Sebelum beralih ke organik, saya termasuk ’ahli kimia’. Saya selalu menggunakan pupuk dan pestisida kimia dengan dosis paling tinggi. Begitu kata Randam Purnomo, anak muda yang memilih jadi petani.
Oleh
Jumarto Yulianus
·5 menit baca
Randam Purnomo (32) menggeluti pekerjaan yang tak banyak digeluti generasi muda sebayanya. Ia menjadi petani yang mengusahakan tanaman padi. Tanpa banyak berteori, Randam mempraktikkan cara bertani organik. Sebagai praktisi, ia pun getol mengampanyekan pertanian organik.
Randam termasuk kelompok generasi milenial atau generasi Y karena terlahir antara rentang tahun 1980-an hingga 1995. Ia lahir dan besar di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan yang merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Kotabaru pada 2003. Ini adalah daerah pertambangan dan perkebunan kelapa sawit cukup luas. Meskipun hidup di daerah kaya sumber daya alam seperti itu, Randam justru lebih tertarik masuk ke dunia pertanian.
”Saya baru menjadi petani pada 2015. Sejak itu saya mulai mengelola sawah sendiri. Sebelumnya, hanya membantu orangtua,” kata Randam yang ditemui di sela-sela kegiatan pelatihan Teknik Budidaya Udang Windu secara Organik Bersinergi dengan Peternakan Sapi di Desa Pantai, Kecamatan Kelumpang Selatan, Kotabaru, Kamis (20/2/2020).
Saat dijumpai di Desa Pantai, Randam sedang memberi pelatihan tentang penyiapan lahan tambak secara organik kepada para petambak. Ia mengenakan kemeja biru lengan panjang dengan motif ikan. Rambutnya disisir bergaya mohawk dengan kacamata hitam dicantolkan pada kancing atas kemeja.
Randam mengaku kerap diajak Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan ke berbagai daerah untuk memberikan pelatihan tentang pertanian organik. ”Cara bertani organik itu tidak melulu untuk tanaman pangan, tetapi bisa juga diaplikasikan pada tanaman hortikultura dan perikanan budidaya,” ujarnya.
Beralih
Randam memulai pertanian organik pada 2016 atau setahun setelah ia menjadi petani. Ia baru mengenal pertanian organik ketika Kantor Perwakilan BI Kalsel mengembangkan kluster padi organik di Tanah Bumbu. Randam bersama beberapa petani lain dibina secara khusus untuk menerapkan pertanian organik.
Sebelum beralih ke organik, saya termasuk ’ahli kimia’. Saya selalu menggunakan pupuk dan pestisida kimia dengan dosis paling tinggi
”Sebelum beralih ke organik, saya termasuk ’ahli kimia’. Saya selalu menggunakan pupuk dan pestisida kimia dengan dosis paling tinggi,” kata petani dari Desa Karang Mulya, Kecamatan Kusan Hulu, Tanah Bumbu itu.
Namun, menurut Randam, penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang paling bagus sekalipun ternyata tidak banyak mempengaruhi hasil. Produktivitas padi pada waktu itu masih tergolong rendah, yakni hanya 3-4 ton gabah kering panen (GKP) per hektar.
Randam kemudian mempelajari pertanian organik dari Nugroho Widiasmadi, ahli pertanian organik dari Semarang yang didatangkan oleh Kantor Perwakilan BI Kalsel. Randam mendapat pengetahuan baru tentang cara-cara mengolah lahan pertanian dan bercocok tanam tanpa menggunakan pupuk dan pestisida kimia.
”Ternyata, banyak tumbuhan di sekitar kita yang bisa dimanfaatkan untuk mengusir insek (hama), misalnya gadung dan bawang putih. Tumbuhan itu dicampur dengan urine sapi dan diolah menjadi biofarm,” tuturnya.
Menurut Randam, pestisida organik itu tidak membunuh insek, tetapi hanya mengusir atau mengendalikannya agar tidak mengganggu tanaman. Dalam pertanian organik, prinsipnya tidak merusak alam dan ekosistemnya.
Untuk pupuk organik, juga bisa diolah dari bahan-bahan yang ada di sekitar kita. Pupuk yang digunakan umumnya mengandung unsur nitrogen (N), fosfat atau phospate (P), dan kalium (K). Unsur N bisa diolah dari ampas kelapa parut. Unsur P bisa diolah dari pelepah atau batang pisang. Unsur K diolah dari sabut kelapa yang difermentasi dengan cairan Microbacter Alfaafa-11 (MA-11).
Selain menggunakan bahan-bahan tersebut, Randam juga memanfaatkan kotoran sapi untuk diolah menjadi pupuk superbokashi. ”Awalnya, saya juga tidak begitu yakin dengan cara-cara organik. Namun setelah berjalan beberapa tahun, ternyata produktivitas padi terus meningkat. Saat ini, produktivitasnya mencapai 8,9 ton GKP per hektar,” kata bapak dengan satu anak itu.
Selain meningkatkan produktivitas, cara bertani organik juga efektif menurunkan serangan hama. Dari mulai tanam sampai panen padi, serangan hama relatif terkendali. ”Pada awal tahun 2019 terjadi serangan wereng yang membabi buta di daerah kami, tetapi sawah saya sama sekali tidak kena,” tuturnya.
Beri contoh
Randam adalah petani termuda di Kelompok Tani Karya Bakti Desa Karang Mulya. Meskipun demikian ia dipercaya sebagai ketua Kelompok Tani Karya Bakti. Anggota kelompoknya rata-rata sudah berusia di atas 50 tahun.
Kelompok Tani Karya Bakti beranggotakan 25 petani. Mereka mengelola sawah seluas lebih kurang 25 hektar. Menurut Randam, semua anggota kelompoknya sudah menerapkan pertanian organik. Petani-petani yang tua akhirnya mau mengikuti cara bertani organik setelah melihat keberhasilannya.
Saya tidak banyak ceramah supaya tidak terkesan menggurui mereka yang sudah tua
”Saya tidak banyak ceramah supaya tidak terkesan menggurui mereka yang sudah tua. Cukup satu atau dua kali ngomong, saya langsung praktik di sawah sendiri biar mereka melihat hasilnya. Mengajak mereka beralih ke organik memang harus dengan contoh,” tutur sulung dari dua bersaudara itu.
Randam senang melihat para petani tua bersemangat menerapkan pertanian organik. Jika sudah musim kemarau, mereka berlomba-lomba menyiapkan pupuk superbokashi dan mengangkutnya ke sawah. Mereka sudah membuktikan bahwa pertanian organik sangat ekonomis dan memberikan hasil yang memuaskan.
Keberhasilan menerapkan pertanian organik di dalam kelompoknya kini ditularkan Randam kepada petani-petani lain di luar kelompoknya, bahkan di luar daerah. Ia pernah sampai terbang ke Palembang untuk berbagi ilmu pertanian organik dengan para petani bawang merah binaan Kantor Perwakilan BI Sumatera Selatan.
”Kalau memberi pelatihan, saya tidak mau sekadar menyampaikan teori, tetapi turut mengawal praktiknya dari awal tanam sampai panen. Saya selalu berupaya mendampingi petani lain sampai berhasil,” kata pria lulusan SMA itu.
Menurut Randam, pertanian adalah ladang bisnis yang tak ada matinya karena semua manusia butuh makan. Hampir semua makanan pokok manusia dihasilkan oleh petani. Karena itu, ia berharap generasi muda jangan ragu untuk masuk ke dunia pertanian. Kalau mau dihitung, penghasilannya juga tidak kalah dengan penghasilan pegawai atau karyawan.
Ia mencontohkan, sekali panen padi misalnya dapat 8 ton GKP per hektar dan gabah itu dihargai Rp 4.000 per kilogram, maka pendapatan petani sebesar Rp 32 juta. Jika dua kali panen dalam setahun, maka pendapatannya mencapai Rp 64 juta per tahun atau Rp 5,3 juta per bulan. ”Jadi petani itu enak, kerjanya tidak terikat waktu,” ujarnya sambil tertawa.