Muhammad Gozali Menyuluh lewat Film Dokumenter di Lombok Utara
Muhammad Gozali melalui Komunitas Pasir Putih merekam berbagai kegiatan masyarakat Lombok Utara melalui multimedia. Dia ingin menggugah masyarakat untuk peduli pada lingkungan sekitarnya.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·5 menit baca
Muhammad Gozali (37) memilih media audiovisual untuk mendokumentasikan kehidupan sosial masyarakat pedesaan Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Lewat film dokumenter, dia ingin semua warga mengetahui kondisi lingkungan sekitarnya.
”Kami merespons narasi-narasi kecil di masyarakat dengan pendekatan multimedia. Tujuannya untuk menyuluh, menggelitik, dan memantik agar orang mau berbuat, mengetahui, dan mencintai lingkungan sekitarnya,” kata Muhammad Gozali, Direktur Komunitas Pasir Putih, di Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, yang berjarak 25 kilometer arah utara Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat (3/4/2020).
Narasi yang dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan warga desa. Kegiatannya antara lain kegiatan petani mengolah sawah, ibu rumah tangga memasak, arsitek berugak (bale-bale), aktivitas permainan anak-anak, tradisi khitanan, dan cerita tentang selak (leak). Selain itu, ada kegiatan gotong royong serta solidaritas antar-umat beragama.
Dokumentasi media audiovisual, menurut Gozali, memiliki banyak manfaat, seperti warga bernostalgia dan berdialog dengan peristiwa yang terjadi pada masanya. Sebuah cerita yang bisa menggugah banyak orang akan pentingnya studi sosial, riset, dan literasi. Apalagi, selama ini, masyarakat lebih suka mendengar cerita dari orang lain (tradisi lisan) ketimbang menulisnya (tradisi tulis).
”Tradisi lisan memiliki kelebihan di antaranya mudah dipahami dan dicerna karena penutur menyampaikan secara langsung kepada orang lain. Tetapi, kan, daya ingat tiap orang itu juga terbatas sehingga tulisan, rekaman film, dan video menyokong dan melengkapi informasi dari tradisi lisan,” kata Gozali.
Komunitas Pasir Putih yang berdiri sejak tahun 2009 itu memproduksi film dan video yang informatif dan edukatif. Selain itu, Gozali juga menulis artikel terkait berbagai kegiatan masyarakat di Lombok Utara. Dia, misalnya, merekam suasana obyek wisata Gili Trawangan, Lombok Utara, yang disebut desa dunia di tengah laut karena banyak dikunjungi wisatawan mancanegara. Gozali dan rekannya merekam dan mendeskripsikan pulau kecil berpasir putih, berair jernih, berikut kondisi terumbu karang dan abrasi.
Ia berburu gambar di Gili Trawangan setelah melihat hasil pantauan Dinas Perikanan dan Kelautan NTB tahun 2009 mengenai perubahan iklim global, permukaan air laut gili yang diperkirakan naik rata-rata 0,6 sentimeter per tahun. Jika kenaikan terus berlanjut, pulau-pulau kecil akan tenggelam 60 tahun mendatang. Sebelum peristiwa itu terjadi, dia sudah memiliki rekaman situasi pulau tersebut.
Dalam kesempatan berbeda, Gozali membuat film dokumenter tentang proses menyadap air enau. Film itu menggambarkan penyadap yang memanjat batang pohon enau dengan tangga khusus terbuat dari bambu atau kayu. Untuk proses pembuatan film, dia nongkrong dari pagi hingga sore, menyaksikan proses penyadapan air enau.
Kami merespons narasi-narasi kecil di masyarakat dengan pendekatan multimedia. Tujuannya untuk menyuluh, menggelitik, dan memantik agar orang mau berbuat, mengetahui, dan mencintai lingkungan sekitarnya.
Penyadap mengiris ujung tandan bunga dengan pisau, lalu mengeluarkan air yang kemudian ditampung dalam wadah bambu (bumbung). Proses penyadapan air enau dibuat film dokumentar berjudul Parita Jeliman Ireng (parita = perlindungan, Jeliman Ireng = nama dusun lokasi pengambilan air enau).
Gozali juga merekam kawasan obyek wisata Hutan Pusuk yang merupakan perbatasan Lombok Utara dan Lombok Barat. Dengan gambar yang menarik, dia merekam suasana pinggir jalan obyek wisata yang dijelali deretan lapak pedagang, keceriaan pengunjung melemparkan makanan bagi kelompok kera ekor panjang yang berkerumun di pinggir jalan, lalu tumpukan tanah longsor di dasar tebing yang menutupi badan jalan.
”Efek ganda pariwisata memang ada, ekses lingkungannya pun ada. Kenapa ada titik longsor, atau kera-kera yang keluar hutan menunggu dilempari makanan, silakan masyarakat menilai. Kami cuma mendokumentasikan sambil berharap memantik kesadaran dan solidaritas sosial untuk menjawabnya,” tutur Gozali.
Dalam konteks solidaritas sosial, Gozali menulis tentang Masjid Jamiul Jamiah yang berlokasi di seputar Pelabuhan Bangsal, pintu masuk-keluar obyek wisata Gili Air, Meno, dan Trawangan. Masjid yang berdiri tahun 1700 itu sudah direnovasi beberapa kali. Bangunan lama masjid itu merupakan buah kerja gotong royong antar-umat: Islam, Hindu, dan Buddha yang hidup damai berdampingan di Kecamatan Pemenang.
Selain itu, Gozali juga mendokumentasikan transportasi lokal cidomo lewat tulisan dan gambar. ”Tujuan saya adalah menggugah ingatan lama orang tua, memberikan informasi bagi generasi muda tentang peran penting cidomo sebagai moda transportasi di masa lalu. Dengan cara itu akan muncul rasa memiliki dan kecintaan warga akan warisan budaya di desanya,” ujarnya.
Generasi muda
Dalam membuat film dokumenter dan video, Gozali melibatkan anak-anak, remaja, orang dewasa, dan orang tua sebagai pemain. Pelajar SD-SMA juga dilibatkan dalam memproduksi audiovisual. Ini mengingat, hampir semua kalangan memiliki telepon seluler yang memudahkan warga untuk membuat foto dan video.
Dia berhasil mengumpulkan 241 video dan foto karya para pelajar yang kemudian dikompilasi. Sebanyak 15 video ditayangkan di TV kabel yang memiliki 500 pelanggan. Beberapa kali, Gozali juga memutarnya keliling dusun-dusun melalui program bioskop keliling.
”Adanya media yang menayangkan karya-karya itu diharapkan bisa memotivasi generasi muda lebih kreatif memanfaatkan teknologi,” katanya.
Sayangnya, kegiatan bioskop keliling (kini Bioskop Pasir Putih) agak tersendat pascagempa Lombok, Juli-Agustus 2018, yang mengakibatkan semua perangkat dan jaringan TV kabel hancur digoyang gempa.
Gozali mengatakan, dirinya menekuni multimedia diawali dengan kesenangannya menghimpun data dan informasi tertulis. Saat itu, ia menjadi guru honorer sekolah tsanawiyah dan aliyah di Lombok Utara. Seusai mengajar, ia berdagang konfeksi keliling ke desa-desa Lombok Utara. Saat itu, dia mulai terpikir, bahan-bahan tulisan yang dihimpunnya bisa dipublikasikan, bahkan bisa dibuat film dan video.
Ia pun mengajak teman-temannya mendirikan Komunitas Pasir Putih pada 28 Desember 2009. Komunitas ini melakukan pemberdayaan media berbasis komunitas yang diinisasi Forum Lenteng Jakarta, yang memberikan teknik sinematografi dan video. Karya pertama kelompoknya adalah film dokumenter Elesan Deq a Tutuq (Jejak yang Tidak Berhenti). Film itu diputar dalam International Premiere International Documentary and Experimental Film Festival (Arkipel) di Jakarta tahun 2013.
Selama 2010-2019 ada 10 karya video dan tujuh karya film pendek berisi potret geliat kehidupan di pedesaan, sebagian besar digagas oleh Gozali. Film pendek Cermin yang Retak, misalnya, berkisah tentang suami istri yang menikah usia dini, sering bertengkar, suami main pukul istrinya, lalu bercerai. Ada juga film dokumenter Tubuh-tubuh di Atas Muara tentang kehidupan kampung nelayan dan Rahasia Dapur berupa proses pembuatan kuliner khas Lombok.
Muhammad Gozali
Lahir: Lombok Utara, 31 Desember 1983
Istri: Martini Supiana (29)
Anak: 2
Pendidikan:
- SDN 9 Pemenang (1997)
- Madrasah Tsanawiyah Annajah, Gunungsari, Lombok Barat (1999)
- Madrasah Aliyah Al Halimi, Gunungsari, Lombok Barat (2002)
- Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Mataram (2007)