Farid Bachmid Mengangkat Derajat Warga Putus Sekolah di Pulau Gangga
Farid Bachmid kembali ke kampung halaman untuk membantu masyarakat Pulau Gangga mendapat pendidikan yang layak. Dia tak mau setengah-setengah memberikan fasilitas pendidikan untuk meningkatkan derajat kehidupan warga.
Farid Bachmid (58) tak pernah lupa akan Pulau Gangga, kampung halamannya. Setelah bertahun merantau sebagai guru dan wirausahawan, ia kembali dengan tekad mengangkat derajat masyarakat pesisir yang putus sekolah. Ini diupayakannya melalui pendidikan nonformal di pusat kegiatan belajar masyarakat besutannya.
Farid tampak gelisah, Sabtu (29/8/2020) siang itu, seolah banyak hal yang tidak beres di gedung Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Tut Wuri Handayani. Aula tempat belajar berdebu, sedangkan atap kantor sekaligus perpustakaan di sebelah aula hampir ambrol. Halaman gedung pun hambar tanpa dekorasi.
Maklum, pusat belajar bagi peserta Kejar Paket A, B, dan C di Pulau Gangga, khususnya Desa Gangga II, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, itu sudah dorman lima bulan. ”Kami baru bisa datang lagi sejak Maret lalu, sejak mulai pandemi. Kan, mobilitas warga dari Manado ke daerah sekitarnya dibatasi, apalagi penyeberangan ke kepulauan,” kata Farid.
Ia pun meninjau lagi fasilitas apa yang mesti dia tambah atau ganti, termasuk buku-buku yang hilang dari perpustakaan. ”Warga pinjam, tapi untuk selamanya. Jadi nanti akan kami tambah lagi supaya warga bisa baca di sini,” katanya sambil terkekeh.
Di sisi lain, Farid merasa lega karena restriksi perjalanan telah dilonggarkan. Ia pun bisa kembali ke aktivitas rutin setiap akhir pekan, yaitu pulang kampung sesaat ke Pulau Gangga untuk mengajar di PKBM Tut Wuri Handayani.
Bersama istri, anak, dan para pengajar sukarela, ia menempuh jarak sekitar 43 kilometer dari Manado ke Likupang, Minahasa Utara, kemudian berlayar dengan taksi perahu untuk sekitar 45 menit menuju dermaga Desa Gangga II di utara Pulau Gangga. Ada 19 peserta aktif Kejar Paket A, 47 peserta Kejar Paket B, dan 73 siswa Kejar Paket C yang selalu menantinya.
”Usia peserta program kesetaraan di kisaran 25-45 tahun. Para siswa biasanya belajar secara tatap muka setidaknya dua kali sepekan. Tidak ada sepeser pun biaya yang kami pungut,” katanya.
Farid mulai mendirikan PKBM Tut Wuri Handayani pada 2010 di atas tanah milik keluarganya di tepi pantai Desa Gangga II. Ia merogoh kocek pribadi sekitar Rp 200 juta untuk membangun gedung itu. Semua dana berasal dari penghasilannya sebagai guru dan eksportir rumput laut dari Pulau Nain, kampung halaman istrinya, Suriati Sorongan (48).
Baca juga:Wajah Harapan dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat di Pulau Gangga
Saat itu, Farid masih bertugas sebagai guru di Ternate, Maluku Utara. Namun, sebelum gedung PKBM itu selesai dibangun pada 2012, Farid sudah selalu menyempatkan hadir mengajar di desa berpenduduk 800-an orang itu hampir setiap bulan. Jadi, secara teknis PKBM Tut Wuri Handayani sudah mulai beraktivitas sejak 2010.
Alhasil, menurut catatan di Data Pokok Pendidikan (Dapodik) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selama 2010-2017, PKBM yang dikelola Farid itu telah meluluskan 79 siswa Kejar Paket A, 240 siswa Kejar Paket B, dan 378 siswa Kejar Paket C. Jumlah itu sekitar setengah 1.200 penduduk Pulau Gangga yang terdiri dari Desa Gangga I dan Gangga II.
”Jumlah lulusan bisa lebih banyak karena belum ada pemutakhiran data. Yang pasti, lewat PKBM ini, warga di Desa Gangga II dan Pulau Gangga secara umum bisa dianggap setara dengan mereka yang menempuh sekolah formal,” kata Farid.
Menurut Farid, ada lulusan PKBM Tut Wuri Handayani yang sudah jadi satpam, anak buah kapal, teknisi mesin kapal, karyawan toko, hingga sarjana hukum. Pusat kegiatan belajar nonformal yang ia dirikan itu juga berhasil mencetak perangkat-perangkat desa, termasuk kepala Desa Gangga II.
Semua pekerjaan itu membutuhkan syarat ijazah setara SMA. ”Alhamdulillah, saya bersyukur bisa ikut bantu mereka mendapatkan kesempatan itu lewat Kejar Paket C,” kata Farid.
Peduli
Lahir dari keluarga keturunan Arab yang tinggal di Pulau Gangga, Farid menilai dirinya orang beruntung karena bisa meniti jalur pendidikan formal hingga mampu berkarier. Keadaannya berbeda dari warga Pulau Gangga pada umumnya yang memegang teguh budaya bahari dengan menjadi nelayan.
Menurut Farid, ada pola pikir di masyarakat desa yang menyatakan nelayan adalah pekerjaan yang lebih menuntut keahlian dari pengalaman, bukan dari pendidikan formal. Akibatnya, minat untuk menuntut ilmu di sekolah formal pun rendah karena tuntutan untuk menyambung hidup.
Menurut keterangan Sekretaris Desa Gangga II Bahrudin Bakari (44), hanya sekitar 30 persen dari 500 penduduk dewasa di Desa Gangga II yang memegang ijazah SMA. Belitan masalah semakin kusut karena tingkat pernikahan dini disebut cukup tinggi. Masalah kemiskinan pun turut menghampiri warga.
Dari sinilah tumbuh kepedulian Farid hingga hatinya tergerak membangun PKBM Tut Wuri Handayani. Namun, kepedulian saja tidak cukup bagi Farid, harus diinstitusionalkan. Sebab, sudah banyak orang yang secara sukarela membuka kegiatan belajar hingga mengumpulkan sukarelawan, tetapi belum mampu membawa perubahan signifikan.
”Jangan setengah-setengah, apa yang kita lakukan harus bisa membawa dampak. Karena itu, lebih baik kepedulian itu saya wujudkan dalam bentuk PKBM. Kalau masyarakat bisa dapat ijazah setara SD, SMP, atau SMA, mereka bisa cari kerja dan mendapatkan hidup yang lebih layak,” kata Farid.
Farid memang sudah piawai mengajar di sekolah formal. Namun, metode yang diterapkan dalam sekolah nonformal harus ia kembangkan sendiri. Sebab, tidak mungkin mendudukkan orang-orang dewasa layaknya dalam kelas. Karena itu, para siswa PKBM dipersilakan belajar sambil nongkrong, ditemani kopi dan rokok, saat tatap muka dengan Farid dan para pengajar sukarela.
Karena hanya bisa datang saat akhir pekan, Farid pun memberlakukan dua metode belajar lainnya di PKBM, yaitu tutorial di luar kelas serta belajar mandiri dengan membaca buku dan latihan soal. ”Ini adalah cara paling efektif yang bisa kami terapkan di sela-sela kesibukan masing-masing. Konsekuensinya, siswa harus disiplin sendiri meski dihadang kesibukan sebagai nelayan atau mengurus anak,” katanya.
Baca juga: Jufry ”Jule” Masala, Menemukan Hidup Berkat Tukik
Menurut Farid, yang terpenting dari proses belajar di PKBM adalah materi yang terdaftar dalam silabus tersampaikan kepada siswa. Tanpa perlu bertahun-tahun belajar. Jika siswa ia nilai sudah siap, ia akan mempersilakan mereka mengikuti ujian nasional kesetaraan yang digelar dua kali setahun.
Farid mengaku kerap mengatrol nilai para siswa program kesetaraan. Sebab, warga di Pulau Gangga belajar bukan untuk mendapatkan nilai bagus, tetapi untuk mendapatkan ijazah demi kehidupan yang lebih baik.
”Syarat kelulusan ujian nasional yang ditetapkan pemerintah adalah mampu mendapatkan nilai 51 persen. Penilaian sisanya dikembalikan ke sekolah. Jadi, tidak ada salahnya kami bantu para siswa selama mereka bisa memahami dan memaknai pelajaran,” kata Farid.
Mengelola PKBM, menurut Farid, memang tak mudah. Biayanya juga besar, mulai dari untuk transportasi setiap pekan, menggaji pengelola, dan biaya lainnya, nyaris tanpa untung. Beban semakin berat karena dana dari Kemendikbud yang disalurkan lewat dinas pendidikan di kabupaten disebutnya kerap tidak tersalurkan merata.
Namun, bantuan selalu datang dari berbagai pihak, termasuk lulusan PKBM besutannya yang telah mendapatkan pekerjaan di luar Pulau Gangga. Biaya juga disebutnya masih cukup dari penghasilannya sebagai eksportir rumput laut. ”Selama ini sebagian biaya dari saya sendiri, sebagian lagi dari sumbangan. Alhamdulillah, selalu ada bantuan,” kata Farid.
Semangat mengajar secara sukarela juga menurun ke anak Farid, Faradila Bachmid (29) yang selalu turut serta ke Pulau Gangga untuk mengajar. Menurut dia, pendidikan nonformal yang dirintis oleh ayahnya adalah bagian dari gerakan memajukan literasi.
”Literasi bukan sekadar bisa membaca, tetapi bisa memahami konteks dan memaknai informasi yang arusnya kini tidak terbendung. Karena itu, gerakan literasi itu butuh napas panjang dan konsistensi untuk selalu hadir, seperti yang Abah lakukan,” kata Faradila.
Jangan setengah-setengah, apa yang kita lakukan harus bisa membawa dampak. Karena itu, lebih baik kepedulian itu saya wujudkan dalam bentuk PKBM. Kalau masyarakat bisa dapat ijazah setara SD, SMP, atau SMA, mereka bisa cari kerja dan mendapatkan hidup yang lebih layak.
Kini, Farid sudah mendirikan tiga PKBM di empat lokasi, yaitu PKBM Tut Wuri Handayani di Desa Gangga II, PKBM Ibu Pertiwi di Pulau Nain dan Pulau Tangkasi (Minahasa Utara), dan PKBM Sam Ratulangi di Manado. Ketiga PKBM yang dikelola masing-masing oleh dirinya, istri, dan anaknya itu tengah mendidik 526 siswa program kesetaraan yang masih aktif dan telah menerbitkan tak kurang dari 2.000 ijazah Kejar Paket A, B, dan C.
Farid pun mendapat tempat terhormat di kalangan warga Pulau Gangga hingga mendapat panggilan akrab Ami (Paman) Farid. Namun, kaki Farid tetap memijak tanah. Ada tugas mulia yang ia ingin teruskan demi menyetarakan warga yang putus sekolah dengan mereka yang lebih beruntung.
Ir Farid Bachmid
Lahir: Manado, 15 Maret 1962
Pendidikan: S-1 Jurusan Teknik Sipil Universitas Sam Ratulangi
Anak-anak:
- Rahmat Rizal Bachmid
- Faradila Bachmid
- Fihri Bachmid
Pekerjaan:
- Kepala sekolah SMP PGRI 3 Manado 1988-2002
- Kepala Bagian Perencanaan Dinas Pendidikan Kota Ternate 2003-2008
- Plt Kepsek SMK 2 Kota Ternate 2009-2014
- Pelaksana Teknis Sanggar Kegiatan Belajar Kab Minahasa Utara 2014-sekarang