Regina Handoko dengan suara soprannya yang indah sering tampil dengan harpanya.
Oleh
Ninok Leksono
·5 menit baca
Dari jagat musik, tidak sedikit penyanyi yang tampil di panggung sambil memainkan musik. Sebut saja, misalnya, dari mancanegara Lady Gaga dengan piano dan dari Tanah Air Ully Sigar sering tampil dengan memainkan gitar. Kini, Regina Handoko—dengan suara soprannya yang indah—acap tampil dengan harpanya.
Sebagai soprano, ia memang tak jarang harus fokus dengan vokalnya, seperti saat ia menyanyikan aria ”Ebben? Ne andro lontana” dari opera La Wally karya Catalinni. Tetapi, ia dengan memikat membawakan ”Ave Maria” Franz Schubert sambil memainkan harpa. Demikian pula saat mengisi acara Bandung Philharmonnic Life & Music Series Ke-3, Sabtu (3/10/2020) malam.
Dipandu oleh Airin Efferin, penampilan daring tak mengurangi penampilan prima Nana—panggilan akrab Regina—saat menampilkan lagu masyhur dari musikal Phantom of the Opera, ”Think of Me”.
Memberi pelayanan dengan vokal indah, ditambah dengan petikan harpa yang menghadirkan kelembutan, boleh jadi merupakan ekspresi dengan penziarahan hidup Nana sejak setidaknya satu dasawarsa terakhir.
Ekspresi itu sendiri bukan sekadar untuk menyalurkan hobi amatir, tetapi oleh Nana juga menjadi tuntutan prestasi tinggi. Tepat ketika wabah Covid-19 mulai merebak di Tanah Air, Nana baru saja memenangi Juara Dua ”New York Golden Classical Music Awards International Competition” (Maret 2020) yang berlangsung di teater musik sangat bergengsi, Carnegie Hall. Kurang dari setahun sebelumnya, September 2019, Nana meraih Juara Pertama ”Vienna Grand Prize Virtuoso International Music Competition”. Di dalam negeri, sejak tahun 1995 Nana sering menempati juara dua dan pertama dalam Lomba Bintang Radio dan Televisi tingkat DKI dan Nasional untuk kategori seriosa.
Padahal, sebenarnya musik bukan jalur formal pendidikan Nana, yang tamat studi ekonomi di Universitas Atma Jaya. Sempat bekerja di bidang manajemen di sebuah perusahaan, hatinya tertambat pada pekerjaan di bidang event organizer, pekerjaan yang ia tekuni sampai sebelum menikah. Setelah itu rupanya panggilan musik tak terbendung lagi.
Saat prestasi demi prestasi mulai diraih, sesungguhnya itu merupakan gunung es dari hobi dan hasil jerih payahnya menempa diri dalam proses belajarnya yang panjang. Jika untuk harpa ia baru mengenalnya sekitar delapan tahun silam, untuk vokal ia sudah melatihnya dari usia dini.
Lebih dari sekadar mengejar capaian formal—seperti meraih grade 8 ABRSM (Associated Board of the Royal Schools of Music), London, dengan nilai bagus—Nana memenuhi panggilan jiwa bermusiknya dengan profesional. Setiap kali ada permintaan tampil, ia langsung ”mencicil” tugasnya. Manakala harus pergi, ia membawa tugasnya, walaupun hanya sepenggal partitur. Ia juga gunakan waktu yang luang untuk menghafal lirik lagu yang harus ia nyanyikan.
Di luar itu, ia juga tak jemu berguru. Setelah mulai belajar musik di Sekolah Musik YPM saat berusia 4 tahun, Nana dewasa sempat menjadi murid guru vokal kenamaan, mulai dari Catharina W Leimena, Binu D Sukaman, hingga Joseph Kristanto Pantioso. Berbekal ilmu dari guru yang hebat tadi, Nana pun menyusuri peran-peran serius di opera. Antara lain ia sempat tampil sebagai Cinderella (opera Cendrillon karya Viardot) dan Hansel (Hansel & Gratel, karya Humperdinck).
Sementara setelah mendapat pelajaran pertama untuk harpa dari peharpa senior Heidi Awuy, Nana berguru dan mengikuti master class dari sederet peharpa, mulai dari Rama Widi hingga terakhir—saat di New York awal tahun ini—dengan peharpa dari The Metropolitan Opera Orchestra dan profesor harpa dari The Manhattan Conservatory, New York.
Bagi Nana, tidak ada waktu lowong untuk memperdalam musik dan instrumen kesayangannya. Saat yang ada termasuk saat ia mendampingi suami bertugas. Ia selalu mencari kesempatan untuk bisa ikut master class.
Itulah cermin pemusik yang disiplin dan penuh tanggung jawab profesional, nilai yang ia hayati juga untuk kehidupannya. Bagi Nana, tak ada hari esok yang ia tidak tahu ada rencana apa. Ini pula yang ia turunkan pada ketiga anaknya. Untuk minat terhadap musik, kepada Celine (12) dan Celia (10), Nana menawarkan apakah mereka ingin bermain harpa, sementara putri ketiga, Celestia (6), sudah sejak awal terinspirasi oleh kedua kakaknya.
Dunia Nana pun kini berputar di tiga poros utama, yakni keluarga, musik, dan pelayanan yang ditekuni dengan penuh disiplin. Pencinta musik di Tanah Air kini dapat mendengarkan petikan harpa Nana yang setiap hari makin indah dan suara soprannya yang sekali lembut seperti dalam La Wally, tetapi sekali waktu juga genit seperti dalam ”Quando m’en vo” (dari La Boheme karya Puccini). Tak sempat melihatnya konser di gedung musik, kanal Youtube milik Nana memungkinkan pengagumnya bisa terus mendengarkan semua itu tanpa batas waktu.
Bagi Nana, tidak ada waktu lowong untuk memperdalam musik dan instrumen kesayangannya. Saat yang ada termasuk saat ia mendampingi suami bertugas. Ia selalu mencari kesempatan untuk bisa ikut master class.
Pada tahun 2020 yang penuh tantangan pandemi, Nana masih dapat mengekspresikan talenta musiknya dalam dua singel yang bisa diunduh dari berbagai kanal. Dua karya ini adalah ”Lascia ch’io Pianga” (GF Handel) dan ”Lord I Come to You” (Elvi Tjahjadi).
Karier Nana sebagai—boleh jadi—satu-satunya soprano-peharpa di Indonesia masih panjang. Kehadirannya di panggung musik tidak saja memperkaya dunia musik di Tanah Air, tetapi juga dengan mengajak ketiga putrinya untuk menyanyikan lagu-lagu religius dan cinta tanah air, ia juga ikut menyemaikan benih kebaikan bagi bangsanya.
Regina Handoko
Pendidikan: Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya
Suami: Adrian
Anak: Celine, Celia, Celestia
Sebagai soprano: Menyanyikan aneka lagu, termasuk dari musikal dan opera
Sebagai peharpa: Tampil dalam konser solo dan bersama orkestra terkemuka