Iwan Dento, Berjuang Menjaga Rammang-Rammang
Rammang-Rammang yang kini terkenal sebagai obyek wisata pernah nyaris hilang. Berkat perlawanan M Ikhwan alias Iwan Dento dan warga, kawasan ini tetap ada.
Kalau saja Muhammad Ikhwan AM (40) alias Iwan Dento dan warga Rammang-Rammang, Maros, Sulawesi Selatan,tak pernah berjuang menolak tambang, mungkin Rammang-Rammang hanya akan tinggal nama.Tentu juga tak akan ada usaha rintisan berbasis komunitas yang bergerak di sektor pariwisata, seperti yang ada di Rammang-Rammang saat ini.
Rammang-Rammang adalah kawasan hutan karst di Maros, Sulawesi Selatan. Di tengah-tengah bentang hutan batu nan menjulang ini terdapat aliran Sungai Pute. Di kawasan ini juga ada satu kampung bernama Berua, yang dikelilingi penuh oleh menara karst. Karst di kawasan ini juga kaya akan goa-goa purba dengan berbagai peninggalan di dalamnya, seperti lukisan tangan dan hewan. Sejumlah goa adalah tempat mata air dan tempat hidup ribuan kelelawar kecil.
Kawasan ini nyaris hilang saat 2007 lalu Pemerintah Kabupaten Maros memberi izin bagi sejumlah investor untuk menambang.Namun, Ikhwan—yang lebih dikenal dengan panggilan Iwan Dento—melawan. Bersama warga dan didukung berbagai lembaga swadaya masyarakat hingga akademisi, mereka terus mendesak pembatalan izin tambang.
Tak turun ke jalan, perlawanan mereka dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya negosiasi dan edukasi. Negosiasi dilakukan kepada pemerintah dan pengusaha, sedangkan edukasi dilakukan kepada warga untuk menyatukan pemahaman mengapa mereka harus menolak tambang. Saat itu, warga memang terbagi dua kubu karena sebagian telanjur diiming-imingi menjadi pekerja tambang.
Namun, usaha Iwan dan warga yang tak kenal menyerah membuahkan hasil. Tahun 2013, pemerintah akhirnya membatalkan 12 izin usaha tambang sekaligus. Warga memenangi Rammang-Rammang.
Baca juga : Kekuatan Ekowisata Menyelamatkan Kekayaan Karst
Rammang-Rammang yang akhirnya ”kembali” kepada warga kini menjelma menjadi salah satu obyek wisata unggulan di Sulawesi Selatan. Pariwisata Rammang-Rammang dikelola dengan bentuk usaha rintisan berbasis komunitas.
Jalan panjang dan berliku
Enam tahun berjuang mengembalikan Rammang-Rammang kepada warga tentu bukan perkara mudah. Kondisi masyarakat setempat yang sebagian putus sekolah dengan latar belakang ekonomi yang juga beragam membuat perpecahan sempat terjadi. Terlebih, beberapa warga juga terlibat langsung dalam usaha tambang rakyat.
”Saya juga tak tahu banyak sebenarnya soal tambang. Yang saya tahu, itu akan berdampak buruk bagi kami dan kampung ini. Maka, saya mencari tahu soal tambang, mencari data, lalu berusaha mengedukasi warga. Saya memperkuat jaringan dengan mengajak LSM hingga akademisi,” kata Iwan, Selasa (20/10/2020), di rumahnya di kawasan Rammang-Rammang.
Mencari tahu soal tambang dilakukan Iwan dengan beragam cara. Berbagai literatur tentang tambang dilahapnya. Kepada jejaring LSM, dia meminta data dan juga belajar. Kepada akademisi, termasuk arkeolog, dia juga mencari data dan pengetahuan tentang apa saja yang ada di Rammang-Rammang. Setiap kali ada seminar tambang di Makassar, ayah empat anak ini datang, bahkan jadi tamu tak diundang.
Mengendarai sepeda motor lebih dari 80 kilometer bolak-balik Rammang-Rammang dan Makassar dengan uang pas-pasan di kantong acap dia lakukan untuk menghadiri seminar. Di sela kegiatan itu, dia mengajak warga berdiskusi sembari menyampaikan edukasi. Dia berupaya menyatukan pemahaman dengan warga.
”Tapi, memang tidak mudah. Beberapa warga sudah terlibat langsung dengan usaha tambang rakyat. Saya bahkan sering diteror. Pernah saya diancam oleh keluarga sendiri. Suatu ketika, saya bertemu dengan pemilik izin tambang yang datang ke sini. Saya bicara baik-baik. Saya bilang, ’Bapak silahkan menambang karena sudah mengantongi izin, saya tak akan menghalangi. Tapi, jangan halangi juga jika saya dan warga melawan’,” kata Iwan.
Iwan memang tak memilih cara turun ke jalan. Baginya, dia tak cocok berorasi. Yang dilakukan adalah mengadu ke mana-mana, hingga ke DPRD Maros. Sempat mereka dipanggil dalam acara dengar pendapat. Dia juga berusaha melakukan negosiasi dengan pemerintah melalui berbagai cara.
”Tahun 2013, pemerintah akhirnya membatalkan izin usaha tambang di Rammang-Rammang. Yang membuat saya terkejut, ternyata ada 12 izin usaha tambang yang dibatalkan. Selama ini, yang kami tahu hanya tiga izin,” katanya.
Gamang
Perjuangan Iwan dan warga mengembalikan Rammang-Rammang tak serta-merta membuatnya lega. Seusai usaha yang berbuah manis, Iwan justru gamang. Baginya, sebagian warga yang sudah terobsesi mendapat pemasukan dan bahkan bekerja sebagai petambang harus mendapat pengganti. Dengan kata lain, warga harus mendapat manfaat lain dari Rammang-Rammang tanpa tambang.
”Saya khawatir, jika tak melakukan apa-apa dan beberapa tahun kemudian bertemu pihak pemerintah atau pengusaha dan mereka balik bertanya, tambang tak jadi, lalu apa yang sudah kami perbuat untuk Rammang-Rammang. Pertanyaan itu terus menghantui saya,” katanya.
Iwan mulai berpikir panjang mencari tahu apa yang sebaiknya dilakukan untuk membuat kawasan ini punya nilai lebih. ”Saya mencari sesuatu yang betul-betul baru bagi kami semua. Saya akhirnya berpikir ke wisata. Tapi, saat itu saya yang lahir dan besar di Rammang-Rammang belum melihat potensi wisata di kampung kami. Saya terlalu berpikir ’wah’ soal pariwisata dan lupa bahwa hal yang kami anggap biasa dan sederhana justru sesuatu bagi orang lain. Kami akhirnya belajar bersama tentang pariwisata,” tuturnya.
Baca juga : Kisah Jejak Prasejarah di TN Babul
Lalu, dia mengajak warga berembuk untuk kembali menyatukan pendapat. Iwan kemudian membentuk kelompok sadar wisata bersama warga desa. Kelompok ini akhirnya menjadi penggerak sektor wisata di desa.
Mereka melibatkan semua warga, mulai dari penyewaan perahu, pemandu, makan minum, lahan parkir, hingga penyewaan rumah warga untuk menginap. Semua dikelola bersama, keuntungan pun dinikmati bersama. Sebagian pendapatan dimasukkan ke desa sebagai dana kas yang pemanfaatannya juga untuk kepentingan wisata dan warga.
Rammang-Rammang mulai dibuka untuk wisata tahun 2015. Biasanya pelancong yang datang akan disuguhi pemandangan hutan karst, termasuk berperahu menyusuri Sungai Pute menuju Kampung Berua. Di beberapa lokasi, pelancong bisa mengunjungi goa purba.Di beberapa bagian, kunang-kunang juga menjadi pemandangan tersendiri, termasuk menikmati purnama.
”Sampai saat ini, semua masih berproses. Warga terus diedukasi untuk lebih siap menjadiorang yang menjual jasa. Membuat kawasan menjadi lebih bersih dan ramah lingkungan. Ini bukan perkara mudah karena terkait perubahan perilaku. Contoh kecil, warga yang dulu membawa perahu tak pakai baju dan angkat kaki sekarang sudah berpakaian lebih layak dan lebih ramah,” kata Iwan.
Pada akhirnya, Iwan melepas kelompok sadar wisata untuk dikelola desa bekerja sama dengan BUMDes. Kini, dia membentuk Komunitas Anak Sungai yang menjadi induk berbagai kelompok komunitas kecil, seperti kelompok belajar, kelompok perajin, kelompok pengolah limbah, kelompok pemuda, perempuan, dan beberapa lainnya.
”Bukan berarti kami tak lagi sepaham. Kami tetap bekerja dalam satu tujuan. Komunitas Anak Sungai dan beberapa kelompok di bawahnya adalah wadah bagi warga untuk lebih berkreasi dan belajar. Juga membuka diri untuk berkerja sama dengan banyak pihak. Dengan kelompok sadar wisata, kami tetap saling menopang,” katanya.
Bagi Iwan, membuat Rammang-Rammang menjadi obyek wisata yang lebih berkelas tak akan dilakukan dengan instan, tetapi harus lahir dari kesadaran masyarakat. Soal rumah warga yang selama ini jadi penginapan (homestay) bagi wisatawan, Iwan tak memaksa harus diubah sedemikian rupa, yang penting bersih dan layak.
”Kalau mau instan gampang, tinggal mencari uang, lalu berikan mereka bahan dan alat untuk membenahi rumah. Tapi, saya ingin membuat mereka punya uang dan sadar untuk membenahi rumahnya.Begitu pun perahu yang kadang dikeluhkan suara mesinnya. Kalau ribut, itu karena mesin yang dipakai adalah mesin dua tak. Mengganti masih tak mudah karena harganya mahal,” ujarnya.
Baca juga : Merawat Masa Depan Pariwisata Sulsel
Iwan berharap orang-orang dan pengunjung memahami proses yang masih terus berlangsung sehingga tak menuntut lebih banyak dan instan. ”Kami sedang berusaha,” katanya.
Muhammad Ikhwan AM alias Iwan Dento
Lahir: Maros, 10 Oktober 1980
Istri: Marwah
Anak:
- Abdillah Al Giffari
- Muh Jibril Al Khairi
- Ibnu Qayyim Al Jauziyah
- Rayhana As Zahra
Pendidikan:
- SD Nomor 7 Salenrang, Maros
- SMP Perguruan Islam Maros
- Madrasah Aliyah Muhammadiyah Pangkep
- Fakuktas Dakwah IAIN Alauddin, Makassar (sekarang UIN Alauddin)
Aktivitas:
- Membentuk Organisasi Pencinta Alam Tapak Rimba Nusantara (Opa_Trans Maros, 2003)
- Membentuk Ormas Persatuan Rakyat Salenrang (2009)
- Mendirikan Kelompok Sadar Wisata Hutan Batu Rammang-Rammang pada 2015 (kelompok pengelola ekowisata Rammang-Rammang tahun 2015-2019 sebelum dikelola oleh BUMDes)
- Membentuk Komunitas Anak Sungai Rammang-Rammang dengan sejumlah kelompok di bawahnya (2019)
- Masuk lima besar Eagle Award 2015 dan 20 besar calon penerima Kalpataru 2020