," kenang Dadang yang tergabung dalam komunitas Indonesian Blades.
Ada delapan orang anggota komunitas, termasuk Dadan, yang berminat membuat pisau sendiri. Mereka lalu berkumpul di sebuah bengkel di Slipi, Jakarta untuk belajar sama-sama. Nara sumbernya Fritz Sihombing, anggota komunitas yang sudah pernah membuat pisau dan memiliki jaringan dengan komunitas pisau di luar negeri.
"Kami belajar dari nol. Bahkan saya baru pertama kali pegang alat seperti bor dan gergaji besi, ha ha ha," ujarnya.
Proses belajar dilakukan secara bertahap mulai mengenal karakter bahan, menggunakan peralatan bengkel, belajar menempa, memotong bahan, membuat bavel atau sisi tajam pisau, penyepuhan, dan lain-lain. "Setelah satu tahun belajar, saya bisa bikin pisau sendiri," ujar Dadan.
Di antara delapan orang itu, akhirnya hanya Dadan yang benar-benar terjun sebagai pandai besi. "Saya diyakinkan oleh Frizt bahwa usaha ini punyap prospek. Akhirnya, saya memutuskan berhenti bekerja sebagai analis sistem di sebuah perusahaan. uang pesangon yang saya dapat untuk membeli mesin dan bahan," katanya.
Teman-temannya di Indonesian Blades mendukung penuh keputusan Dadan. Sejak lama, mereka memang terobsesi mencetak pandai pisau handal dari kalangan mereka sendiri. Mereka mencarikan bengkel, menyediakan peralatan, bahkan ada yang menawari untuk mengimpor baja dari negeri.
Mereka mencarikan pengetahuan baru tentang pisau dan memberi penilaian pada produk yang Dadan buat. Dukungan penting lainnya, mereka rajin memesan pisau dari Dadang agar bengkelnya tetap berjalan.
Ketika Indonesian Blades membuat golok resmi komunitas, Dadan mendapat pesanan 50 bilah untuk dikerjakan satu tahun. “Setelah 10 bulan ternyata hanya sanggup 20 biji. Saya menyerah. Sisa bahan dan alat saya bawa ke Tasikmalaya untuk dikerjakan oleng pandai pisau di sana, tapi produksi dan kualitasnya saya kontrol secara ketat,” katanya.
Dari situ ia sadar untuk mempelajari benar sistem kerja bengkel, jumlah tenaga kerja, hingga standar kualitas produk. Berangkat dari kesadaran itu, pada 2015 Dadan mendirikan Yayasan Kampus Bamboe sebagai ruang bersama bagi siapa saja yang ingin belajar menjadi pandai besi.
Sejauh ini, sudah ada 8 gelombang pelatihan pandai besi yang ia gelar. Sambil berjalan, ia merintis Lembaga Pelatihan Kerja. Ia tengah menyusun kurikulum pelatihan, standar alat, dan kompetensi. Ia berharap dari situ akan lahir generasi pandai besi yang kompeten dan punya cara pandang baru.
Bersama mereka dan sejumlah pihak, Dadan merintis ekosistem yang menjadi basis industri manufaktur bilah tajam. "Saya arahnya tidak ke pusaka, tapi ke manufaktur yang potensinya belum banyak digali, Untuk itu perlu dibangun sistemnya lebih dahulu," ujarnya.
Kebutuhan bilah tajam di Indonesia sangat besar. Secara kasar ia menghitung, perkebunan sawit nan luas di Sumatera setidaknya membutuhkan 7 juta bilah tajam setiap tahunya dalam bentuk egrek, parang, odos, atau kapak. "Kalau manufaktur bilah tajam jalan, banyak manufaktur lain yang muncul mulai gagang pisau, sarung, bahan daur ulang, dan lain-lain."
Selama ini, lanjut Dadan, kebutuhan pacul dan alat pertanian dipasok dari China, Malaysia, dan negara lain. "Masak pacul aja impor. Kan kita punya tradisi pandai besi dari dulu," tutup Dadan.
Dadan Sudjati
Lahir: Jakarta, 8 Mei 1972
Pendidikan terakhir: S1 Institut Manajemen Koperasi Indonesia, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat (lulus 1991)