Mana yang mau dipilih, air bersih dan kedamaian, atau sebatang emas dan bencana. Pilihan pertama akhirnya menyelamatkan Lubuk Beringin dari beragam bencana. Bakian berperan kunci di balik pilihan masyarakat hulu sungai.
Oleh
Irma Tambunan
·5 menit baca
Godaan kerap singgah di Lubuk Beringin. Di desa paling hulu dari Batang Bungo itu, kilauan emas dan uang bisa saja menyilaukan masyarakat agar tergoda membuka hutan mereka untuk pertambangan. Namun, tanpa kompromi, Bakian (58) menolaknya satu per satu.
Baginya, hutan-hutan lindung yang membentang di bagian barat desa itu jauh lebih berkilau daripada butiran emas. Hutan itulah sandaran bagi seluruh kehidupan masyarakat. Beberapa kali ada orang datang memintai izin membuka usaha tambang emas. Mereka terpaksa balik arah dengan tangan hampa karena ditolak Bakian. Ada pula yang ingin mencuri-curi kesempatan membuka tambang liar. Jika sudah begitu, Bakian dan masyarakat langsung mengusir mereka.
Ikatan masyarakat di kawasan paling hulu dari Batang Bungo di Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Jambi, begitu kuat. Mereka menyadari begitu banyak sumber daya alam yang terkandung di sana. Di sisi lain, jika salah mengelola, bencana pun mengintai.
Kesadaran yang diwariskan secara turun-temurun itulah yang membawa Lubuk Beringin menjadi ikon pengelolaan hutan lestari dan berkelanjutan. Lubuk Beringin dinobatkan sebagai pengelola hutan desa pertama di Indonesia. Mereka menerima hak kelola kawasan Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur seluas 2.356 hektar.
Langkah desa itu serta merta diikuti desa-desa sekitar. Bersama-sama, mereka membangun kekuatan mengamankan hutan dari berbagai ancaman kejahatan lingkungan. Berkat upaya bersama, empat desa lainnya, yaitu Senamat Ulu, Sangi Letung, Laman Panjang, dan Sungai Telang, mendapatkan pula hak kelola serupa di Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur. Luasnya lebih dari 5.000 hektar.
Bakian (65) memainkan peranan besar menjaga hulu sungai. Dalam banyak kesempatan, Ketua Lembaga Adat Melayu Lubuk Beringin itu selalu mengingatkan masyarakat bahwa sumber daya alam bisa saja habis. Karena itu, harus bijak mengelolanya. Selain mengasup udara bersih dan air yang jernih, hutan nan asri itu juga melimpahkan sumber penghidupan bagi masyarakat, mulai buah-buahan melimpah hingga hasil tanaman pangan.
Di musim buah, desa itu menghasilkan banyak durian dan duku. Siapa pun boleh menikmati langsung di kebun. Tak perlu membayar. ”Kalau musim berbuah nanti, datanglah kemari,” katanya saat Kompas berkunjung, Minggu (5/7/2020).
Ia pun menggagas disahkannya peraturan dusun tentang konservasi hutan dan perlindungan sungai. Dalam aturan ini, sejumlah larangan yang berpotensi merusak ekosistem sungai diberlakukan. Menambang emas dengan mesin ataupun alat berat dilarang. Begitu pula meracuni ikan atau mengambil ikan di lubuk larangan secara diam-diam. Hukumannya adalah denda satu ekor kambing.
Larangan itu ternyata berbuah indah. Lubuk-lubuk larangan yang mengisi hulu Batang Bungo tersebut menjadi tempat hidup aneka ikan endemik. Selain menjadi sumber pangan bagi masyarakat, keberadaan lubuk larangan dilirik menjadi sumber benih bagi pengembangan budidaya ikan lokal.
Belakangan, Bakian mendorong desa membangun pengelolaan ekowisata berbasis hutan dan sungai. Pengelolaan itu menjadi wisata yang ngetren baru-baru ini. Di akhir pekan, hulu sungai itu kebanjiran pengunjung yang mandi dan berendam.
Hidup di kawasan hulu sungai bukannya tanpa tantangan. Bakian bercerita desa itu pernah melewati dua kali bencana besar. Pertama, banjir bandang, kedua air sungai kering. Pada pengujung 1990, warga sedang terlelap di tengah hujan deras. Tiba-tiba terdengar suara seperti gemuruh. Tak lama, banjir bandang menerjang. Sejumlah rumah hanyut. Ternak terbawa arus. Sementara lahan pertanian hancur. Anehnya, warga mendapati pula kayu-kayu gelondongan terbawa derasnya arus sungai.
”Kayu-kayu gelondongan besar-besar yang turut hanyut ini menandakan terjadi penebangan liar di hutan lindung kami,” kenangnya.
Tak lama setelahnya, desa itu mengalami kekeringan parah. Air sungai mengering. Bencana-bencana itu akhirnya semakin menyadarkan masyarakat bahwa mereka tak hanya hidup di tengah sumber daya alam melimpah, tetapi juga ancaman bencana.
Mengetahui adanya pembalakan marak di hutan lindung, masyarakat ingin mengusir para pembalak. Namun, mereka terkendala legalitas. ”Hutan lindung itu statusnya milik negara,” ujarnya.
Masyarakat pun berinisiatif mengajukan diri mengelola hutan lindung. Usulan direspons positif oleh Menteri Kehutanan kala itu, MS Ka’ban. Lubuk Beringin tercatat sebagai desa pertama yang memperoleh hak kelola hutan desa.
Dengan legalitas ini, masyarakat akhirnya mempunyai kekuatan mempertahankan hutannya. Langkah Lubuk Beringin diikuti oleh empat desa lainnya, yaitu Senamat Ulu, Sangi Letung, Laman Panjang, dan Sungai Telang. Kelima desa ini memperoleh hak kelola di Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur.
Setelah mendapat izin hutan desa, terbukti bahwa di kawasan ini sama sekali tidak ada pengurangan tutupan hutan. Dari analisis berkala yang dilakukan lembaga pendamping, Komunitas Konservasi Indonesia Warsi diketahui tak ada lagi penebangan dalam kawasan hutan.
Keseriusan desa menjaga hutan lindung dianggap berhasil mencapai pertumbuhan dengan emisi nol persen. Perjuangan masyarakat ternyata menarik minat negara donor. Salah satunya pendonor asal Swedia menyetorkan dana tersebut kepada masyarakat senilai Rp 1 miliar lewat pasar sukarela karbon. Pencapaian itu semakin membuka mata bahwa merawat hutan berdampak besar pada terbukanya berbagai peluang ekonomi berkelanjutan.
Meski telah menikmati manfaat besar dari menjaga hulu sungai, godaan dan ancaman masih terus mengintai hingga kini. Sampai sekarang, ada saja pendatang ingin membuka usaha tambang ataupun membalak hutan di sana. Mereka mengiming-imingi warga dengan uang dan emas. Kalau sudah begitu, ia pun berupaya mengingatkan mereka akan dua pilihan.
”Mana yang mau dipilih, air bersih dan kedamaian hidup, atau sebatang emas dan bencana. Akhirnya, mereka sepakat tetap memilih yang pertama,” tutupnya.