Sururi, Penjaga Benteng Alam Pesisir Semarang
Akhir 1990-an, pembukaan tambak besar-besaran turut memicu abrasi di pesisir utara Kota Semarang. Enggan berpangku tangan, Sururi (62) berjuang membentengi pesisir dengan mangrove.
Akhir 1990-an, pembukaan tambak besar-besaran turut memicu abrasi di pesisir utara Kota Semarang. Namun, saat lahan-lahan tambak kian tenggelam akibat air pasang, para pengusahanya pergi, meninggalkan alam yang rusak. Enggan berpangku tangan, Sururi (62) berjuang membentengi pesisir dengan mangrove.
Mulanya, pesisir barat Kota Semarang, tepatnya di Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tugu, masih lebat ditumbuhi mangrove. Namun, seiring maraknya ekstensifikasi tambak untuk budidaya udang windu, mangrove pun digunduli untuk pembukaan tambak. Masyarakat tergiur keuntungan tanpa memikirkan masa depan lingkungan.
Dampak itu kemudian dirasakan Sururi yang juga kehilangan tambak garapannya karena abrasi. Kondisi itu membuatnya memilih bekerja sebagai TKI di Malaysia selama satu tahun, sebelum kemudian kembali ke Indonesia karena tidak betah.
Kalau tak segera melakukan sesuatu, apakah keluarga saya bisa diselamatkan? Kalau rumah saya tenggelam, saya harus ke mana?
Pada 1997, kegamangan Sururi makin menjadi. Saat itu, abrasi sudah menyebabkan ratusan meter daratan lenyap. Jarak dari rumah Sururi ke laut, dari sebelumnya 1,5 kilometer tinggal 600 meter.
”Saat itu saya berpikir, kalau tak segera melakukan sesuatu, apakah keluarga saya bisa diselamatkan? Kalau rumah saya tenggelam, saya harus ke mana?” kenang Sururi saat ditemui di rumahnya, Jumat (25/9/2020).
Kekhawatiran Sururi bukan sesuatu yang mengada-ngada. Pasalnya, abrasi yang menenggelamkan tambak dan pemukiman saat itu sudah terjadi di sejumlah titik di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Sururi tak mau hal serupa terjadi di Mangunharjo.
Jalan yang dipilih Sururi untuk menyelamatkan kawasan pesisir ini sempat diejek rekan-rekannya sesama petambak, yang memilih menjadi nelayan, pengojek, buruh bangunan, dan buruh pabrik, setelah tambak hilang.
Secara perlahan, sejak 1997, Sururi mulai menanam mangrove. Hingga kemudian ia bertemu pakar lingkungan dari Universitas Diponegoro (Undip), Sudharto P Hadi. Sejak saat itu, Sururi dibimbing dalam menanam mangrove.
Pada 2000, Sururi mulai melakukan pembibitan. ”Meski kurang dana, kami bismillah saja. Saat itu, saya juga mencari kepiting pada malam hari untuk kehidupan keluarga,” ujarnya.
Meski kurang dana, kami bismillah saja. Saat itu, saya juga mencari kepiting pada malam hari untuk kehidupan keluarga.
Pembibitan, yang ia lakukan di lahan sewaan, baru lancar pada 2004. Sebelumnya, ia harus mengambil bibit dari Brebes hingga Rembang. Ia menanam mangrove di belakang sabuk pantai yang dibuat pemerintah. Mangrove yang ia tanam kian lebat pada 2006.
Lewat kelompok Subur Makmur yang ia dirikan bersama rekan-rekannya, upaya konservasi baru benar-benar optimal pada 2007. Hal tersebut tak terlepas dari dukungan sejumlah perusahaan swasta yang menanam mangrove melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) mereka.
Sururi tak memungkiri, usaha pembibitannya bergantung pada CSR perusahaan yang membeli bibit untuk ditanam. Sejak 2007, selain ada perusahaan yang menjadi mitra, semakin banyak perusahaan, mahasiswa, dan peneliti, termasuk dari luar negeri, datang ke Mangunharjo.
Usaha pembibitan mangrove itu pun menghidupi Sururi dan rekan-rekannya. ”Dengan mereka datang, bibit saya ada yang beli. Penghasilan saya dari sana. Sebelum pandemi Covid-19, saya membuat 75.000-100.000 bibit dalam setahun karena harus melayani permintaan perusahaan-perusahaan yang menanam,” ujarnya.
Saat ini, Sururi menyediakan bibit mangrove jenis Rhizophora dan Bruguiera. Sebelumnya, tersedia juga Avicennia, tetapi minim pesanan sehingga tak lagi dibuat bibit.
Harga bibit yang ia jual Rp 1.200 per batang untuk mahasiswa atau umum dan Rp 1.500 untuk perusahaan. Setiap perusahaan paling sedikit membeli 2.000 bibit untuk kemudian ditanam.
Pada 2015, Sururi membentuk Kelompok Mangrove Lestari, yang sebagian besar anggotanya keluarga sendiri. Kini, total ada 11 orang dalam kelompoknya membuat bibit maupun menanam mangrove.
Benteng terbentuk
Ikhtiar yang dilakukan Sururi sejak 1997 dan semakin berkembang sejak 2007, membuahkan hasil. Hingga kini, dari jutaan bibit yang ditanam, benteng alami mangrove kembali terbentuk dengan luas sekitar 70 hektar. Ketinggiannya tanamannya beragam, bahkan ada yang mencapai 6 meter.
”Alhamdulillah, jarak rumah saya ke pantai, dari sebelumnya hanya 600 meter, sekarang sudah 1 km. Sabuk pantai yang sebelumnya dibuat pemerintah sudah rusak, tetapi kini mangrove-nya sudah kuat,” kata Sururi.
Alhamdulillah, jarak rumah saya ke pantai, dari sebelumnya hanya 600 meter, sekarang sudah 1 km.
Mangrove yang menebal itu kini bisa menahan laju abrasi di paling sedikit tiga kelurahan, yakni Mangkang Kulon, Mangunharjo, dan Mangkang Wetan. Manfaat lainnya, sejumlah nelayan kini tak perlu terlalu jauh mencari tangkapan. Di sekitar hutan mangrove, mereka kini bisa mencari ikan, udang, dan kepiting. Bahkan, sejak 2016, sejumlah warga Mangunharjo melakukan budi daya kerang hijau.
Dalam perjalanannya, seiring banyaknya pesanan mangrove, Sururi sering menjadi rujukan pembibitan mangrove di Semarang. Tak heran, di ruang tamu rumahnya yang sederhana, berderet puluhan plakat dan piagam penghargaan dari berbagai instansi. Sebagian piagam penghargaan itu dibingkai khusus, seperti Penghargaan Wali Kota Semarang 2008 dan Undip Award 2009.
Sururi menambahkan, meski sudah dikenal banyak perusahaan dan instansi, ia tak mau memanfaatkannya untuk mencari keuntungan di luar koridor usahanya. Penghasilan yang didapat sepenuhnya dari pembibitan. Apresiasi dan penghargaan datang dengan sendirinya.
Penghargaan yang paling berkesan ialah berangkat umrah dengan istrinya pada 2017. ”Ada dosen yang sedang syukuran lalu membiayai umrah, untuk satu orang. Kurang dari setengah bulan kemudian, ada perusahaan yang melakukan hal sama. Jadi, kami bisa berangkat berdua,” katanya.
Berbagai bentuk pengakuan dan penghargaan itu tak membuat komitmen utama Sururi luntur. ”Bagi saya, semakin banyak menanam, maka semakin bisa menghambat abrasi. Itu saja,” ujar Sururi.
Menengok ke belakang, keahlian terkait mangrove serta pembibitannya ini didapat Sururi dari belajar sendiri di alam serta sudah dua kali mengikuti pelatihan. Dari pelatihan itu, jadi tahu beragam spesies mangrove serta berbagai macam perlakuan, tergantung pada jenisnya.
Walau demikian, ia mengakui, apa yang dilakukannya selama ini tak lepas dari bimbingan Soedharto P Hadi, yang menjabat Rektor Undip 2010-2014. Sejak awal hingga kini, Sururi kerap mendiskusikan hal-hal terkait pembibitan dan penanaman mangrove dengan Soedharto.
Soedharto juga yang mendorong Sururi untuk memikirkan pendidikan anak-anaknya. Alhasil, dari penghasilan menjual bibit bertahun-tahun, Sururi telah menyekolahkan empat dari enam anaknya hingga bergelar sarjana, bahkan ada yang lanjut ke magister. Sementara dua anak lagi saat ini masih mengenyam kuliah S1.
Tantangan
Mengembangkan bibit sekaligus menanam mangrove bukannya tanpa hambatan. Meski kini sudah banyak pihak yang menanam mangrove, tanaman itu tetap tak bisa dilepas begitu saja.
”Persentase kehidupan mangrove itu 50 persen. Kalau dengan sulaman, artinya dirawat, bisa menjadi 60 persen. Maka, perawatan ini menjadi tantangan, karena membutuhkan ketekunan dan tenaga juga,” ujar Sururi.
Selain itu, selama pandemi Covid-19, permintaan bibit dan menanam juga menurun, terutama dari mahasiswa dan peneliti dari luar negeri, seperti China, Hong Kong, dan Korea Selatan. Sururi pun berharap segalanya bisa kembali normal.
Bagi saya, ekonomi harus terangkat. Minimal, di sini mesti ada ekowisata sehingga bisa terus berkembang.
Ke depan, Sururi berharap mangrove di Mangunharjo lebih berkembang. Apalagi, ekosistem sebenarnya sudah terbentuk. Saat ini, sejumlah warga, terutama ibu-ibu, juga mengembangkan batik mangrove dan makanan olahan dari udang.
”Bagi saya, ekonomi harus terangkat. Minimal, di sini mesti ada ekowisata sehingga bisa terus berkembang. Tentu, perlu dukungan dari berbagai pihak untuk mewujudkan itu,” tuturnya.
Sururi
Lahir: 17 Juli 1958
Istri: Nurchayati
Anak: 6
Pendidikan: Madrasah Ibtidaiyah Mangunharjo, lulus 1971
Organisasi:
- Kelompok Tani Subur Makmur (2004-sekarang)
- Kelompok Mangrove Lestari (2015-sekarang)
Penghargaan:
- Penghargaan Wali Kota Semarang 2008 sebagai Pelestari Penghijauan Mangrove
- Undip Award 2009 kategori Pelestarian Lingkungan Hidup Wilayah Pantai
- Juara II Adibakti Mina Bahari Bidang Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tingkat Nasional 2009 (kepada Kelompok Masyarakat Subur Makmur)
- Kerapu Award 2018 Bidang Sumber Daya Akuatik dari Keluarga Alumni Perikanan Undip.