Keuletan Muslih, Sang Pendekar Beksi
Selama lima dekade Muslih menjadi guru silat beksi. Ia tidak hanya mengajarkan bela diri, tapi juga laku hidup seorang pesilat.
Lebih dari lima dekade Muslih (71) mendalami dan mengajar silat beksi khas Betawi. Gelar Guru Besar yang disematkan padanya diemban sebagai amanah. Ia bertekad untuk meningkatkan derajat murid-murid, sekaligus menurunkan warisan budaya Betawi itu.
Sekilas pandang, Muslih tampak seperti orang kebanyakan. Perawakannya sedang, wajahnya berkeriput. Ketika menanti Kompas di depan padepokan, Jumat (19/6/2020), dia tidak ada bedanya dengan warga Pondok Aren, Tangerang Selatan lain.
Penampilan itu rupanya menipu. Pada usianya yang tergolong tua, kekuatan fisik Muslih tidak memudar. Gerakannya cepat, kuat, dan cermat. Ia cekatan menangkap tangan lawan, memuntir, dan menariknya. Ketika lawan oleng, siku Muslih sudah ada di depan mata dan siap menghantam wajah lawan.
Bekas cengkeraman tangannya meninggalkan sensasi panas di kulit. Dia tidak main-main saat memeragakan jurus menangkis lawan. Padahal, ia melakukannya sambil duduk santai di lantai. Gerakan lugas itu merupakan hasil latihan yang ia jalani sejak 1966 hingga sekarang.
Pada 1971, Muslih pertama kali mengajar belasan pemuda kampung yang datang kepadanya untuk berguru. Sejak saat itulah Muslih turun tangan mengajari sendiri dasar silat beksi. Butuh waktu 3-4 tahun untuk mempelajari 12 jurus silat beksi.
Setelah puluhan tahun, padepokan Muslih diresmikan menjadi Perguruan Silat Selempang Betawi, tepatnya pada 1997. Nama itu diambil dari jurus terakhir silat beksi, yaitu jurus Selempang 12. Padepokan ini berpusat di Pondok Aren, Tangerang, Banten.
”Tidak semua murid belajar silat hingga tamat. Pernah suatu waktu saya mengajar 42 orang, tetapi yang belajar silat hingga tamat hanya empat orang,” kata Muslih.
Hal itu tidak membuatnya patah semangat. Dengan keuletan dan dedikasi pada silat, ajaran silat Muslih meluas. Latihan silat yang bermula di pekarangan rumah kini berkembang menjadi 33 padepokan yang tersebar di Tangerang Selatan dan DKI Jakarta. Murid yang awalnya berjumlah belasan saja sekarang ada ratusan.
Visi saya adalah menaikkan derajat murid. Mereka disiapkan agar suatu hari menjadi guru
”Visi saya adalah menaikkan derajat murid. Mereka disiapkan agar suatu hari menjadi guru, tidak selamanya menjadi murid. Hingga kini, ada sekitar 60 murid yang menjadi guru silat penerus saya,” ujar Muslih dengan nada bangga.
Ia menambahkan, gelar guru silat disematkan kepadanya setelah berhasil mendidik murid menjadi guru. Guru-guru penerus itu yang kemudian menggantikan Muslih mengajar. Tugas Muslih kini membina dan memantau 33 padepokannya.
Tidak sengaja
Perjalanan menjadi guru silat terjadi secara tidak sengaja. Suatu hari, pada 1971, Muslih terlibat perkelahian saat menonton hajatan warga di lapangan kampungnya. Perkelahian dipicu ketika Muslih dilangkahi seorang lelaki saat duduk jongkok. Karena tindakan itu dinilai tidak sopan, Muslih mendatangi orang tersebut dan menegurnya.
Teguran justru berbuntut perkelahian yang selanjutnya melibatkan orang lain. Muslih dikeroyok 11 orang. Beberapa di antaranya menyerang dengan bambu panjang. Ada pisau di salah satu bambu untuk menyabet Muslih. Beruntung hanya bajunya yang robek.
Lawannya kalah satu per satu. Dari 11 orang, tujuh di antaranya tumbang. Dua orang yang tumbang menderita luka serius. Lawan-lawannya pun segera meminta ampun. Muslih menang tanpa luka satu pun di badan.
”Beberapa hari kemudian, belasan pemuda yang melihat datang ke rumah untuk berguru. Mereka melihat pertarungan itu dan silat yang saya gunakan,” ujarnya. Muslih tidak menolak kedatangan mereka. Sejak saat itu, ia merasa memiliki panggilan sebagai guru silat.
Dulu, nyaris semua murid Muslih merupakan pemuda di kampungnya terdahulu yakni Pondok Ranji, Tangerang Selatan. Mereka dirangkul dan diajari laku hidup yang santun dan bertanggung jawab.
Menurut dia, silat bukan senjata untuk bertikai melainkan pemersatu sesama. Hal ini sesuai dengan sejarah silat beksi yang diajarkan Lie Ceng Oek, Guru Besar Keturunan Tionghoa di Kampung Dadap, Tangerang. Silat beksi dulu merupakan media menyiarkan agama Islam.
”Silat sekarang tidak lagi untuk syiar Islam, tetapi untuk menyatukan. Di mana pun kita, siapa pun orangnya, mereka adalah saudara sehingga kita jangan berkelahi,” kata dia.
Pada 1998, saat kerusuhan terjadi di Jakarta dan sekitarnya, pemuda di padepokan silat Muslih turun ke jalan. Mereka mengamankan wilayah masing-masing dari para perusuh. Semangat anggota padepokan sedang panas-panasnya saat itu. Sebab, padepokan mereka baru saja resmi menjadi Perguruan Silat Selempang Betawi.
Belasan pemuda yang melihat datang ke rumah untuk berguru. Mereka melihat pertarungan itu dan silat yang saya gunakan.
Muslih dan anggota padepokan mendengar kabar bahwa perusuh akan berulah di Bintaro Plaza, Tangerang Selatan. Mereka langsung bergerak ke lokasi. Sebuah truk yang mengangkut orang dan bensin berhasil dihadang. Kejadian buruk berhasil dihindari.
”Banyak warga kampung kami yang kerja di Bintaro Plaza. Kalau tempat itu dibakar, ada banyak orang kami yang akan kehilangan pekerjaan. Karena itu, kami turun mengamankan lokasi,” katanya.
Perusuh-perusuh itu kemudiah bergerak ke tempat lain. Menurut Muslih, sebuah bangunan toko di sekitar Bintaro Plaza jadi sasaran baru perusuh. Toko itu dibakar.
Laku hidup
Dengan perubahan zaman, Muslih berharap ajaran silat darinya tetap langgeng. Silat beksi beserta nilai luhurnya dipandang sebagai warisan budaya Betawi. Hal ini harus diteruskan ke generasi selanjutnya agar tidak hilang dimakan waktu.
Untuk itu, para anggota pedepokan dituntut menjaga laku hidup. Ia tidak bosan berpesan agar anak-anak muda menjaga pergaulan yang sehat. Jangan terlibat dengan perkelahian, apalagi narkoba. Anggota yang ketahuan menggunakan narkoba akan langsung dikeluarkan.
”Saya harap silat beksi bisa diteruskan ke generasi berikutnya. Intinya, ada empat prinsip dalam silat beksi, yaitu silat, shalat, shalawat, dan silaturahmi,” kata Muslih.
Muslih
Lahir: Tangerang, 19 November 1949
Pendidikan:
- Sekolah Rakyat, Pondok Ranji (tamat 1967)
- Madrasah Hidayah, Kampung Utan (tamat 1973)