Juergen Klopp, dari Swabia Berjaya di Anfield
Bermula dari klub SV Glatten di desa kecil Swabia di barat daya Jerman, Juergen Klopp berjaya di Stadion Anfield, dengan mengantar Liverpool juara Liga Inggris 2019-2020.
Jens Haas masih ingat, kali pertama ia memprediksi teman sekolahnya, Juergen Klopp, berbakat menjadi pelatih sepak bola. Keduanya yang waktu itu sama-sama berusia 11 tahun, saat itu diantar untuk bermain di tim yunior SV Glatten, sambil mendengarkan siaran langsung klub Jerman pujaan mereka, Stuttgart, melalui radio.
Klopp muda menganalisis taktik Stuttgart dan menilai tim kebanggaan mereka perlu mengganti sejumlah pemain. Beberapa saat kemudian, tutur Haas, komentator di radio menyiarkan pergantian pemain, persis seperti yang dipikirkan Klopp.
Sam Sheringham, kolumnis sepak bola BBC Sport, menulis kisah Haas ini dalam artikelnya ”Juergen Klopp: Liverpool manager’s Journey from Black Forest to Heroic Status at Anfield”, yang dipublikasikan 23 Maret 2020. ”Saya terkesan dengan pengetahuan dan pemahaman dia terhadap sebuah laga. Kadang saya merasa, dia (waktu itu) sudah jadi pelatih,” tutur Haas.
Hari-hari Klopp bersekolah bersama Haas di Swabia, desa dengan kawasan berbukit di barat daya Jerman, sedikit banyak menjadi pertanda awal bagaimana kemudian ia menjadi pelatih sepak bola terkemuka. Kawasan perbukitan di Swabia, sebagian di antaranya disebut Black Forest, seperti disebut dalam artikel Sheringham.
Saat Klopp kecil, di desa banyak jam dinding bermotif burung di rumah-rumah warga. Cukup banyak juga warga desa yang berbusana tradisional, yang juga masih sering memasak aneka kuliner khas Swabia.
Suasana kesederhanaan dan kebersahajaan ala Swabia itu menjauhkan Klopp dari ingar bingar kota-kota industri di Jerman, seperti Mainz dan Dortmund, yang serba sibuk dan terburu-buru. ”Kehidupan warga di sini damai dan penuh solidaritas. Mereka berhati-hati dengan uang, juga senang bekerja dan menilai orang dari karya mereka,” tutur Haas.
Klopp punya dua kakak perempuan yang menurut Ulrich Rath, pelatih yang mendirikan SV Glatten U-11 pada 1972, ibarat ibu kedua baginya. Namun, sang ayah, Norbert Klopp, seorang karyawan pemasaran keliling dan kiper sepak bola amatir, yang membuat Klopp termotivasi dengan olahraga, terutama sepak bola.
Baca juga: Sentuhan Mahakarya Klopp
”Norbert berpengaruh besar terhadap Klopp,” tutur Rath, yang kedua anaknya Ingo dan Harti, bermain di satu tim bersama Klopp dan Jens Haas. Masih menurut Rath, Norbert sangat aktif di klub, mula-mula di sepak bola, lalu tenis. ”Juergen mewarisi talenta-talenta Norbert, seperti kepiawaian dalam berbicara, antusiasme, dan kebugarannya,” tambah Rath lagi.
Kehidupan masa kecil Klopp, serta bakat-bakat yang diwarisi dari ayahnya, membuat Klopp matang sebagai pelatih dengan sejumlah karakter yang membuatnya mumpuni. Di antaranya penuh perencanaan, memperhatikan detail, maksimal dalam memotivasi, dan hangat dalam pendekatan dengan anggota tim.
Dibentuk saat latihan
Klopp meyakini bahwa arena latihan adalah lokasi di mana kualitas tim harus dibentuk. Menurut Klopp, saat sesi latihan segala taktik harus dicoba. Di setiap sesi, seperti ditulis kolumnis BBC Sport lainnya, Phil McNulty, dia selalu merencanakan detail program latihan bersama staf-stafnya di Liverpool.
Klopp juga mengatur skema latihan semua pemain. Menurut McNulty, semua tahapan direncanakan dan dianalisis dari menit ke menit, juga secara detail. Dengan berbagai persiapan dan perwujudan latihan ini, Klopp mampu mengambil keputusan secara benar dan cepat, ketika pertandingan berlangsung.
Saat menyiapkan tim menghadapi laga, dia juga tidak pernah puas mengumpulkan sebanyak mungkin informasi, sebelum yang paling urgen dan esensial dipadatkannya sebagai materi. Di Anfield, stadion rumah Liverpool, kemampuan Klopp inilah yang diyakini menjadi salah satu kunci kesuksesan Liverpool menjuarai Liga Inggris musim 2019-2020, yang sekaligus mengakhiri penantian 30 tahun.
Kunci kesuksesan lainnya, tak lain konsep permainan gegenpressing, yang ibarat trade mark Juergen Klopp. Konsep ini menekankan perlunya tim segera merebut bola, segera setelah kehilangan bola, dan urgensi transisi yang cepat antara bertahan dan menyerang. Dalam kolomnya, kolumnis The Guardian, Jon Wilson menulis, menurut Klopp, ”Momen terbaik merebut bola adalah seketika setelah tim anda kehilangan bola”.
Baca juga: Juergen Klopp, Sang Penawar Kutukan Liverpool
Sebab, ketika awal-awal merebut bola, lanjut Klopp, pemain lawan selalu mengeluarkan energi lebih untuk menekel atau intersepsi. Setelah itu, setelah menguasai bola, dia juga masih berpikir akan mengoper bola ke mana. ”Dua situasi itu yang membuat kita perlu segera merebut bola. Pemain lawan masih belum siap betul,” tutur Klopp, dikutip Wilson.
Proses setelah merebut bola adalah segera menyerang balik. Kecepatan dan ketajaman serangan balik itu juga resep kesuksesan Liverpool, dengan mempertajam trio penyerang Mohamed Salah, Sadio Mane, dan Roberto Firmino. Pola ini diyakini Klopp cocok dengan teori bahwa kecepatan serangan balik menjadi penentu terciptanya gol.
Dimatangkan Mainz 05
Saat masih bermain, Klopp dimatangkan di klub Mainz 05, klub semenjana di Jerman, yang markasnya bisa ditempuh dalam sekitar 30 menit perjalanan dari Swabia. Dia bergabung di Mainz 05 sejak 1990, lalu menjadi pelatih sejak 2001.
Pada 2004, atau akhir musim ketiganya di Mainz, Klopp mengantar klub bermodal pas-pasan itu promosi ke Liga Utama Jerman atau Bundesliga, untuk pertama kali dalam sejarah klub. Dengan modal pas-pasan, serta stadion terkecil di Bundesliga, Klopp membawa Mainz bertengger di peringkat ke-11 di Bundesliga musim 2004-2005, juga 2005-2006.
Tak banyak yang bisa diperjuangkan Klopp, hingga Mainz akhirnya terdegradasi dari Bundesliga pada akhir musim 2006-2007. Selepas musim yang menyakitkan itu Klopp memilih tetap singgah di Mainz, hingga mundur dari klub itu di akhir musim 2007-2008.
Mei 2008, Borussia Dortmund menjadi persinggahan berikutnya, meski ia juga diminati klub raksasa dan langganan juara Bundesliga, Bayern Muenchen. Di Dortmund inilah Klopp menciptakan lagi sejumlah prestasi fenomenal. Di antaranya, dua kali berturut-turut kampiun Bundesliga, yakni musim 2010-2011 dan 2011-2012. Pencapaian kedua musim itu sangat berkesan karena menundukkan tim elite Bayern Muenchen.
Pencapaian berikutnya, saat Klopp membawa Dortmund ke final Liga Champions 2012-2013, menantang Bayern Muenchen. Meski sama-sama klub Jerman, keuangan kedua tim ibarat bumi dan langit. Muenchen klub kaya. Saking kayanya, klub ini dijuluki ”FC Hollywood” karena pemain-pemain mereka yang bergaya seperti artis film Hollywood.
Dalam pernyataan sebelum final tersebut, Klopp mengungkapkan bahwa Dortmund hanya ”perkumpulan sepak bola”, berbeda dengan Muenchen yang klub kaya. Dortmund akhirnya kalah 1-2. Meski demikian, prestasi ini tetap tercatat sebagai tinta emas sejarah Dortmund.
Pola gegenpressing dipertahankan sebagai trade mark Klopp saat bersama Liverpool, sehingga ”The Reds” meraih sejumlah prestasi prestisius. Sebut saja juara Liga Champions 2018-2019, dan juara Liga Inggris 2019-2020. ”Kami harus mengubah (perasaan) dari peragu menjadi penuh keyakinan,” tegas Klopp, yang tentu memompa semangat tim asuhannya.
Pernyataan yang wajar ditekankan Klopp karena saat pertama kali tiba di Anfield, ia seolah tercitra sebagai bukan pelatih juara, salah satunya mengacu pada kegagalan Dortmund pada final Liga Champions 2012-2013. Dengan keberhasilannya membawa Liverpool merebut trofi Liga Champions 2018-2019 dan trofi Liga Inggris 2019-2020, keraguan itu kini lenyap sudah.