Thobias Lomi Ratu satu dari sangat sedikit laki-laki di Nusa Tenggara Timur yang menguasai pembuatan tenun. Buat dia, menenun bukan sekadar pekerjaan, melainkan upaya menjaga warisan keluarga.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·6 menit baca
Tak banyak laki-laki yang bekerja sebagai petenun. Di Nusa Tenggara Timur, mungkin hanya Thobias Lomi Ratu (41) satu-satunya pria yang memiliki keterampilan itu. Ia menekuni tenun bukan semata untuk pekerjaan, melainkan untuk menjaga warisan orangtuanya.
Thobias yang ditemui di kediamannya di Jembatan Petuk, Kota Kupang, Rabu (7/10/2020), menceritakan, kedua orangtuanya mengajarkan aneka kemampuan untuk bertahan hidup sejak ia berusia lima tahun. Ayahnya mengajarkan cara menyadap nira lontar di Pulau Sabu, pulau yang terletak di selatan Kupang, di tengah-tengah antara Pulau Sumba dan Pulau Rote. Karena di keluarga itu tidak ada anak perempuan, Nidy Juma, ibu Thobias, mengajarinya menenun.
”Pada usia delapan tahun, saya beralih dari penyadap nira lontar menjadi perajin tenun. Saya ikut mama ke hutan-hutan di Pulau Sabu mencari bahan-bahan pewarna alami untuk dicampur dan menghasilkan warna tertentu,” kenang Thobias yang sekolah hanya sampai kelas III sekolah dasar.
Sejak itu, Thobias menekuni pekerjaan sebagai petenun bersama orangtuanya. Pengetahuannya tentang tenun dan pewarna alami terus berkembang. Ia mengenal jenis-jenis tanaman, buah-buahan, umbi-umbian, biji-bijian, dan getah di hutan atau kebun yang menghasilkan warna.
Beberapa di antaranya adalah kulit kayu mengkudu, kunyit, pinang kering, kapur, sirih, daun jati, biji alpukat, kulit buah lontar, nilam, ubi ungu, kulit batang kusambi, batang pepaya, damar merah, getah buah pepaya, dan getah pisang. Getah-getah ini melengketkan warna pada kain agar tidak mudah luntur.
Bahan-bahan itu dicampur untuk menghasilkan warna tertentu. Thobias mengatakan, hingga 2010, warna dasar tenun asal Sabu adalah hitam dan putih. Saat ini, warna dasar beraneka warna, sesuai dengan permintaan dan kebutuhan konsumen. Warna yang paling digemari konsumen saat ini di angtaranya coklat, merah muda, abu-abu, kuning tua, dan warna metal.
Thobias paham betul cara mencampur aneka warna untuk menghasilkan warna yang diinginkan. Misalnya, kuning dengan biru menghasilkan warna hijau, merah-kuning menghasilkan warna oranye, merah-hijau menghasilkan warna coklat kemerahan, biru-oranye menjadi warna coklat kebiruan, warna biru-merah menghasilkan warna ungu, ungu-biru menghasilkan warna biru keunguan. Campuran warna hasil racikan Thobias direbus bersama dengan benang putih polos.
Selain soal warna dan menenun, Thobias juga mewarisi cara memintal benang kapas dari kedua orangtuanya. Ia tidak menggunakan benang buatan pabrik. Pilihan ini sulit, tetapi Thobias bertekad mempertahankan penggunaan benang kapas pintal demi menjaga warisan leluhur. Lagi pula, lanjut Thobias, hasil celupan warna alami pada benang kapas jauh lebih menyatu dengan warna dibandingkan dengan benang buatan pabrik.
Sebagaimana ibunya, ia memiliki dedikasi yang besar untuk mempertahankan tenun warisan leluhur. Demi mendapatkan kain tenun yang tidak luntur selama dipakai, ia melakukan proses pewarnaan selama tiga bulan berturut-turut. Seusai benang putih direbus dengan bahan pewarna selama 24 jam, ia menjemurnya. Setelah kering, direbus lagi.
”Ini saya ulangi sampai 30 kali agar warna itu tidak akan luntur saat kain dipakai. Kita boleh merendam beberapa jam setiap mencuci, kain tidak akan luntur,” kata Thobias meyakinkan.
Proses merebus, menjemur, dan mencelup itu berlangsung 10 kali per bulan. Benang diangkat dan dijemur pada pukul 09.00-14.00 Wita. Pada tenggat ini, sinar matahari jauh lebih baik. Ia memiliki tiga tungku api dengan kayu bakar untuk memproses tiga warna sekaligus.
Ia tidak hanya mempertahankan warna alami warisan orangtua. Thobias juga memproses benang dari kapas yang dibeli dari Sabu. Kapas itu lantas diproses istri dan kedua anak perempuannya di rumah. Ini pun mengikuti petunjuk dari orangtua. Mereka memintal kapas menjadi benang halus, mirip benang buatan pabrik.
Proses ini butuh waktu hampir enam bulan untuk satu lembar kain. Karena itu, satu lembar kain berukuran panjang 170 cm dan lebar 80 cm buatan Thobias harganya tinggi, yakni Rp 2,5 juta-Rp 5 juta. Dengan harga yang dinilai mahal oleh sebagian penggemar tenun ini, hasil karya Thobias sulit dijangkau konsumen kebanyakan.
”Orang dari luar NTT datang ke tempat saya. Sebelumnya, mereka belanja sarung di beberapa pusat tenun di Kota Kupang dengan harga Rp 300.000-Rp 2,5 juta per lembar. Mereka kaget saat mendengar harga kain yang saya tawarkan. Mereka menilai, itu terlalu mahal. Setelah mendengar proses saya bekerja, mereka paham, tetapi jarang beli,” kata Thobias.
Ia tidak ingin menyediakan jenis tenun dengan harga di bawah Rp 2,5 juta per lembar. Ia menilai, pembuatan tenun jenis ini asal jadi, tidak berkualitas sehingga warna kain cepat luntur.
Ia menghadapi masalah. Hasil karyanya tidak cepat laku di pasaran, apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19 ini. Sebelum pandemi Covid-19, dalam satu bulan ia bisa menjual 2-3 lembar kain tenun. Sejak pandemi Covid-19, tidak satu orang pun yang datang belanja kain hasil karya Thobias.
”Saya benar-benar kesulitan. Jangankan untuk modal usaha, belanja makan minum sehari-hari saja sulit, apalagi di masa pandemi ini. Saya juga tidak pernah dapat bantuan jenis apa pun dari pemerintah. Mungkin mereka pikir saya sudah cukup uang,” katanya tersenyum.
Sekitar 200 lembar kain hasil karya Thobias tersimpan rapi di dalam lemari kaca di kediamannya. Ia tetap menenun di dalam ruang kerja seluas 32 meter persegi itu. Tampak tiga lembar kain sedang dalam proses, masing-masing dikerjakan Thomas, istri, dan dua anak perempuan yang menenun secara bergantian. Keduanya masing-masing berusia 8 dan 10 tahun.
Agar bisa mendapatkan uang, ia membuat tas dengan motif tenun dalam dua ukuran, yakni 20-30 cm dan 30-50 cm. Harga tas itu bervariasi, dari Rp 100.000-Rp 300.000 per tas. Tas ini laku dijual 2-5 potong dalam beberapa pameran di Kota Kupang. Namun, yang biasa belanja tas jenis ini, dalam jumlah 10-20 tas adalah wisatawan dari luar NTT. Tas ini cukup membantu ekonomi Thobias. Namun, selama pandemi Covid-19, wisatawan tidak ada.
Saat ini ia hanya berjuang untuk bisa makan dan minum dengan menjual tas di pasar-pasar tradisional di Kupang. Tas-tas itu ia titipkan kepada pedagang tenun dan pusat penjualan cendera mata. Untuk kebutuhan menenun, ia menggunakan benang sisa yang belum selesai diproses.
Ia mengaku tidak ingin mengubah jenis benang dan warna tenunannya. Ia tetap menjaga warisan orangtua itu meski prosesnya panjang dan melelahkan. ”Tidak banyak perajin di NTT yang masih mempertahankan keaslian tenunan nenek moyang itu. Perajin yang lain, sudah banyak berubah, mengikuti selera pasar,” kata Thobias.
Thobias mungkin saja satu-satunya pria yang memilih sebagai perajin tenun di NTT. Ia telah menularkan keterampilan itu kepada beberapa pria di Kupang, tetapi hanya satu pria yang mengikuti jejak Thobias. Pria itu memilih menggunakan benang dan bahan pewarna dari toko.
Sejarah tenun di NTT erat kaitannya dengan adat perkawinan seorang perempuan. Zaman dulu, jika perempuan itu belum bisa menenun, ia belum boleh menikah dengan laki-laki pujaannya. Mungkin tradisi ini membuat kaum pria merasa menenun itu hak perempuan.
”Tetapi, itu salah. Perempuan dan laki-laki punya hak dan kewajiban yang sama dalam masyarakat. Saya mau ubah pemahaman itu,” kata Thobias.