Eddie Vedder Berdiri Tegak dengan Rock Ramah Kehidupan
Banyak yang menganggap, pilihan Pearl Jam menyuarakan isu nonpopuler merupakan bunuh diri karier. Mereka bergeming. Eddie Vedder menakhodai Pearl Jam sebagai band rock yang ramah pada kehidupan selama 30 tahun.
Pada hari-hari ini, Eddie Vedder dan kawan-kawannya di band Pearl Jam semestinya sedang keliling Amerika Utara menggelar tur untuk album anyar Gigaton. Jadwal itu ambyar karena wabah virus korona baru sukar dikendalikan. Kerapuhan manusia yang tergambar di album itu mewakili realitas hari ini.
Album Gigaton bersampul foto gletser yang meleleh dengan seekor burung terbang—entah mendekat atau menjauh darinya. Foto jepretan Paul Nicklen, seorang biolog maritim asal Kanada, itu diambil di kawasan es Nordaustlandet di Svalbard, Norwegia.
Sampul itu begitu gamblang menunjukan bencana ekologi yang terjadi di depan mata. Kata ”gigaton” adalah satuan yang sering dipakai ilmuwan untuk mengukur lapisan es yang meleleh di Greenland ataupun di Antartika. Konon, satu gigaton setara dengan berat seratus juta gajah atau enam juta paus biru.
Vokalis dan gitaris Eddie Vedder (55) menulis lirik yang menyuarakan isu ekologi di album-album Pearl Jam sebelumnya. Album ke-11 mereka ini resmi beredar pada 27 Maret 2020, ketika dunia sedang tergagap menghadapi pandemi virus korona baru. Oleh karena itu, bencana ekologi yang diceritakan di album ini terasa berkait dengan dampak Covid-19.
Pada lagu ”Dance of the Clairvoyant”, misalnya, Vedder menyinggung kebebalan manusia lewat larik ”When every tomorrow/is the same as before…We’re stuck in our boxes/When it’s open no more”. Itu adalah lagu yang paling menonjol di album, dengan pola rif gitar bergaya post-punk dan pendekatan funk pada bas.
Vedder juga melancarkan kritik kepada Presiden AS Donald Trump—terang-terangan menyisipkan nama Trump di dalam lirik lagu ”Quick Escape”. Di situ, Vedder ”mengajak” pendengarnya untuk menyelamatkan diri mencari tempat tinggal baru yang belum diacak-acak Trump: Zanzibar, Maroko, (kalau perlu) sampai Mars.
Di antara tema suram itu, Gigaton masih menyisipkan harapan. Pada nomor balada ”Seven O’Clock”, Vedder melantunkan, ”Swim sideways from the undertow and do not be deterred…For this is no time for depression…”. Lirik itu bisa diterjemahkan sebagai ”Berenanglah menghindari arus bawah, jangan terjebak…karena ini bukan saatnya menyerah”.
Baca juga : Gigaton dan Betapa Rapuhnya Kita
Album ini ditutup dengan nomor lirih ”River Cross”, yang dibuka dengan bunyi organ, jauh dari ingar-bingar distorsi gitar. Pada pengujung lagu, Vedder mengulang-ulang frasa ”Share a light, won’t hold us down (Bagikan terangnya, kita tak terhalangi)”, selayaknya mantra bagi kesusahan yang tengah terjadi hari ini.
Tur yang tertunda
Pearl Jam sendiri terdampak pembatasan gerak demi mencegah penyebaran wabah Covid-19. Sebelum wabah melanda, mereka telah mengumumkan jadwal tur keliling AS dan Kanada, mulai 18 Maret sampai 19 April. Ada 16 jadwal panggung yang semestinya mereka jalani. Pertemuan langsung dengan penggemarnya harus ditunda.
“Ini bukan keputusan strategis. Ada musik baru yang seharusnya kami bagikan kepada penonton, tapi itu tak bisa terjadi. Kami selalu senang membagi dan menerima umpan balik energi musik di ruang pertunjukan. Itu yang harus hilang saat ini,” kata Vedder terbata-bata melalui siniar yang diasuh Bill Simmons, dua hari setelah album dirilis.
Ini bukan keputusan strategis. Ada musik baru yang seharusnya kami bagikan kepada penonton, tapi itu tak bisa terjadi.
Dalam pernyataan resmi band terkait pembatalan itu, Vedder menyampaikan kritik penanganan wabah kepada Pemerintah AS. ”Kami tak menemukan bukti yang dilakukan departemen kesehatan pemerintah menangani ini. Karena itu, tak ada alasan bagi kami untuk meyakini bahwa bencana ini akan segera tertangani dalam beberapa pekan ke depan,” demikian pernyataan Vedder dan bandnya.
Keputusan berat membatalkan tur pernah mereka ambil beberapa kali. Pada tahun 2000, Pearl Jam menarik diri dari perhelatan festival besar selama enam tahun. Keputusan itu menyusul tragedi kematian sembilan penonton, 26 lainnya luka-luka, ketika mereka tampil di Roskilde Festival di Denmark. Peristiwa itu amat membekas bagi band.
Sebelumnya, mereka juga pernah ”cuti” dari konser setelah vokalis Nirvana, Kurt Cobain, ditemukan tewas pada 8 April 1994. Kematian itu dipercaya akibat bunuh diri. ”Kematian Cobain meluluhlantakkan band,” kata Kelly Curtis, manajer Pearl Jam, kepada Cameron Crowe dari Rolling Stone kala itu.
Melihat apa yang menimpa Cobain, aku tersadar, ada yang harus aku lakukan supaya tidak menjeratku juga.
”Melihat apa yang menimpa Cobain, aku tersadar, ada yang harus aku lakukan supaya tidak menjeratku juga,” kata Vedder, seperti dimuat di Los Angeles Times edisi 1 Mei 1994. Ia lantas menyibukkan diri menulis lagu di rumahnya di Seattle setelah band memutuskan menunda tur dua bulan lebih karena suasana duka itu.
Wajah generasi
Eddie Vedder dan Kurt Cobain dianggap sebagai wajah pergerakan aliran musik grunge yang merebak sejak 1991 dari Seattle. Nirvana—bersama Pearl Jam, Soundgarden, dan Alice in Chains—tiba-tiba diangkat sebagai pembaru rock, sekaligus corong bagi keresahan generasi muda. Media massa berlomba-lomba mengangkat fenomena ini.
”Tiba-tiba beban itu ada di pundak kami, yang sebenarnya tidak kami inginkan,” kata Vedder kepada The Guardian. Cobain tak kuat menanggungnya. Dia bergulat panjang dengan kecanduan heroin, begitu juga Layne Staley dari Alice in Chains—overdosis pada 2002. Vedder dan rekan-rekannya di Pearl Jam tak bermasalah dengan narkotika.
Pearl Jam terbentuk pada 1990 dari duka yang menyelimuti basis Jeff Ament dan gitaris Stone Gossard. Dua sejoli itu baru saja kehilangan Andrew Wood, teman vokalis band mereka di Mother Love Bone, yang tewas overdosis. Stone hendak menyudahi duka itu dengan menggarap lagu ciptaannya, mengajak pemain gitar Mike McCready, juga Jeff. Jamming itu direkam dalam kaset untuk mencari pengisi vokal.
Salah seorang yang mendapat kaset itu adalah Jack Irons, pemain drum pertama Red Hot Chilli Peppers. Jack adalah teman main basket Vedder, remaja pemalu yang waktu itu tinggal di San Diego, California. Jack memberikan kaset lagu demo itu kepada Vedder, yang mengisi siangnya dengan bekerja serabutan—salah satunya menjaga pom bensin—dan malamnya ngeband bareng Bad Radio.
”Dollar Short” adalah salah satu lagu yang menancap di benak Vedder begitu mendengarnya. Sembari surfing di pantai California, Vedder mendapat lirik untuk lagunya. Dia segera mengisi vokal dan mengirim kembali ke Jeff. Vedder segera diminta datang ke Seattle. Dengan Dave Krusen sebagai drumer, mereka serius merekam demo mereka sebagai band bernama Mookie Blaylock—diambil dari pebasket New Jersey Nets.
Nama Pearl Jam diusulkan Vedder ketika mereka diminta mengganti nama sebelum menandatangani kontrak dengan Epic, salah satu label rekaman besar. Lagu ”Dollar Short” telah berganti judul ”Alive” dan dipilih sebagai singel utama di album perdana Ten.
Album itu dilepas sekitar sebulan sebelum Nirvana mengubah wajah rock lewat album kedua mereka, Nevermind, pada 1991. Walau berbeda warna musik, kedua album itu punya tema serupa: kegeraman dan kecemasan kaum muda. Keduanya laris jutaan keping dan sama-sama dianggap sebagai album berpengaruh besar.
Gerakan sosial
Sejak awal, Pearl Jam peka pada isu-isu sosial. Penampilan mereka di MTV Unplugged tahun 1992 mempertontonkan Vedder yang menggoreskan tulisan ”Pro-Choice” pada lengan kanannya. Pro-choice adalah gerakan pada isu aborsi yang memberikan pilihan bagi perempuan.
Pearl Jam juga pernah bersitegang dengan agen tiket pertunjukan Ticketmaster pada 1994 karena mematok harga karcis yang amat mahal. Perselisihan itu sampai ke pengadilan. Di tengah serangan gencar AS memburu teroris, Pearl Jam mengkritik keras Presiden George W Bush lewat lagu ”World Wide Suicide” dan ”Bu$hleaguer” di album Riot Act (2002).
Banyak yang menganggap, pilihan-pilihan mereka menyuarakan isu yang tidak populer merupakan bunuh diri karier. Anggapan itu wajar mengingat popularitas Pearl Jam sedang moncer. Toh, mereka bergeming. Penulisan lirik Vedder berkembang ke isu lingkungan, dan juga menjalaninya. Tato logo Earth First, kelompok advokasi lingkungan, di paha kanannya berkonsekuensi besar.
Sejak 2003, mereka menghitung jejak karbon dioksida yang dihasilkan dari tur mereka. Keuntungan tur dialokasikan menjadi donasi bagi pemulihan lingkungan. Tur mereka ke Brasil pada 2018, misalnya, tercatat menghasilkan 2.500 ton emisi karbon dioksida. Mereka lalu mendonasikan keuntungan tur bagi kerja pelestarian 73 juta pohon di hutan Amazon, Brasil.
Penghargaan Grammy dan ditahbiskan pada Rock and Roll Hall of Fame adalah prestasi bagi aspek musikal mereka. Di luar itu, Eddie Vedder telah menakhodai Pearl Jam sebagai band yang ramah pada kehidupan. Mereka masih menjalaninya setelah 30 tahun berputar.(AP/ROLLINGSTONE.COM/PEARLJAM.COM/THEGUARDIAN.COM)
Eddie Vedder
Nama asli: Edward Louis Sverson III
Lahir: Evanston, Illinois, AS, 23 Desember 1964
Diskografi
Bersama Pearl Jam:
- Ten (1991)
- (1993)
- Vitalogy (1994)
- No Code (1996)
- Yield (1998)
- Binaural (2000)
- Riot Act (2002)
- Pearl Jam (2006)
- Backspacer (2009)
- Lightning Bolt (2013)
- Gigaton (2020)
Album solo:
- Into The Wild (soundtrack, 2007)
- Ukulele Songs (2011)