Deva Permana, Jembatan Budaya dengan Kendang di Australia
Pemain kendang Deva Permana terus bergerilya mengenalkan karawitan Sunda di Australia. Dia mendirikan grup Makukuhan untuk keliling ke sekolah-sekolah.
Pemain kendang Deva Permana (47) mengharumkan nama Indonesia di Australia. Bermodal kemahirannya bermain kendang yang dipelajari sejak usia 12 tahun, Deva tak kenal lelah mengangkat seni budaya Indonesia. Keliling Australia, dia yang mendirikan grup karawitan Makukuhan mengajarkan musik tradisional Indonesia kepada siswa sekolah.
Masa pandemi Covid-19 tak menyurutkan langkah Deva, putra seniman Gatot Soenjoto, mengembangkan seni musik tradisional di ”Negeri Kangguru”. Saat ini, Deva menggarap program Interactive Online School Show bersama grup karawitan trio Makukuhan. Kegiatan ini bagian dari program Musica Viva in Schools (MViS) yang diprakarsai lembaga musik Australia, Musica Viva.
”Di samping program ini, saya juga sedang menyelesaikan album kedua bersama grup jaz Energetic Zen Quintet. Selain itu, menjaga kegiatan komunitas Sydney Fusion Jazz Jam walaupun saat ini hanya secara daring (online). Ada kebanggaan tersendiri seni budaya Indonesia bisa diterima negara lain,” kata Deva dari Sydney, New South Wales, Australia, Rabu (26/8/2020).
Di masa pandemi ini, Deva bersama anggota Makukuhan, Efiq Zulfiqar dan Reza Achman, mengerjakan kegiatan seninya secara daring. Selain itu, anggota grup juga memberikan pelatihan dari studionya masing-masing.
”Kami kerja sama dengan Department of Education & Training Australia dan Musica Viva in Schools Program membuat program Interactive School Show. Kami mengunjungi sekolah di seluruh Benua Australia, baik di kota maupun pedalaman. Jadi, selama ini, sudah ratusan sekolah yang kami kunjungi setiap tahun,” tutur Deva.
Beberapa bulan ini, kebiasaan mengunjungi sekolah dan wilayah dihentikan sementara. Tantangannya, Deva harus merancang ulang alur pertunjukan serta naskah-naskahnya menjadi bentuk daring tanpa mengurangi sinergi interaktif kepada anak-anak.
Begitu juga dengan kegiatan latihan dengan band, Deva menggarap secara secara daring sambil menciptakan virtual jam session dari rumah masing-masing. Salah satunya, dia menggarap lagu ”Gubahanku” karya ayahnya dengan Energetic Zen Jazz.
Walaupun jarak terpisah, cara unik ini menjadikan semua lebih memahami musiknya. Bahkan, terasa lebih memiliki nilai kedekatan. Memang, kata Deva, tidak akan ada yang mampu menggantikan hubungan atau kontak manusiawi yang sebenarnya.
Deva memandang ketertarikan anak-anak Australia kepada seni budaya Indonesia sangat besar. Kegiatan pendidikan budaya Indonesia ini selalu menjadi tuntutan tertinggi dan salah satu kebutuhan teratas hingga saat ini. ”Saya sudah berkecimpung di inisiatif ini selama 20 tahun lebih. Hal ini tidak hanya dari segi pendidikan budaya Indonesia, tetapi juga di sektor pengembangan budaya Indonesia secara umum. Sayang sekali, kami masih kekurangan tenaga,” ujar Deva, menghela napas.
Menurut Deva, dukungan dari pihak perwakilan lembaga negara Indonesia yang ada di Australia dinilai masih cenderung kembang kempis. Cara pandangnya terkadang masih terlihat tersegmentasi. Jangkauan ”busur panahnya” hanya cenderung mengarah ke kebutuhan kegiatan komunitas.
Sementara, kata Deva, banyak lembaga budaya Australia, baik itu sektor pendidikan maupun umum, tertarik mendukung pengembangan budaya Indonesia di Australia. Antara permintaan dan penawaran masih cenderung tidak seimbang dan jauh dari ”mumpuni”.
Deva yang memiliki kemahiran mengembangkan seni perkusi merupakan salah satu peraih ”Distinguished Talent Visa” tahun 2008. Dengan visa khusus dari Pemerintah Australia itu, lelaki lajang ini mendapatkan peluang fasilitas dan waktu untuk mengembangkan visi dan misi budayanya.
Pada dasarnya visa ini diberikan untuk orang-orang yang bergerak di bidang yang dibutuhkan Australia, terutama kebudayaan dan olahraga. Australia membuka pintu seluas-luasnya di kedua bidang itu untuk membangun hubungan antardua negara, bahkan diharapkan lebih luas lagi. Inilah anugerah tak ternilai bagi Deva, sekaligus menjadi amanah bisa mengenalkan dan mengembangkan kebudayaan Indonesia di Australia.
Perjalanan Deva sampai ke Australia penuh liku-liku sejak 1996. Dahulu, harapannya berpindah dari Indonesia sederhana saja, ingin menjembatani budaya Indonesia, terutama musik, dan bisa bergerilya ke luar negeri. Tentu, sambil melihat dan merasakan kehidupan apa yang terjadi di luar Indonesia.
Saat itu, dia pindah ke Australia setelah mencicipi kesempatan kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung Jurusan Desain Industri. Deva tidak menyelesaikan kuliahnya di ITB.
Namun, bekal kuliah ini sangat mendukung langkah-langkahnya. Kebetulan, saat itu kegiatan bermusiknya banyak tersalurkan melalui kegiatan-kegiatan di ITB. Dari jazz band, bigband, marching band, hingga berbagai bentuk seni tradisi, seperti Lingkung Seni Sunda dan Ludruk. Saat itu, banyak kegiatan seni tradisi berafiliasi dengan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung yang sekarang berubah menjadi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) dengan Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI).
Perjalanan bermodal keterampilan memainkan kendang mengantar Deva menjadi drummer, perkusi, komposer, sekaligus musisi karawitan gamelan Indonesia.
Ada kebanggaan tersendiri. Seni budaya Indonesia bisa diterima negara lain.
”Semua itu menjadikan jembatan ilmu yang sangat besar. Semua disiplin ilmu dari pembelajaran kebijaksanaan berilmu, pembentukan estetika seni, hingga hubungan sosial, bahkan manajemennya. Saya merasa tertempa di ITB, yang menjadi sumber energi dan inspirasi dalam upaya menjalankan pembangunan jembatan budaya ini,” ujar Deva sambil tersenyum.
Selama dua tahun, 1996-1997, Deva mengenyam pendidikan di Australian Institute of Music, di Sydney, Australia. Kebetulan, Deva mendapatkan kesempatan melanjutkan gelombang berikutnya melalui program beasiswa.
Rupanya, sekolah tinggi tersebut melihat potensinya untuk mengolaborasikan musik budaya, memadukannya dengan beberapa kultur lain, terutama di sekolah tersebut. Mereka banyak memacu Deva untuk menjalankan kesempatan-kesempatan tersebut.
Maret 1998, dia dipanggil oleh Australian Art Council untuk membuat program ”Australian Emerging Artist–Ancestors of the Future”. Deva terpilih menjadi salah satu komposer muda multikultural dengan latar belakang ”non-English” untuk menjalankan suatu rangkaian kegiatan—baik itu berupa lawatan pertunjukan maupun pendidikan—dengan titel kegiatan ”Australian Emerging Artists–Ancestors For The Future”.
Hal itu berkembang ke kegiatan seni dengan skala jenjang lebih luas. ”Dari situlah mata saya mulai terbelalak lebih lebar lagi. Sebagai penyambung budaya, pembuka jalan budaya berkembang menjadi panggilan hidup dan mungkin adalah fungsi saya di semesta ini,” ujar Deva.
Hingga tahun 2006, Deva terlibat dalam kerja sama dengan banyak lembaga kesenian dan pendidikan (termasuk Jigsaw Theatre, Sydney Opera House, Jazz Action Society, Sydney Festival, dan terakhir Musica Viva). ”Dari semua ’tabungan’ pengalaman seni itulah, saya kemudian ditawari Distinguished Talent Visa dan mendapatkan Art Business Visa yang selalu diperpanjang karena proyek,” ujar Deva tersenyum.
Dari situlah mata saya mulai terbelalak lebih lebar lagi. Sebagai penyambung budaya, pembuka jalan budaya berkembang menjadi panggilan hidup dan mungkin adalah fungsi saya di semesta ini.
Bagi Deva, berada di negeri orang bisa bertukar ilmu menyangkut budaya-budaya lain, seperti budaya kontemporer Barat, khususnya di bidang musik jazz. Walaupun negara ini bukan poros musik jazz, setidaknya informasi tentang tradisi jazz beserta ilmunya cukup mendasar. ”Jadi, singkatnya, sambil menjembatani budaya, saya juga sambil mencari ilmu budaya-budaya lainnya,” ujar Deva.
Menempa diri
Sejak awal merantau, dalam kehidupan sehari-hari, Deva tidak pernah mengharapkan gelimang fasilitas. Dia menyadari, dirinya bukan dari latar belakang keluarga berada. Mungkin sangat berbeda dengan pengalaman yang dirasakan anak-anak lain yang memang sudah lebih banyak dipersiapkan secara finansial oleh keluarganya untuk bersekolah di luar negri.
Deva memang sudah benar-benar siap secara mental untuk menjadi perantau dalam segala kondisi medan. Meski mendapat beasiswa pendidikan, Deva harus berusaha membiayai hidupnya sendiri dari bermain musik atau mencari penghasilan selain bermusik. Sejak awal kuliah, untuk bisa mendapatkan cukup waktu latihan berikut fasilitasnya, Deva kadang harus berkelit dengan birokrasi kampusnya. Kala itu, fasilitas kampus masih terbatas.
Belum lagi ketika terjun ke dunia profesionalisme bermusik, Deva juga sudah langsung terjun ke kancah dunia bisnis, termasuk segala pelik perpolitikan bisnisnya. Semua itu dijadikannya pelajaran berharga, yang belum tentu bisa didapatkan di dalam bangku sekolah.
Banyak sekali rintangannya walaupun tidak sedikit pintu-pintu yang terlihat terbuka hingga akhirnya perjalanan Deva tersebut diabadikan oleh salah satu buku sejarah perkembangan musik Australia yang berjudulkan Australia: Exploring The Musical Landscape.
Bagi Deva, Australia menjadi tempat untuk menempa pola berpikirnya, kebijaksanaan cara pandang dari segala sisi, tanpa ada orang-orang yang mengetahui latar belakang keluarganya. Dengan harapan semua murni bertujuan untuk menemukan jati diri, pembangunan karakter, serta pengembangannya dari bawah.
Bahkan, tanpa bayang-bayang siapa pun, termasuk ayahnya yang dikenal sebagai seniman, Gatot Soenjoto. Ayahnya seorang penggubah lagu dengan salah satu ciptaan legendarisnya yang berjudul ”Gubahanku”. Dahulu, ayahnya merupakan salah seorang ventriloquist (ilusi suara perut) yang pertama kali memopulerkan seni sulap suara perut di Indonesia melalui TVRI di era tahun 1970-1980 dengan bonekanya yang bernama ”Tongki”.
Namun, Deva tumbuh menjadi seniman musik budaya. Bukan seperti ayahnya yang dikenal sebagai multientertainer, pesulap, MC, dan komedian. ”Ayah awalnya tidak ingin saya terpengaruh untuk menjadi seorang seniman, mungkin karena dasarnya semua orangtua pasti tidak ingin ada anaknya yang kelak menjadi sengsara atau terlalu berat dalam menjalankan roda kehidupannya,” ujar anak kedua dari empat bersaudara ini.
Ayahnya merasa lebih baik anaknya menjadi seorang pegawai di suatu perusahaan. Atau, berkarier aman di bawah suatu naungan badan usaha daripada menjadi wirausaha. Apalagi, wirausaha seni yang dirasakannya sangat berat dari pengalaman hidupnya sendiri.
Akan tetapi, kata Deva, mungkin ayahnya lupa, DNA bawaannya tidak bakal bisa memungkiri kehendak alam, maka secara otomatis malah terciptalah seniman baru dari generasinya. Terlebih, ibunya justru lebih mendukung terhadap apa pun yang dijalani anak-anaknya dan berkarier dengan memegang pedoman untuk menjadi ”orang mulia”.
Bagi Deva, kehebatan ayahnya terletak pada cara-cara menanamkan kedisiplinan anaknya dan disertai rasa tanggung jawab. Mulai dari hal-hal kecil, seperti sejak dini mewajibkan bangun pagi, membuang sampah, menyiram tanaman, merawat hewan-hewan sebagai sarana sulap ayah (burung merpati), mengunci pagar rumah tiap malam. Saling melindungi saudara-saudarinya, misalnya, saat berada di jalan raya.
Hal-hal yang terdengar sepele, tanpa disadari, menjadikan pembentukan kedisiplinan, tetapi juga bersamaan menanamkan rasa tanggung jawab cukup tinggi dan mendasar sebagai bekal perkembangan karier berkesenian.
”Semua itu membekali saya, bukan hanya memfasilitasi berupa perangkat musik ataupun memberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan musik dan seni, tetapi semua hal tersebut saya emban dengan penuh kedisiplinan dan tanggung jawab untuk menjaga dan mengembangkannya,” kata Deva.
Deva Permana
Lahir: Jakarta, 13 Januari 1973
Karier: Musisi, Drumer, Percussionist, Karawitan Musik Indonesia. Pemrakarsa program karawitan dengan grup karawitan trio ”Makukuhan” melalui program pendidikan di bawah naungan ”Musica Viva in Schools Program”, baik kontemporer maupun tradisional Indonesia.
Penghargaan:
- Runner-up Billy Hyde Open Drum Off Competition (1997 dan 1999)
- Juara Pertama Billy Hyde Open Drum Off Competition (2001)
- Penerima penghargaan Best World Music Australia Award (2002)
- Nama Deva tertulis pada buku sejarah musik Australia berjudul Australian Exploring The Musical Landscape (2000-sekarang). Ia bergabung dan berkolaborasi dengan banyak grup jaz, pop, elektronik, serta musik etnik dunia.
Pendidikan:
- Australian Institute of Music (1996-1997)
- Fakultas Seni Rupa ITB (1991)
- SMA St Fransiskus Asisi, Tebet
- SD, SMP St Antonius, Jakarta Timur
- TK Kartini, Jakarta Timur