Wawan Gunawan getol membangun dialog antarumat beragama selama dua dasawarsa. Melaui Jakatarub, mereka bergerak menyemai benih keberagaman.
Oleh
Tatang Mulyana Sinaga
·5 menit baca
Taman kemajemukan Indonesia tidak akan indah tanpa kerukunan. Untuk menjaganya, Wawan Gunawan (40) getol membangun dialog antarumat beragama selama dua dasawarsa. Bersama rekan-rekannya, dia bergerak menyemai benih keberagaman untuk melahirkan generasi toleran.
Dialog itu dibangun lewat kerja sama antarkomunitas keagamaan dan budaya, dimulai dengan saling mengenal, berdiskusi, dan saling memahami. ”Tidak ada dialog antaragama tanpa dialog antarsahabat. Kalau sudah bersahabat, untuk bertanya sesuatu tentang hubungan keagamaan tidak akan tersinggung,” ujarnya di Bandung, Jawa Barat, Senin (7/9/2020).
Sejak 2005, Wawan bergabung dengan Jaringan Kerja Sama Antar Umat Beragama (Jakatarub). Namun, beberapa tahun sebelumnya, ia sudah terjun dalam beberapa forum diskusi dan gerakan toleransi.
Jakatarub menghadirkan diskusi teologis serta mengampanyekan gerakan toleransi. Dua di antara banyak kegiatannya adalah Bandung Lautan Damai dan Tur Malam Imlek.
Pada Bandung Lautan Damai 2012, misalnya, dilakukan pemutaran film dan bedah buku bertema toleransi. Tujuannya, meredam maraknya gerakan intoleransi beragama. Penelitian Setara Institute pada 2011-2012, Jabar menempati peringkat pertama sebagai wilayah dengan kasus intoleransi terbanyak di Indonesia.
”Konsep kegiatan disesuaikan dengan kreativitas peserta. Ada yang membuat komik, meme, dan kampanye di car free day. Saya hanya mengasuh,” ujar Wawan yang saat ini duduk dalam Presidium Jakatarub.
Tur Malam Imlek digelar hampir setiap tahun. Pemuda lintas agama diajak mengunjungi sejumlah wihara dan kelenteng di Kota Bandung. Mayoritas pesertanya anak muda.
Melalui tur itu, peserta dapat lebih mengenal tradisi warga Tionghoa. Mereka juga bisa mengetahui sejarah wihara dan kelenteng yang dibangun sebelum kemerdekaan Indonesia. Ini menandakan, sejak lama warga Bandung telah hidup rukun dalam kemajemukan.
Wawan juga beberapa kali mengadvokasi kelompok masyarakat di Jabar yang rumah ibadahnya ditutup. Ia membangun dialog untuk menghindari konflik horizontal. ”Salah satunya membuat langkah-langkah jika terjadi konflik dalam penutupan rumah ibadah. Kekerasan harus dihindari,” ujarnya.
Hampir semua kegiatan Jakatarub selalu melibatkan pemuda. Wawan menyadari, pemuda menjadi aset yang berperan penting untuk mengawal kerukunan di masa depan. ”Napas mereka (anak muda) masih panjang. Saya hanya berbicara substansi. Mengenai ekspresi dan kreativitas, mereka punya cara sendiri,” ujarnya.
Ayah tiga anak itu meyakini, suatu saat para pemuda itu akan memiliki peran strategis di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, mereka memerlukan wawasan toleransi agar bergerak aktif menjaga kehidupan bermasyarakat yang harmonis.
Dengan begitu, toleransi tidak sekadar narasi yang didiskusikan di ruang-ruang formal. Akan tetapi, hal itu dekat dengan masyarakat untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak ada dialog antaragama tanpa dialog antarsahabat. Kalau sudah bersahabat, untuk bertanya sesuatu tentang hubungan keagamaan tidak akan tersinggung.
Wawan menuturkan, Jakatarub membuat sekitar 175 kegiatan bertema toleransi serta dialog antaragama dan antarbudaya per tahun. Para pemuda menjadi motor penggerak kegiatan-kegiatan itu.
Tidak jarang, komunitas pemuda justru yang membuka jalan untuk bermitra dengan Jakatarub. Saat ini, Jakatarub telah bermitra aktif dengan puluhan lembaga keagamaan, komunitas kebudayaan, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga pendidikan.
Pengalaman mental
Kesadaran Wawan menjaga keberagaman tidak lahir secara instan. Ia punya cerita masa kecil, remaja, hingga dewasa yang menjadi pengalaman mental untuk mensyukuri keberagaman dalam kehidupannya.
Wawan lahir dari keluarga Muslim di Bandung. Lingkungannya di Kiaracondong, Bandung, juga mayoritas beragama Islam. ”Akan tetapi, Ayah sering mengajak saya ke rumah sahabatnya yang beragama Kristen. Mereka berteman baik. Jadi, sejak kecil sudah ditanamkan untuk bersahabat dengan siapa saja,” ujarnya.
Sejak umur lima tahun, Wawan sering diajak orangtuanya berkunjung ke rumah kakeknya di Parung, Kabupaten Bogor. Di sana, ia bergaul dengan warga Tionghoa.
”Bahkan, dodol cina menjadi makanan yang paling disukai anak-anak di sana saat Lebaran. Hubungan dengan warga Tionghoa sangat akrab,” ujarnya.
Setelah lulus SMA pada 1998, Wawan bersama beberapa rekannya di Bandung membentuk Komunitas Peduli Pelajar. Komunitas ini bergerak mengumpulkan sumbangan untuk menyekolahkan anak-anak putus sekolah.
Salah satu donatur tetapnya adalah seorang perempuan lansia bernama Neli Prayogo. Ia beragama Katolik, tetapi tidak pernah memandang agama dan suku saat bederma.
Kisah itu sangat membekas di hati Wawan. ”Dari Ibu Neli, saya belajar memahami pluralisme. Menolong tanpa memandang perbedaan,” ujarnya.
Wawan kuliah di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung, angkatan 1999. Ia membuat diskusi kajian lintas agama dan budaya. Salah satu narasumbernya adalah penulis dan budayawan Jakob Sumardjo.
Tiga tahun berselang, ia bergabung dengan Paguyuban Anti Diskriminasi Agama, Adat, dan Kepercayaan (Pakuan). Salah satu kegiatan di lembaga ini adalah mengadvokasi masyarakat penghayat kepercayaan.
Ketika itu, penghayat kepercayaan terkendala mendapatkan kartu tanda penduduk. Sebab, mereka diwajibkan mengisi kolom agama pada KTP. Namun, penghayat kepercayaan tidak tercantum dalam pilihan isian kolom tersebut. Wawan memandang hal itu sebagai bentuk diskriminasi. Padahal, penghayat kepercayaan menjadi bagian dari kemajemukan bangsa.
Penghargaan BPIP
Lewat beragam langkah nyata, Jakatarub terpilih sebagai Ikon Prestasi Pancasila 2020 dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Bagi Wawan, penghargaan itu bukan untuk pribadi, melainkan semua pihak yang berkarya bersama Jakatarub.
”Ini menjadi harapan untuk terus bergandengan tangan dan membangun Indonesia yang damai. Perbedaan adalah kekuatan, bukan pemecah persatuan,” ujarnya.
Indonesia mempunyai lebih dari 1.000 suku serta berbagai agama dan penghayat kepercayaan. Keberagaman ini menjadi modal sosial dalam membangun bangsa. Namun, dibutuhkan toleransi untuk mengeratkannya.
”Jika tidak toleran berarti menuju kehancuran. Negara ini harus terus dijaga dengan mewariskan kerukunan ke generasi selanjutnya,” ujarnya.
Di jalan panjang membangun dialog antaragama dan budaya, rongrongan intoleransi tak pernah padam. Jadi, api toleransi juga harus terus menyala agar kerukunan tetap terjaga.
Wawan Gunawan
Lahir: Bandung, 9 Mei 1980
Pendidikan terakhir: S-2 Religious Studies UIN Sunan Gunung Djati, Bandung (lulus tahun 2012)