Henricus Supriyanto Merawat Kesenian Ludruk
Henricus Supriyanto mendedikasikan hidupnya untuk merawat kesenian ludruk di Jawa Timur.
Sejak duduk di bangku sekolah rakyat, Henricus Supriyanto (76) telah bersinggungan dengan ludruk. Gelar doktor dari Universitas Udayana, Bali, atas disertasinya tentang ludruk 14 tahun lalu disusul gelar profesor mengukuhkan keterikatannya dengan kesenian asli Jawa Timur itu.
”Profesor Ludruk”, begitu Henricus Supriyanto atau Henri biasa dipanggil oleh seniman panggung di Malang, Jawa Timur. Di kalangan seniman pertunjukan, Henri telah dianggap sebagai sesepuh yang dibutuhkan untuk memberikan ide-ide terkait perkembangan seni tradisi, khususnya ludruk.
Kiprahnya selama puluhan tahun telah menjadikan ludruk sebagai bagian hidup. Meski sebagian besar posisinya berada di balik panggung, Henri telah menjadi saksi sejarah perkembangan ludruk sejak era pascakemerdekaan, masa vakum tahun 1965-1968, Orde Baru, Reformasi, hingga yang terjadi saat ini.
Di belakang panggung, Henri lebih banyak membantu sutradara, menulis naskah, dan membuat eksperimen ludruk memakai bahasa Indonesia di TVRI Surabaya. Dia mendirikan Paguyuban Arek Ludruk Malang yang kemudian menggelar pertunjukan yang ditayangkan stasiun televisi di Singapura.
Selama membantu sutradara untuk penulisan naskah, Henri selalu berusaha mengikuti perkembangan zaman dengan beberapa pembaruan. Salah satunya, membuat naskah ludruk dengan durasi singkat menyesuaikan siaran televisi.
”Sekarang ludruk tersingkir dan tersungkur. Tersingkir karena perkembangan teknologi. Tersungkur karena pemasaran sepi. Permasalahan zaman. Orang-orang sudah beralih ke media hiburan populer,” tutur Henri di perpustakaan pribadi yang menyatu dengan rumahnya di samping Obyek Wisata Pemandian Wendit, Mangliawan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Selasa (21/4/2020).
Menurut Henri, seni tradisional konvensional dengan lakon berdurasi panjang semakin tergusur. Pembaruan yang sengaja dilakukan oleh mereka yang lebih berorientasi pada nilai pasar, lanjutnya, justru merusak ludruk.
Jalan panjang yang dilalui ludruk lebih dari satu abad itu semakin tergerus. ”Nah, ini sudah ada pertemuan teman-teman ludruk se-Jawa Timur di Surabaya, dua bulan lalu, untuk kembali ke model konvensional,” ucapnya.
Henri kemudian mengambil buku Ludruk Jawa Timur dalam Pusaran Zaman dari rak. Buku setebal 220 halaman yang diterbitkan Intrans Publishing itu merupakan satu dari enam buku karyanya yang berbicara tentang ludruk. Sisanya, 10 buku berbicara tentang sastra hingga jurnalistik.
”Perkembangan ludruk ada di buku ini. Sejak pertama kali muncul di Jombang tahun 1912. Bagaimana awalnya tiga warga Desa Ceweng, Jombang, mengamen atau periodisasi lerok ngamen, berubah menjadi lerok besut, hingga akhirnya bernama ludruk pada tahun 1956,” tuturnya.
Selalu setia
Henri menggeluti ludruk sejak tahun 1956 atau saat masih berumur 13 tahun. Sejak itu, dia setia dengan kesenian ludruk di mana pun dia berada. Kala itu, pamannya, Yasmo, merupakan pemimpin grup ludruk di Malang selatan. Sejak saat itu Henri kecil sudah sering ikut ke tempat pentas di desa-desa, baik dilakukan secara tobong maupun tanggapan di rumah warga punya hajat.
Henri pun sering diminta membantu pekerjaan ringan dalam rangka mendukung kelancaran pentas, salah satunya mencari bahan untuk merias alis pemain. ”Zaman segitu belum ada pensil alis. Bahan yang digunakan jelaga. Jadi saya dapat tugas mencari pelepah pisang, lalu diolesi minyak klentik (goreng) untuk menangkap jelaga dari nyala lampu minyak tanah,” kenangnya.
Sekarang ludruk tersingkir dan tersungkur. Tersingkir karena perkembangan teknologi. Tersungkur karena pemasaran sepi. Permasalahan zaman. Orang-orang sudah beralih ke media hiburan populer.
Pada masa itu kostum pemain ludruk belum glamor seperti sekarang. Para pemain hanya menggunakan kerudung. Pemakaian sanggul baru dilakukan sesudah tahun 1955.
Begitu pula dengan pengeras suara, baru ada setelah tahun 1955 atau setelah ada pemilihan umum (pemilu) pertama. Pada saat pemilu, partai politik mulai menggunakan pengeras suara. Setelah pemilu selesai, ada partai yang memberikan atau menjual pengeras suara itu ke grup ludruk.
”Saya masih ingat, uang tanggapan antara grup yang sudah punya pengeras suara dan grup yang belum punya berbeda. Lebih mahal yang punya pengeras suara,” katanya.
Pada tahun 1959 generator set (genset) mulai masuk ke desa menggantikan peran lampu petromaks sehingga pentas ludruk di tempat orang kaya di desa pun semakin terasa mewah. Kondisi ini berbanding lurus dengan animo masyarakat yang saat itu gandrung akan seni yang dilengkapi tari remo itu.
Saat kuliah, Henri mendirikan Sandiwara Ludruk Mahasiswa Malang yang beranggotakan mahasiswa dari sejumlah kampus. Pada saat pentas, kelompok itu menggunakan jalan cerita sesuai pakem karena belum mengenal teori teater modern. Lakon-lakon yang dibawakan Henri kala itu lebih banyak menyuarakan kepentingan pemerintah. ”Ludruk yang saya pegang tahun 1968 keliling Blitar dan Malang Selatan. Saya bahkan sempat tidak masuk kuliah selama satu bulan,” katanya.
Yang unik, saat pentas di Donomulyo, Kabupaten Malang, penabuh kendang grup ludruk besutan Henri sakit. Sementara malam itu mereka harus pentas. Henri pun minta tolong pengendang lokal, tetapi yang bersangkutan tidak berani karena alasan politik. Akhirnya, Henri harus mencari surat izin ke Koramil agar orang yang dimaksud bersedia menjadi pengendang.
”Saat pentas kita umumkan bahwa pengendang yang bersangkutan, namanya ini, ikut membantu main atas perintah danramil (komandan koramil). Aman dia,” ujarnya sambil tertawa.
Sayangnya, pada tahun 1972 grup itu bubar karena anggotanya lulus kuliah. Henri memilih menekuni dunia jurnalistik. ”Sebenarnya, sejak 1968 saya sudah jadi wartawan, sekaligus menjadi anggota DPRDGR (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong) Kabupaten Malang mewakili seniman dan wartawan sampai 1972. Tahun 1972 ada pemilu dan saya baru wisuda sarjana di IKIP Malang,” kata pria yang pernah mendapat penghargaan kesenian dari Gubernur Jawa Timur Imam Utomo tahun 2006 itu.
Di sela-sela kesibukannya, dia sempat bergabung dengan grup Kopasgad Madiun, ludruk milik Pangkalan TNI AU Iswahyudi Madiun yang ada sampai 1995. ”Tahun 1995, saat Hari Ulang Tahun Ke-50 Republik Indonesia, saya membuat ludruk bernaskah bahasa Indonesia. Yang main tetap teman-teman Kopasgad, naskah dari saya,” tuturnya.
Setelah tahun 1995, Henri kurang aktif bersentuhan dengan ludruk secara langsung lantaran kesibukannya mengajar. Namun, setiap kali ada diskusi—yang membahas masalah perkembangan kesenian, termasuk ludruk—ia kerap ikut terlibat di dalamnya.
Tahun 1995, saat Hari Ulang Tahun Ke-50 Republik Indonesia, saya membuat ludruk bernaskah bahasa Indonesia. Yang main tetap teman-teman Kopasgad, naskah dari saya.
Tahun 2006 Henri menyandang gelar doktor dengan disertasi berjudul ”Lakon Sarip Tambakyasa dalam Seni Pertunjukan Ludruk, Analisa Wacana Post-Kolonial” dari Universitas Udayana, Bali. Yang unik, pagi hari dia menjalani ujian disertasi, pada malam harinya di halaman kampusnya diselenggarakan pertunjukan ludruk oleh teman-teman seniman asal Malang. Saat itu, Henri menjabat Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Malang.
Setahun kemudian Henri mendapat gelar profesor dari Universitas Negeri Surabaya dan purnatugas pada 2008. Karier Henri sebagai guru besar berlanjut di Universitas PGRI Adi Buana Surabaya sejak 2010 sampai sekarang. Dari situlah panggilan kehormatan dari para seniman berupa ”Profesor Ludruk” disematkan kepadanya sampai sekarang.
Henricus Supriyanto
Lahir: Banyuwangi, 15 Juli 1943
Pendidikan:
- S-1 IKIP Malang
- S-2 Universitas Udayana
- S-3 Universitas Udayana
Buku, antara lain:
- Pengantar Studi Teater
- Pengantar Praktek Kewartawanan
- Ludruk Jawa Timur (Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Manajemen dan Himpunan Lakon)
- Ludruk Jawa Timur dalam Pusaran Zaman