Asri, Abdi Pendidikan dari Pelosok Dusun Pulau Lombok
Selama 13 tahun terakhir, Asri mendirikan lima sekolah gratis di pelosok dusun di Pulau Lombok. Berkat sekolah itu, anak-anak dusun bisa mengenyam pendidikan.
Oleh
Khaerul Anwar
·5 menit baca
Selama 13 tahun, Asri (35) mengabdikan diri bagi dunia pendidikan. Ia mendirikan setidaknya lima sekolah gratis di beberapa dusun di Pulau Lombok. Semua itu ia lakukan dengan satu tujuan: anak-anak di pelosok dusun terpencil bisa mengenyam pendidikan.
”Saya tidak punya cita-cita menjadi guru. Tetapi nurani saya terpanggil mendirikan lembaga pendidikan karena banyak anak-anak yang tidak sekolah, tidak punya akses informasi, komunikasi, bahkan transportasi (dengan dunia luar),” ujar Asri, warga Dusun Sukamulia, Desa Pohgading, Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, yang berjarak 68 kilometer di timur dari Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat, Jumat (17/4/2020).
Laki-laki bertubuh kurus itu bercerita, tahun 2007, sejumlah dusun dan desa di wilayah utara Lombok, seperti Kecamatan Sembalun (Lombok Timur) dan Kecamatan Bayan (Lombok Utara), tergolong desa 3T, yakni terluar, terdepan, dan tertinggal.
Topografi dua kecamatan yang berada di kawasan Gunung Rinjani itu berbukit-bukit. Jarak antarpermukiman penduduk berjauhan, jalan penghubung antardusun atau desa masih berupa tanah. Angkutan umum hanya ada pada jam-jam tertentu. Itu pun hanya melewati desa-desa terdekat dengan jalan raya yang menghubungkan wilayah Lombok Utara dan Lombok Timur.
Kondisi tersebut membuat warga sulit menjangkau sekolah. Anak-anak usia sekolah dasar yang tinggal di dusun-dusun di dataran tinggi, misalnya, harus menempuh jarak 3 kilometer melewati rute sulit untuk mencapai sebuah SD di Desa Sambik Elen, Kecamatan Bayan. Jika ingin melanjutkan ke SMP, ada tiga pilihan sekolah, yakni SMPN 4 Bayan di Desa Loloan dan SMPN 1 Bayan di Desa Anyar serta Madrasah Tsanawiyah Gaus Abdurrazak di Desa Senaru.
Sangat tidak mungkin orangtua membelikan anaknya sepeda motor untuk pergi-pulang sekolah karena kehidupan ekonomi penduduk tidak mendukung.
Sementara itu, untuk pendidikan tingkat atas, hanya ada SMAN 1 Sambelia di Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, SMAN 1 Sembalun di Sembalun Lawang, SMAN 1 Bayan di Desa Anyar, dan Madrasah Aliyah Gaus Abdurrazak di Desa Senaru. Jarak sekolah-sekolah itu dari kampung-kampung di dataran tinggi berkisar 5-10 kilometer.
”Sangat tidak mungkin orangtua membelikan anaknya sepeda motor untuk pergi-pulang sekolah karena kehidupan ekonomi penduduk tidak mendukung,” ujar Asri.
Sebagian besar penduduk di dusun-dusun terpencil, kata Asri, bekerja sebagai petani kecil dengan ladang yang bergelombang dan hanya bisa ditanami saat musim hujan. Maka, kebanyakan anak-anak usia sekolah akhirnya menyerah kepada nasib dan tidak sekolah.
Sekolah dan layar tancap
Melihat kondisi itu, Asri yang sehari-hari bekerja sebagai penulis tergerak untuk mendirikan sekolah di dusun-dusun yang jauh. Niatnya didukung oleh teman-temannya, warga desa, dan juga pemerintahan desa.
Asri bersama warga mendirikan sekolah pertama Madrasah Tsanawiyah (MTs) Maraqitta’limat di Dusun Lenggorong, Desa Sambik Elen, pada Juli 2007. Dana pembangunan gedung MTs diperoleh secara swadaya oleh masyarakat. Kini, sekolah itu memiliki 41 siswa.
Tahun 2010, Asri mendirikan SMK Nahdlatul Wathan Kokok Putik di Desa Bilok Petung, Kecamatan Sembalun. SMK yang kini memiliki 72 siswa itu membuka Jurusan Agribisnis Tanaman Pangan dan Hortikultura serta Jurusan Multi Media. Setahun berikutnya, ia mendirikan tiga sekolah sekaligus, yakni MTs dan SMA Syfa’unnufus Nahdlatul Wathan di Desa Sambik Elen serta SD Filial di Dusun Bakong, Desa Sambik Elen.
Tanah untuk gedung SD Filial merupakan hibah dari Kepala Dusun Sambik Elen saat itu, Amaq Reman. Dana pembangunan sekolah ia usahakan dengan berbagai cara. Asri, misalnya, mencari dana dengan menggelar layar tancap setiap Rabu dan Sabtu malam selama tujuh bulan. Penonton dikutip uang masuk Rp 2.000 per orang. Dana hasil sekali pemutaran film rata-rata Rp 400.000 digunakan untuk membeli material bangunan. Dana itu cukup untuk membangun satu ruang belajar yang dikerjakan oleh warga secara gotong royong.
Beberapa sekolah yang ia dirikan mendapat dana bantuan operasional sekolah (BOS). MTs Maraqitta’limat dengan 19 siswa mendapat dana BOS tahun 2010, menyusul SD Filial (9 siswa), dan SMK Nahdlatul Wathan Kokok Putik (26 siswa) tahun 2013.
Sekolah-sekolah yang dirintis dan digagas Asri semuanya menggratiskan biaya pendidikan. ”Siswa hanya belajar. Sekolah tidak memungut SPP (sumbangan pembinaan pendidikan), uang praktik, uang pembangunan, dan pungutan lainnya,” ucap Asri yang juga menjadi guru, wakil kepala sekolah, atau kepala sekolah di sekolah-sekolah yang ia dirikan.
Semua ”jabatan” itu tidak memberinya penghasilan karena tidak ada yang menggajinya. ”Guru ikhlas mengajar, tanpa digaji, tanpa uang bensin. Prinsip kami itu beramal demi membangun generasi bangsa,” ujarnya.
Asri dan sejumlah guru justru mengeluarkan uang untuk membiayai kegiatan proses belajar-mengajar dan operasionalisasi sekolah. Asri yang menjadi penulis sastra, sejarah, pariwisata, dan budaya Sasak rutin menyumbangkan honornya menulis di beberapa portal daring untuk membiayai kegiatan sekolah. Hal itu ia lakukan selama 2009-2014.
Lewat tulisan-tulisan di Portal Suara Komunitas Indonesia dan Portal Kampung Media NTB, Asri memublikasikan sekolahnya. Dari situ, ada lembaga-lembaga pemerhati pendidikan, yayasan, media televisi di Jakarta, dan donatur yang memberikan bantuan.
Saya bersyukur kepada Tuhan yang menuntun saya berkarya bagi orang banyak.
”Saya bersyukur kepada Tuhan yang menuntun saya berkarya bagi orang banyak,” kata Asri. Kerja nyata itu sekaligus jawaban bagi banyak orang yang menyebutnya ”orang gila” karena nekat membangun sekolah gratis di dusun.
Kiprah Asri menginspirasi rekan-rekannya sesama guru untuk berbuat serupa. Pada 2016, mereka mendirikan SMK di Dusun Bilok, Desa Bilok Petung, dan Madrasah Aliyah Beburung, Desa Medayin, Kecamatan Sambelia. Asri menegaskan, keberadaan sekolah-sekolah baru di dusun menghadirkan kegairahan baru di kalangan warga di dusun-dusun terpencil.
”Mereka kini sangat antusias menyekolahkan anak-anaknya. Bahkan, ada yang menyekolahkan sampai jenjang perguruan tinggi,” kata Asri.
Asri
Lahir: 2 Januari 1985, Lombok Timur
Anak: M Tegar Van Gaus (13) dan M Tegar Wirama Firdaus (9)
Pendidikan:
SDN 2 Sukamulia, Desa Pohgading, Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur (tamat 1977)
SMPN 1 Pringgabaya (2000)
SMAN 1 Aikmel, Lombok Timur (2003)
STKIP Hamzanwadi Program Studi Pendidikan Sejarah, Selong, Lombok Timur (2008)