Kemas Andi Syarifuddin, Penjaga Naskah Kuno Palembang
Kemas Andi Syarifuddin merawat naskah kuno Kesultanan Palembang Darussalam yang usianya sekitar 300 tahun. Selain itu, Andi ingin generasi muda belajar ”Bebaso Palembang” yang dituliskan lewat naskah kuno.
Melestarikan budaya Palembang agar tidak punah menjadi pelecut bagi Kemas Andi Syarifuddin (49) untuk mempelajari bahasa Palembang, termasuk menjaga ratusan naskah kuno. Dia tidak ingin budaya leluhurnya ini hilang terkikis zaman.
Di rumahnya, Jumat (7/8/2020), Andi menunjukkan koleksi manuskrip atau naskah kuno yang tersusun rapi di lemari kaca di ruang tamunya. Beberapa manuskrip berwarna coklat tua itu dikeluarkan perlahan-lahan. ”Jangan terburu-buru karena naskah ini sangat rapuh,” ucapnya.
Manuskrip tertua yang Andi simpan saat ini berusia sekitar 300 tahun. Andi membuka lembar demi lembar naskah bertuliskan ejaan Arab Melayu. Telunjuknya mengarah ke setiap huruf dan secara spontan dia langsung mengartikannya ke dalam bahasa Indonesia. Memang selain memelihara ratusan manuskrip tua itu, Andi juga mahir berbahasa Melayu dan Palembang.
Kebanyakan manuskrip yang Andi simpan ditulis dalam bahasa Melayu, bahasa yang digunakan pada masa kesultanan, tetapi ditulis dengan huruf Arab. Bahasa melayu ini merupakan akar dari bahasa Palembang yang juga kental dipengaruhi oleh bahasa Jawa, China, dan Belanda.
Ada sekitar 100 manuskrip yang ia simpan hingga kini. Sebagian besar berupa lembaran tentang ajaran agama Islam (fikih, shalat, wudu, haji, zakat, tasawuf), syair Palembang, resep pengobatan, dan sejarah Kesultanan Palembang Darussalam.
Andi mengatakan, naskah ini sudah diwariskan setidaknya oleh tujuh generasi. Mulai dari leluhurnya, Kemas Haji Umar, yang menjabat sebagai khatib penghulu di masa Kesultanan Palembang Darussalam, hingga ke ayah Andi, yakni Kemas Haji Ibrahim Umari.
Semua manuksrip yang Andi simpan ditulis oleh para ulama, imam, dan guru yang hidup pada masa Kesultanan Palembang Darussalam. Zaman itu, para ulama dan guru memang kerap menyampaikan ajarannya dengan cara menulis. Naskah ini pun ditulis dengan menggunakan tinta mangsi dengan kertas khusus yang didatangkan dari Eropa. ”Dulu belum ada percetakan, jadi semua hal harus ditulis,” ucapnya.
Memang saat itu, ujar Andi, tugas para ulama mencakup banyak hal. Selain sebagai guru agama, ulama juga berperan sebagai mufti yang bertugas memutus setiap perkara agama yang terjadi di masyarakat kala itu.
Di zaman kesultanan, terang Andi, hubungan antara ulama dan keluarga kesultanan memang sangat dekat. Bahkan, ada lingkungan khusus yang disediakan sultan bagi para ulama yang dikenal dengan sebutan Guguk Pengulon, yaitu permukiman bagi para penghulu atau ahli agama. ”Ulama kerap dijadikan guru spiritual bagi para sultan pada masa itu,” kata Andi.
Kawasan itu berada di Jalan Faqih Jalaluddin, Palembang. Dulunya, jalan ini dinamai Jalan Guru-Guru karena banyak guru yang tinggal di sana. Letaknya pun dekat dengan kawasan Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau yang dikenal dengan sebutan Masjid Agung Palembang.
Masjid ini merupakan tempat ibadah utama pada zaman kesultanan, letaknya tidak jauh dari keraton. Saat ini, keraton Kesultanan Palembang Darussalam sudah berubah menjadi Benteng Kuto Besak dan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang.
Berbagi ilmu
Ketertarikan Andi mempelajari bahasa Palembang, termasuk menjaga manuskrip, tidak lepas dari peran ayahnya, Kemas Haji Ibrahim Umari. Anak bungsu dari dua bersaudara ini selalu mencatat apa yang dikatakan oleh orangtuanya. ”Setiap kata yang saya tidak tahu artinya saya catat. Sekarang sudah saya bukukan menjadi kamus Bebaso Palembang,” katanya.
Bebaso Palembang merupakan bahasa dengan penuturan yang lebih halus dibandingkan dengan bahasa sehari-hari. Bebaso digunakan sebagai tanda penghormatan kepada orang yang menjadi lawan bicara, baik kepada orangtua, orang yang lebih tua, maupun orang yang dihormati. Bahkan, dulu, bebaso Palembang menjadi syarat bagi pemuda yang ingin meminang gadis Palembang. ”Namun, sekarang, tradisi itu sudah jarang ditemui,” ucapnya.
Beberapa kata yang mungkin jarang didengar orang Palembang, seperti ayun nedo yang berarti mau makan, majeng dihaturi (silakan), wentelna (adalah), atawa (atau), pangkeng (kamar), leker (enak), lompok (rumah), dan sejumlah kata lain. ”Saat ini sudah banyak yang tidak tahu cara berbaso yang benar. Beruntung, saya mempelajarinya,” ucap Andi.
Adapun ketertarikan Andi untuk mempelajari manuskrip ia rasakan ketika mempelajari Kebudayaan Islam di Universitas Islam Negeri yang kala itu masih bernama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Fatah Palembang. Dalam mata pelajaran itu, ada materi terkait filologi termasuk mempelajari manuskrip.
Kini, Andi membagikan pengetahuannya terakit bebaso kepada generasi muda. Dia menjadi guru untuk muatan lokal Bahasa Palembang di Sekolah Dasar Plus Indo Global Mandiri (IGM) Palembang. Sayangnya, tidak banyak sekolah yang menyajikan bahasa Palembang sebagai mata pelajaran atau muatan lokal. ”Padahal yang bisa berbaso Palembang saat ini jumlahnya sangat terbatas,” ungkapnya.
Menurut dia, jika tidak ditularkan kepada generasi muda, tradisi bebaso Palembang tergerus dengan perkembangan zaman. Apalagi, saat ini, media sosial sudah merebak. Untuk itu, penting bagi setiap orangtua atau lembaga pendidikan untuk menanamkan budaya Palembang kepada generasi muda mulai dari usia dini.
Bahkan, sebagian koleksi manuskrip miliknya juga dia letakan di Laboratorium Naskah Melayu di Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang. Tujuannya agar dapat dipelajari oleh para mahasiswa, termasuk peneliti, yang memiliki ketertarikan tentang manuskrip pada masa Kesultanan Palembang Darussalam.
Andi menerangkan, ada beberapa peneliti dari beberapa negara yang datang untuk melihat koleksi manuskripnya. Mereka datang dari Singapura, Malaysia, Belanda, dan Jepang. Ini membuktikan bahwa banyak orang yang tertarik untuk mempelajari sejarah dari Palembang.
Bahkan, ada orang yang pernah menawarkan sejumlah manuskripnya dengan imbalan naik haji. ”Namun, tawaran itu saya tolak, dan sekarang pun saya bisa beribadah haji tanpa harus menjual manuskrip,” katanya.
Baca juga : Sisca Wiguno Blusukan di Pedalaman hingga Sarang Teroris
Sebenarnya, ujar Andi, dirinya berharap ada pihak yang membantu dirinya dalam memelihara manuskrip berharga tersebut. Selama ini, manuskrip tersebut haya dirawat dengan menggunakan cara yang konvensional, yakni meletakkan kapur barus di sekitar naskah agar naskah tersebut tidak dirusak rayap. Padahal, menurut dia, ada cara yang lebih baik untuk merawat manuskrip.
Dia melihat perpustakaan di Malaysia yang menyimpan manuskrip dengan cara melaminating naskah, meletakannya di ruang dengan suhu tertentu, dan dengan pencahayaan yang baik.
Walau di tengah keterbatasan alat, Andi tetap berupaya keras agar manuskrip tersebut dapat dilihat dan dinikmati hingga generasi selanjutnya. Baginya, mempertahakan budaya Palembang jauh lebih berharga daripada apa pun.
Kemas H Andi Syarifuddin
Lahir: Palembang, 26 Mei 1971
Istri: Christiana
Anak: 3
Pendidikan:
- SD Negeri 70 Palembang
- SMP Bakti Ibu Palembang
- SMA Bakti Ibu Palembang
- IAIN Raden Fatah (1990)
Pekerjaan:
- Guru di SD Plus Indo Global Mandiri Palembang
- Pengelola Laboratorium Naskah Melayu di UIN Raden Fatah Palembang
- Pengurus dan Imam Masjid Agung Palembang
Penghargaan
- Anugerah Budaya Naksatra Sriwijaya dari Gubernur Sumatera Selatan
- Tokoh Peduli Kebudayaan Kota Palembang
- Penghargaan dari Perpustakaan Nasional Kategori Pelestari Naskah Kuno