Julianto Pane, Polisi dan Dai di Gayo Lues
Julianto Pane mengabdikan dirinya menjadi polisi sekaligus dai. Dia mendirikan pesantren untuk melayani pendidikan bagi masyarakat sekitarnya.
Waktu kecil Julianto Pane (34) bercita-cita menjadi hafiz dan dai, sedangkan adiknya bercita-cita jadi polisi. Saat adiknya meninggal, sang ayah meminta Julianto menjadi polisi. Setelah jadi polisi, Julianto justru mendirikan pesantren untuk melahirkan hafiz.
Julianto merasakan kebahagian ganda: impian ayah terwujud dan cita-citanya menjadi dai juga terbalas. Jalan hidup yang dipilih menjadi polisi justru telah menuntunnya bisa berbuat banyak untuk masyarakat.
”Saya bahagia bisa memenuhi keinginan ayah dan mewujudkan mimpi sendiri,” kata Brigadir Kepala (Bripka) Julianto Pane saat ditemui Kompas di Banda Aceh, Sabtu (15/8/2020).
Julianto Pane adalah anggota Satuan Bimbingan Masyarakat Kepolisian Resor Gayo Lues, Aceh. Namun, di samping profesi sebagai polisi, Julianto juga mengasuh Pesantren Ruhul A’zham di Desa Sentang, Kecamatan Blangkejeren, Gayo Lues.
Hari itu, dia baru tiba di Banda Aceh setelah menempuh perjalanan darat dari Gayo Lues selama 12 jam. Dia dipanggil oleh Kepala Kepolisian Daerah Aceh Inspektur Jenderal Wahyu Widada untuk menceritakan perihal aktivitasnya mengelola pesantren.
Masuk polisi
Tahun 2003, saat adiknya meninggal, Julianto sedang mondok di Pesantren Ar Raudhatul Hasanah, Medan, Sumatera Utara. Di sana, dia belajar ilmu agama dan sekolah menengah atas (SMA). Julianto dan adiknya berbeda usia dua tahun. Mereka adalah dua anak laki-laki dari empat bersaudara.
”Adik saya ingin jadi polisi, tetapi Allah memanggilnya lebih dulu,” ujar Julianto.
Setelah adiknya meninggal, Julianto diminta oleh ayahnya untuk melanjutkan sekolah di kampung dan melamar jadi polisi setelah lulus SMA. Julianto memahami isi hati ayahnya yang ingin mewujudkan cita-cita sang adik.
Julianto patuh pada keinginan ayah sebab dia meyakini keridaan orangtua adalah jalan menuju kesuksesan. Julianto menepikan hasratnya melanjutkan pendidikan ke pesantren.
Tahun 2005, Julianto lulus seleksi penerimanaan anggota Polri. Setelah mengikuti pendidikan, dia ditempatkan di Polres Gayo Lues. Sebagai anggota Satbinmas, Julianto selalu hadir di tengah-tengah warga untuk menyampaikan pesan kepolisian, seperti menjaga kerukunan hidup, menjauhi narkoba, dan menjaga keamanan.
Sebagai bekas santri, ilmu agamanya cukup mumpuni. Julianto sering menggunakan pendekatan keagamaan untuk menyosialisasikan pesan-pesan keamanan dan ketertiban masyarakat. Dia sering menjadi imam shalat dan penceramah serta memimpin doa dalam kegiatan di masyarakat dan di lingkungan polisi.
Beberapa tahun menjadi polisi, Julianto mulai gelisah melihat banyak anak muda bermasalah dengan hukum. Dia mulai berpikir, tindakan hukum saja tidak akan menyelesaikan persoalan. Proses hukum hanya tindakan terakhir untuk menyadarkan orang dari kesalahan. Namun, perlu upaya di hulu untuk mencegah orang berbuat salah.
Pengajian
Pada 2008, Julianto menggelar pengajian untuk anak-anak dan orang dewasa di sekitar Blangkejeren. Sebagian santrinya adalah anggota Polres Gayo Lues. Melalui pengajian dia menanam nilai-nilai kebaikan kepada anak-anak dan orang dewasa. Persoalan yang ditemukan di lapangan dibahas dengan pandangan Islam saat pengajian.
Misalnya, persoalan penggunaan narkoba yang kian marak di kalangan generasi muda. Julianto mengatakan, agama Islam juga mengharamkan narkoba sebab mendatangkan kehancuran bagi pengguna dan bagi lingkungan.
Bahkan sebagian santrinya tidak tahu jika guru mereka, Julianto, adalah seorang polisi. ”Saat mereka tahu, mereka semakin senang. Kok, ada polisi yang buka pesantren,” ujar Julianto.
Bagi Julianto, berbuat baik untuk orang dan berbuat untuk agama tidak memandang profesi. Apa pun profesi seseorang, sebagai hamba Tuhan wajib menjalankan perintah-Nya. ”Saya ingin seragam (polisi) yang saya pakai ini menjadi pintu beramal,” kata Julianto.
Pada 2012, izin operasional pesantren keluar. Seiring dengan waktu, santrinya semakin banyak. Julianto mulai berpikir untuk membuat pesantren modern dengan sekolah dan pengajian terintegrasi. Namun, dia bingung dari mana biaya operasionalnya.
Suatu hari dia mengumumkan rencana itu kepada anggota Polres Gayo Lues. Dia mengajak anggota polres untuk ikut menyumbang. Niat baik Julianto disambut hangat anggota polres. Setiap bulan mereka menyisakan gaji untuk disumbang ke Pesantren Ruhul A’zham. Besaran sumbangan bervariasi, Rp 100.000 hingga Rp 200.000 per orang. ”Saya terharu, banyak teman di polres yang mendukung. Setiap awal bulan saya kutip infak ke mereka,” kata Julianto.
Namun, mulai 2018, Pesantren Ruhul A’zham sudah mendapatkan bantuan dari pemerintah sehingga sumbangan dari luar dihentikan. Kini pada santri juga telah diberlakukan iuran bulanan. Pada tahun 2018 juga dibuka program sekolah madrasah tsanawiyah (setingkat SMP).
Pada 2019 dibuka sekolah madrasah aliyah (setingkat SMA) dan madrasah ibtidayah (setingkat SD). Saat ini jumlah santri di Pesantren Ruhul A’zham sebanyak 589 orang. Julianto berencana akan membuka sekolah tinggi agama Islam.
Sebagai polisi, Julianto berusaha keras untuk tetap menjalankan tugas sampai tuntas. Pagi hingga sore digunakan untuk jam dinas, sedangkan sore hingga malam dipakai untuk pengajian. Pesantren Ruhul A’zham memiliki program hafiz (hafal Al Quran), sekolah, kitab kuning, dan tarekat atau majelis zikir.
Setiap tahun Julianto memanfaatkan masa cutinya untuk memperdalam ilmu agama ke Pesantren Thariqat Naqsyabandiyah Babussalam di Langkat, Sumatera Utara. Oleh pemimpin pesantren itu, Julianto diberi nama Syekh Sutan Hanaikhan Pane. Nama ini sering dia pakai saat menjadi dai.
Sebagai pengasuh pesantren, Julianto kerap diundang menjadi penceramah ke majelis zikir di sejumlah kabupaten/kota di Aceh. Namun, setiap kegiatan selalu atas izin Kepala Polres Gayo Lues. Julianto hanya mau memenuhi undangan ceramah yang ditujukan ke Polres Gayo Lues, bukan ke pesantren.
”Setiap majelis yang saya isi itu berdasarkan surat perintah dari Kapolres. Sebagai anggota polisi, saya harus taat pada aturan,” ujar Julianto.
Dalam setiap ceramah, meski jemaah tidak tahu dia anggota polisi, pesan-pesan kepolisian selalu dia sampaikan. Bagi Julianto, polisi dan dai sama-sama ladang untuk berbuat kebaikan.
Julianto Pane
Lahir: Gayo Lues, Aceh, 31 Januari 1986
Istri: Erni Juwinta, SKM
Anak: Azkiatus Syekhna Pane
Pendidikan:
- SD Negeri Kampung Baru
- SLTPN 1 Badar, Gayo Lues
- SMAN 1 Badar, Gayo Lues
- Pesantren Ar Raudhatul Hasanah, Sumut
Pekerjaan:
- Anggota Satbinmas Polres Gayo Lues
- Pemimpin Pesantren Ruhul A\'zham Gayo Lues
Organisasi:
- Ketua Persatuan Ulama Lintas Tengah
- Ketua Persatuan Thariqat Naqsabandiah Gayo Lues
- Pembina Gerakan Remaja Mengaji Gayo Lues
Penghargaan:
- Dai Kamtibmas Terbaik Polres Gayo Lues (2018)