Louise Gluck, Syair Mitologi Tentang Hidup dan Mati
Penyair Louise Gluck yang sepi dari afiliasi politik mana pun meraih Nobel Sastra tahun 2020. Kesadaran pada diri sendiri sedang dirayakan di era serba kolektif ini; pandemi, demonstrasi, kampanye politik.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·5 menit baca
Hari masih terlalu pagi ketika kabar itu datang sekonyong-konyong. Louise Gluck, yang tinggal sendiri, belum sepenuhnya sadar waktu orang di seberang telepon mengabarkan bahwa dia adalah penerima hadiah Nobel Sastra tahun 2020. Hari Kamis (8/10/2020) itu, hidupnya makin puitik, seperti syairnya.
“Aku menerima telepon sekitar jam tujuh kurang. Aku baru saja bangun. Seseorang yang mengaku sebagai sekretaris Akademi Swedia berkata, ‘Saya menelepon hendak memberitahu, Anda memenangkan hadiah Nobel Sastra’... Kurasa aku belum siap,” kata Gluck, ketika diwawancarai Alexandra Alter dari The New York Times di rumahnya di Cambridge, Massachusets, AS.
“Aku ternganga karena mereka memilih seorang penyair kulit putih dari AS. Rasanya tidak masuk akal. Aku berasal dari negara yang sedang tidak disukai, berkulit putih, dan pernah dapat berbagai hadiah. Jadi sepertinya mustahil aku harus mengalami hal ini,” lanjut Gluck (namanya diucap seperti “click”) .
Namun, begitulah yang terjadi. Tak lama setelah telepon itu, dewan Akademi Swedia, yang bertugas mencari, memilih, dan menentukan penerima Nobel Sastra, mengumumkan kemenangan Gluck dalam konferensi pers di Stokholm, dan disiarkan melalui situs resmi nobelprize.org.
Dalam sambutannya, Anders Olssen, ketua dewan itu, mengatakan puisi Gluck adalah sekelumit suara yang merasuk ke jantung kehidupan keluarga. “Suara itu tak pernah salah. Ia tulus sekaligus keras kepala, menuntut untuk dimengerti,” kata Olsson, yang sekaligus mengimbuhi, puisinya “menyajikan humor dan kecerdasan”.
Sebelum diganjar Nobel, Gluck telah menjadi pujangga besar Amerika Serikat. Selama lebih dari 50 tahun, dia menghasilkan 12 buku kumpulan puisi, yang umumnya menyoal kehidupan dalam keluarga dan menjadi tua. Salah satu bukunya, The Wild Iris (1993) mendapat Hadiah Pullitzer. Buku terakhirnya, Faithful and Virtous Night (2014), menyinggung kematian dan duka cita.
Asupan masa kecil
Louise Elisabeth Gluck lahir di New York, AS, pada 22 April 1943. Dia tumbuh di kawasan kelas menengah Long Island. Dia tertarik pada puisi sejak masih kanak-kanak. Orangtuanya kerap membacakan kisah-kisah mitologi Yunani sebagai dongeng pengantar tidur. Gluck terpukau pada dewa-dewi dan jagoan Yunani, yang kelak dihidupkan lagi di puisi-puisinya.
“Setiap orang yang menulis cenderung menggambarkan apa pun yang menjadi asupannya di masa kecil, dan yang membekas di masa itu. Aku lebih terampil menggambarkan tokoh mitologi Yunani dibandingkan anak-anak sebayaku dulu,” kata Gluck.
Banyak kisah mitologi Yunani itu beresonansi pada benak Gluck. Salah satu tokoh yang sering ia adaptasi adalah Persephone, dewi tetumbuhan putri Zeus dan Demeter. “Kalau aku sedang mengeluhkan ibuku, aku seperti berbicara pada Demeter dalam tulisan,” ujar penerima medali National Humanities dari Presiden Barrack Obama tahun 2016 ini.
Dia mulai menulis syair pada usia lima tahun, dan sejak remaja telah menetapkan cita-cita menjadi penyair. Di masa remaja itu dia bergulat dengan gangguan anoreksia. Kelak, gangguan itu dia sebut sebagai wujud obsesinya pada kemurnian dan penguasaan diri. Dia nyaris mati kelaparan dan perlahan sembuh setelah menjalani terapi.
Di masa penyembuhan itu, Gluck mengikuti beberapa kursus penulisan puisi. Kemudian, dia kuliah di Universitas Columbia, satu kampus dengan pujangga Stanley Kuntz. Dia bekerja sambilan sebagai sekretaris sembari terus menulis. Buku puisi pertamanya, Firtsborn, terbit pada 1968.
Kalau aku sedang mengeluhkan ibuku, aku seperti berbicara pada Demeter dalam tulisan
Buku itu disambut baik di kancah kritikus sastra. Meski demikian, Gluck mengalami kebuntuan menulis (writer’s block). Dia lantas mengajar di Goddard College, Vermont. Rupanya, berinteraksi dengan mahasiswa mengikis kebuntuan itu.
“Sebagai penulis, kita dibanjiri dengan kejutan dan hal baru terus-menerus. Itu harus disusun sedemikian rupa, menyesuaikan apa yang menarik bagi murid-murid. Mereka mengagumkan. Meski aku tak selalu menulis, setidaknya aku selalu bisa baca tuilsan orang lain,” kata profesor bahasa Inggris di Universitas Yale ini.
Lepas dari kebuntuan menulis, Gluck berpuisi lagi. Mitologi Yunani konsisten muncul di sana-sini. Puisi-puisi di buku Meadowlands (1996), misalnya, menganyam kisah Odysseus-Penelope (dari epos Odyssey gubahan Homer) dengan pudarnya pernikahan era modern. Sedangkan kisah Persephone dipakai untuk menulis perihal penderitaan, penuaan, kematian, dan kronik ibu-anak di buku Averno (2006).
Banyak kalangan yang menganggap puisi Gluck bergaya “pengakuan” yang berpusat pada diri sendiri. Dia tak menampiknya. Sebab, pengalaman pribadi adalah materi besar yang dimiliki setiap orang.
“Aku tidak merasa pergulatan dan kebahagiaanku adalah hal unik. Aku tidak tertarik memberi lampu sorot pada pengalaman dan kehidupanku, melainkan pada pergulatan dan kebahagiaan manusia—yang setelah dilahirkan lantas dipaksa keluar. Aku menulis tentang kematian karena ketika kecil, aku terhenyak betapa kebahagiaan dalam hidup ini tidak berlangsung selamanya,” ujar Gluck.
Individual-universal
Kritikus Daniel Mendehlson menilai kepiawaian bahasa yang dipakai Gluck, juga menokohkan figur mitologi membuat puisi-puisinya terasa universal, dan tak lekang jaman.
Kata Daniel, puisi-puisinya memang menyodorkan ujian hidup; tentang perceraian, penghianatan, dan kematian. “Namun, alih-alih menjadi depresi, pembaca justru menemukan pencerahan,” kata editor The New York Review of Books ini.
Karakteristik puisi Gluck yang terbebas dari polemik politik manapun dianggap Michael Schmidt dari penerbit Carcanet sebagai hal yang indah. “Dia (Gluck) bukan tipe orang yang memaksa kita mencapai sesuatu, malah membantu kita mengeksplorasi dunia yang kita hidupi. Puisinya tak menyuarakan ikatan politis, melainkan berbicara tentang manusia yang hidup di dunia, yang hidup dalam bahasa,” kata Michael kepada The Guardian.
Kamis itu, ketika namanya diumumkan sebagai peraih Nobel Sastra, Gluck mendapat pengalaman lain. Wartawan menunggu di depan rumahnya. Teleponnya tak henti berdering. Hadiah uang sebesar Rp 16,5 miliar pun sedang menanti. Padahal, hidupnya selama ini jauh dari ingar-bingar. Hal baru sedang terjadi.
Di balik itu semua, Gluck menanti kelahiran buku barunya, yang bakal diberi judul Winter Recipes from the Collectives. Puisi-puisi di dalam buku itu dia selesaikan dalam sepi ketika teman-temannya tak lagi menemaninya makan malam akibat pandemi.
“(Isinya tentang) keruntuhan. Ada banyak duka di buku ini, dan juga komedi. Puisi-puisinya sangat surealistik,” ucap Gluck.(NYTIMES.COM/THEGUARDIAN.COM/AP)