Suster Laurentina PI, Mengurus Ratusan Jenazah TKI yang Ditelantarkan
Lebih dari satu dekade, Suster Laurentina PI bekerja untuk memulangkan ratusan jenazah TKI yang terkatung-katung di luar negeri. "Mereka korban perdagangan manusi, sampai meninggal pun ditelantarkan," katanya.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·5 menit baca
Lebih dari satu dekade biarawati Katolik Laurentina PI bekerja untuk mereka yang ditelantarkan. Ia mengurus anak-anak jalanan, korban perdagangan manusia, hingga jenazah buruh migran asal Indonesia yang terkatung-katung.
Laurentina berasal dari Konggregasi Penyelenggaraan Ilahi (PI) yang terpusat di Semarang, Jawa Tengah. Ia masuk biarawati Katolik pada 1999 dan melanjutkan pendidikan diploma Akademi Pekerja Sosial (APS) di Kupang, 2004-2007. Ia kemudian bergabung dengan Yayasan Sosial Soegijapranata, Semarang, khusus untuk mengurus anak-anak jalanan.
Ia mengabdi di sana selama tiga tahun. Setelah itu ia ditempatkan di Maubesi, Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak 2010. Ketika bertugas di Maubesi, ia pertama kali dikontak oleh jejaring pekerja kemanusiaan di Jakarta. Mereka meminta Laurentina membantu memulangkan jenazah korban perdagangan manusia dari Desa Tuamau, Kecamatan Maubesi dari Malaysia yang meninggal akibat dianiaya majikan.
Saya begitu terenyuh menyaksikan luka-luka yang dialami korban akibat penganiayaan
“Saya begitu terenyuh menyaksikan luka-luka yang dialami korban akibat penganiayaan,” cerita Laurentina di Kupang, Jumat (10/7/2020).
Peristiwa itu membuat ia menaruh perhatian khusus pada isu perdagangan manusia. Untuk mengetahui praktik kejahatan itu, ia mengikuti pembekalan perdagangan manusia di Malino, Sulawesi Selatan yang digelar Counter Human Trafficking Commision pada 2012. Berbekal pengetahuan dari Malino, ia menyosialisasikan dampak buruk perdagangan manusia ke asrama-asrama dan masyarakat di TTU.
Pada 2014, ia mengambil program pendidikan S1 di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik di Jakarta, 2014. Kegiatan kampus diikuti malam hari, siang harinya ia menjadi sukarelawan di Shelter Bambu Apus di bawah Kementerian Sosial. Ia juga bergabung dengan Yayasan Insan Manusia.
Saya mendampingi 120 anak NTT yang sempat disekap oleh calo TKI untuk nantinya dijual ke Malaysia
“Saya mendampingi 120 anak NTT yang sempat disekap oleh calo TKI untuk nantinya dijual ke Malaysia. Tiga bulan saya dampingi mereka di Shelter Bambu Apus," ujar Laurentina yang mengantar mereka pulang ke Kupang pada 2015.
Mengurus jenazah
Pada 2017, Laurentina ditugaskan oleh Konggregasi ke Kupang untuk mengurus jenazah TKI yang ditelantarkan di Bandara El Tari, Kupang. Ia diminta mendampingi dan mengurus keberangkatan jenazah ke kampung asal. Sejak saat itu, nyaris hampir setiap hari selalu ada jenazah tiba, kadang sampai empat peti jenazah. Total yang ia urus sejak 2017 sekitar 300 jenazah.
Jenazah dikirim dari beberapa daerah di Malaysia. Terkadang jenazah tiba dalam kondisi sangat berbau dan mengeluarkan air karena telah meninggal dunia lebih dari tujuh hari. Laurentina pun mesti mengurus pengemasan ulang jenazah sebelum diantar kepada keluarganya. Ada juga jenazah yang sudah tidak utuh atau penuh luka.
Banyak tantangan yang ia hadapi saat mengurus jenazah. Ia, misalnya, harus menghadapi maskapai penerbangan di Kupang yang menolak membawa jenazah dari Kupang ke Flores atau Sumba beberapa menit sebelum pesawat berangkat. Padahal, sebelumnya mereka menyatakan bersedia dengan biaya pengiriman ditanggung BP3TKI NTT. Maskapai beralasan jenazah itu bisa menyebarkan penyakit kepada orang lain. "Padahal, waktu diterbangkan dari Malaysia ke Kupang tidak dipersoalkan,” katanya.
Tantangan juga datang dari pihak keluarga. Mereka sudah menyatakan siap menjemput jenazah di Bandara. Tapi, saat jenazah tiba, mereka belum datang. Telepon seluler mereka tidak aktif. Akhirnya Laurentina terpaksa mengantar jenazah itu ke desa tujuan.
Sebelum diantar ke desa, sebagian jenazah mesti disemayamkan semalam di ruang pemulasaran jenazah RSUD Yohannes Kupang. Itu berarti Laurentina mesti menunggui jenazah sampai pagi sambil berdoa. Kadang ia mengajak mahasiswa di asrama tertentu untuk berdoa bersama di samping peti jenazah. Buat dia, tidak elok jenazah dibiarkan tergeletak sendirian.
Hampir semua jenazah asal NTT yang dikirim dari Malaysia adalah TKI ilegal. Tidak mudah mengirim balik jenazah karena nama dan data-data jenazah termasuk alamat tidak selalu ada. Launrentina mesti mencocokkan dengan data dari BP3TKI NTT dan pihak gereja. Untuk itu, bekerja sama dengan Jaringan Perempuan Timor dan Jaringan Relawan Kemanusiaan Kupang.
Umumnya, jenazah ditelantarkan di Malaysia karena keluarga korban tidak sanggup membayar biaya yang dipatok agen pengiriman jenazah di Malaysia, yakni sekitar Rp 20 juta–Rp 25 juta per jenazah. Padahal, proses pengiriman jenazah hanya berkisar Rp 14 juta–Rp 16 juta.
“Saya bekerja sama dengan jejaring di Malaysia mengatasi masalah ini dengan mencari donor dari gereja atau lembaga lain. Tetapi kadang karena mendapat tekanan dari agen mayat Malaysia. Orangtua pun cepat-cepat kirim uang, sebelum mendengar keputusan terakhir dari kami. Keluarga itu menjual ternak dan tanah guna memenuhi permintaan agen mayat,” katanya.
Laurentina antara lain memiliki jaringan dengan Keuskupan Pineng di Malaysia Barat dan Keuskupan Agung Kuching Malaysia Timur. Mereka memberi informasi mengenai korban-korban TKI asal NTT yang meninggal dunia, penyebab, asal usul, tanggal kematian, keberangkatan dari Malaysia, jenis pesawat yang akan membawa jenazah, hari tanggal dan jam berapa jenazah tiba di Kupang.
Begitu mendapat informasi dari luar negeri ada jenazah TKI NTT yang hendak dikirim, saya menawarkan diri sebagai penanggung jawab sekaligus anggota keluarga dari korban. Padahal, orang itu saya tidak kenal termasuk orangtuanya
“Begitu mendapat informasi dari luar negeri ada jenazah TKI NTT yang hendak dikirim, saya menawarkan diri sebagai penanggung jawab sekaligus anggota keluarga dari korban. Padahal, orang itu saya tidak kenal termasuk orangtuanya. Yang penting jenazah bisa pulang dengan aman sampai di kampung tujuan,” tegasnya.
Launrentina setia mengawal jenazah karena menurut diabagaimana pun jenazah harus dihormati dan dijunjung tinggi. Meski jiwanya tidak ada lagi, tetapi raganya masih ada, sebagai bagian dari ciptaan Tuhan.
Mereka sudah menjadi korban perdagangan manusia sejak dari kampung sampai di luar negeri, bahkan sampai meninggal pun jenazah mereka ditelantarkan, dan dibisniskan oleh agen mayat di luar negeri. “Ini sangat menyedihkan. Mereka juga manusia,” katanya sambil mengusap air mata.
Suster Laurentina PI
Lahir: Temanggung, Jawa Tengah, 23 Agustus 1970
Pendidikan terakhir: S1 Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (2015)