Ahmad Wildan Menjadi Pelita bagi Penderita Tuberkulosis
Ahmad Wildan (27) sempat merasa hidupnya tak berguna lagi akibat tuberkulosis. Namun, depresi itu kini tak tersisa. Semua menjelma asa hidup jadi pelita bagi pasien tuberkulosis lainnya.
Ahmad Wildan (27) sempat merasa hidupnya tak berguna lagi. Penyakit tuberkulosis menjauhkannya dari kesehatan, pekerjaan, dan lingkungan. Namun, depresi itu kini tak tersisa. Semua menjelma asa hidup jadi pelita bagi pasien tuberkulosis lainnya.
Siang itu, Rabu (18/3/2020), Wildan hilir mudik di Poli TB MDR (multidrug resistant atau pasien kebal terhadap obat/RO) Rumah Sakit Gunung Jati, Kota Cirebon, Jawa Barat. Ia mendampingi langkah Saliman (35), pasien tuberkulosis asal Kabupaten Majalengka, Jabar.
Tidak hanya mengambil obat, Wildan juga menenangkannya saat efek samping obat membuatnya pusing dan mual. “Duduk saja dulu. Nanti juga efeknya mereda,” ucap Wildan yang pernah menderita tuberkulosis RO.
Beginilah aktivitas Wildan setiap pukul 08.00–14.00 Senin sampai Jumat sejak 2018. Manajer Kasus Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) Cirebon, organisasi yang fokus pendampingan pasien TB, itu acap kali menjelma tempat curhat hingga tukang foto kopi berkas pasien. Sepeda motornya diparkir di luar RS untuk memudahkan dia bolak-balik.
Semuanya tidaklah sederhana. Sebab, pasien tuberkulosis kerap dijauhi orang-orang, bahkan keluarga sendiri. Tidak jarang mereka datang seorang diri ke layanan kesehatan. Saliman, misalnya, mengendarai sepeda motor sejauh 30 kilometer. Istrinya sudah pergi entah ke mana, meninggalkannya beberapa bulan lalu.
Wildan pun tidak segan memperkenalkan diri kepada pasien TB RO. “Awalnya, beberapa pasien menolak didampingi. Mereka bilang, kamu siapa? Tetapi, setelah kami dan perawat jelaskan maksud pendampingan, mereka menyambut baik,” ujar warga Desa Pilangsari, Kedawung, Cirebon ini.
Wildan bahkan ikut mencarikan indekos bagi pasien dari luar Kota Cirebon yang harus menjalani perawatan rutin di poli. Mereka sering ditolak karena pemilik indekos yang takut penyakitnya menulari penghuni lainnya. Pasien pun kerap tidur di emperan masjid dan rumah sakit. Sejak 2019, pihaknya mengontrak rumah singgah bagi pasien TB dari luar kota.
Melawan depresi
Soal pengetahuan tentang TB, lulusan paket C ini boleh dibilang khatam. Pengalaman terinfeksi tuberkulosis menjadi pelajaran berharga.
Sejak kecil, hidup Wildan sama seperti anak-anak lainnya. Ia tumbuh sebagai anak sekolah yang gemar bermain. Ayahnya yang membuka jasa pengobatan alternatif merantau ke berbagai kota. Beranjak dewasa, Wildan beranjak ke Wonosari, Yogyakarta untuk jualan jamu.
Ia juga menjadi perajin mebel di Jepara, Jawa Tengah selama setahun. Hingga suatu hari ketika umurnya 25 tahun, ia batuk terus menerus hingga mengeluarkan darah. Badannya meriang, demam. Bobotnya turun drastis dari 60 kilogram menjadi 40 kilogram. Dokter kemudian mendiagnosisnya menderita tuberkulosis.
Wildan pulang kampung ke Cirebon tahun 2015 untuk berobat. “Setiap hari, saya meminum tiga butir obat segede jempol kaki. Rasanya, mual, sendi sakit, dan kalau jalan harus merambat di dinding. Setelah tiga bulan, batuk darah saya tidak berhenti. Ternyata, saya termasuk pasien TB RO,” kata dia yang kini sudah menghentikan kebiasaannya merokok.
Akibatnya, meskipun gratis, ia harus mengonsumsi obat hingga 18 butir per hari selama dua tahun. Setiap Senin-Jumat selama 300 hari, ia disuntik. Hanya Sabtu dan Minggu, ia tak bersua jarum suntik. Selama itu pula, Wildan tak lagi bekerja.
Setahun berlalu, bebannya terasa kian berat. Bukan hanya karena efek obat, lingkungannya juga menjauhinya. Orang-orang memandangnya pembawa penyakit. Apalagi, empat kerabatnya juga tertular TB. “Saya merasa tidak ada gunanya hidup,” kata Wildan yang sempat mengonsumsi obat kejiwaan.
Tidak jarang ada yang menganggapnya tak waras. Misalnya, karena memakai kaca mata hitam meskipun di rumah atau berlarian di malam hari. “Padahal, itu efek obat. Mata silau dan badan gerah sehingga perlu cari angin. Tetapi, orang enggak bertanya mengapa begitu? cuma bilang kamu gila,” ujarnya.
“Setiap hari, saya meminum tiga butir obat segede jempol kaki. Rasanya, mual, sendi sakit, dan kalau jalan harus merambat di dinding. Setelah tiga bulan, batuk darah saya tidak berhenti. Ternyata, saya termasuk pasien TB RO,” kata Wildan.
Wildan bahkan sempat berontak dengan tidak mengikuti jadwal pemeriksaan rutin. Katanya, itu sinyal bahwa ia butuh psikolog. Dinas Kesehatan Kota Cirebon pun mengiyakan. Hatinya mulai tenang. Orangtuanya juga tak gentar mendukungnya, mengingatkan agar rutin minum obat.
Ia lalu mencari pasien lainnya melalui media sosial. Ternyata, ada grup komunitas pasien TB RO. Mereka saling memotivasi dan berbagi pengalaman dengan pasien yang sembuh. Wildan juga tergabung dalam organisasi mantan pasien, Yayasan Terus Berjuang Bandung. Ia tidak ingin TB membunuhnya di usia muda.
Hingga akhirnya, ia dinyatakan sembuh lebih cepat dua bulan dari masa pengobatan pada 2017. Namun, perjuangannya justru baru dimulai. Pada 2018, Wildan bergabung dalam LKNU Cirebon demi mendampingi pasien. Meskipun mendapatkan honor yang setara upah minimum Kota Cirebon, pendampingan bukan perkara gampang.
Ia harus terus menerus kontak dengan pasien TB RO dan berpotensi kembali tertular. Keluarga pun memperingatkannya. “Perawat dan dokter enggak takut kok. Kan, ada caranya agar tidak tertular. Seperti memakai masker dan rajin cuci tangan. Saya juga rutin periksa dahak setiap enam bulan?” ujarnya sambil mengenakan masker.
Sebagai mantan pasien, pengalamannya bisa bermanfaat bagi pasien lainnya. “Saya enggak punya uang atau ilmu akademis yang bisa dibagi, hanya pengalaman yang tidak dimiliki semua orang,” ungkapnya diiringi senyum.
Kini, Wildan mengkoordinasi delapan mantan pasien yang turut mendampingi pasien TB MDR. Ia juga membawahi kader TB LKNU di Kabupaten Cirebon sebanyak 35 orang, Kota Cirebon (9 orang), Indramayu (11 orang), Kuningan (15 orang) dan Majalengka (12 orang).
Kader merupakan mantan pasien dan keluarganya atau orang yang mendukung pasien TB. Mereka telah memantik semangat hidup sekitar 230 pasien.
“Kami bekerja bukan karena program. Kalau ada yang batuk, kami bekerja. Saya mau ngurusin ini selama masih ada pasien,” ucapnya.
Semangat itu terlihat dari keinginannya untuk terus belajar. Dia kini tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Terbuka. Bukan titel yang ia cari tapi demi meningkatkan kapasitasnya dalam berbicara dengan pasien TB. Biaya sekitar Rp 700.000 per semester tidak jadi masalah.
"Komunikasi memudahkannya menyemangati pasien TB. Peluang mereka untuk sembuh bisa lebih besar,” katanya.
Keteguhan Wildan jadi contoh semangat tak padam dihadang tuberkulosis. Kiprahnya menjadi inspirasi bagi mereka yang tengah berjuang untuk sembuh.
Ahmad Wildan
Lahir: Cirebon, 30 September 1992
Profesi: Manajer Kasus TB RO LKNU
Penghargaan: Penghargaan Wali Kota Cirebon atas Peran Aktif Penanggulangan Tuberkulosis di Kota Cirebon 2018