I Made Agus Suwesnawa, 18 Tahun Bersama Kapal Greenpeace Rainbow Warrior
Delapan belas tahun menjadi sukarelawan Rainbow Warrior, Gus Wes memperkuat jiwanya dan kemudian mengajak banyak orang di dunia untuk menjaga kosmologi semesta.
Oleh
Ayu Sulistyowati
·4 menit baca
I Made Agus Sewesnawa (38) punya cara berbeda dalam menghayati kesenimanannya. Sebagai pelukis, ia tak suntuk di depan kanvas, tetapi terjun langsung menjadi aktivis lingkungan. Gus Wes bahkan telah menjadi sukarelawan di kapal Greenpeace, Rainbow Warrior, selama 18 tahun.
Bersama Rainbow Warrior, Gus Wes pertama-tama memperkuat jiwanya dan kemudian mengajak banyak orang di dunia untuk menjaga kosmologi semesta. Acap kali ia merasa beruntung bisa berkeliling dunia, singgah dari pulau ke pulau di seluruh belahan dunia. Gus Wes sadar, bersuara tentang kelestarian lingkungan tak harus dengan protes lantang. Ia melakukan advokasi lewat seni dengan membangun narasi yang menyentuh kesadaran publik.
Akhirnya saya memilih jalur seni yang cenderung tanpa suara. Tetapi, berusaha semaksimal mungkin, karya itu bisa memberikan energi untuk perubahan.
”Akhirnya saya memilih jalur seni yang cenderung tanpa suara. Tetapi, berusaha semaksimal mungkin, karya itu bisa memberikan energi untuk perubahan. Meski sedikit, tapi tetap ada gerakan,” kata lelaki asal Negara, Kabupaten Jembrana, Bali, ini ketika ditemui di Denpasar, awal Januari 2020.
Kebetulan, pada Januari 2020, ia tengah mendapatkan libur dari kapal perdamaian. Gus Wes kemudian berbagi cerita tentang misi perdamaian melalui kapal Greenpeace itu.
Satu hal yang tak disangkanya, ia mendapatkan pengalaman menginjakkan kaki di Kutub Utara dan Selatan. Kedua kutub Bumi itu justru membuatnya makin sadar tentang bahayanya pemanasan global. ”Kapal semakin mudah memasuki area es karena es makin mencair,” ujar Gus Wes.
Kita harus makin bijaksana semasih jadi manusia. Bahwa perubahan iklim itu karena ulahmu juga.
Kehadirannya di kutub Bumi justru memantik kesadaran tentang betapa serakahnya manusia. ”Kita harus makin bijaksana semasih jadi manusia. Bahwa perubahan iklim itu karena ulahmu juga,” katanya.
Sukarelawan pertama Rainbow Warrior dari Indonesia ini memang lahir di wilayah pesisir pantai Bali barat. Suasana laut dihirupnya setiap hari. Gus Wes penasaran, ia ingin membaca tanda-tanda alam yang dikirimkan lewat beragam cara. Siklus alam yang berubah karena berbagai sebab sering kali gagal dibaca oleh manusia. Padahal, itulah pertanda yang dikirimkan alam agar manusia juga mengubah pola perilakunya.
Hipotesis tentang perubahan siklus alam itu terjawab melalui tesis Pascasarjana Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana tahun 2014. Gus Wes memilih judul ”Mitos Kosmologis dan Pergulatan Kehidupan Nelayan Desa Perancak”, di Kabupaten Jembrana. Gus Wes melakukan penelitian selama setahun, dengan pertanyaan utama: bagaimana korelasi musim ikan dengan kehidupan sekitar pantai, apa saja sinyal-sinyal yang diperlihatkan alam?
Tanda-tanda pesisir
Pesisir, menurut penelitian Gus Wes, mampu memberi pesan bagaimana kondisi alam. Temuannya adalah nelayan mengalami pergulatan dalam ketidakpastian sebab tradisi sebagai penjamin ketepatan musim ikan sebagaimana dalam kosmologi sudah tidak tepat lagi.
Implikasi berikutnya, menurut Gus West, mitos kosmologis yang menawarkan tatanan keteraturan serta pandangan dunia berpola, akibat perilaku manusia, pola tersebut tidak lagi teratur. Musim panen ikan pada bulan keempat (Sasih Kapat) dalam perhitungan tradisional Bali juga sudah tidak tepat lagi. Perubahan itu disebabkan oleh siklus cuaca yang terus berubah karena didorong oleh perubahan iklim.
Gus Wes bergabung menjadi sukarelawan sejak tahun 2002. Ia ketika itu masih satu-satunya orang Indonesia yang lolos menjadi sukarelawan. Sejak 2004, Gus Wes mulai mengikuti perjalanan Rainbow Warrior. Dia memulainya dari Singapura, tempat kapal tersebut menjalani perawatan. Perjalanan pertamanya setelah itu mengambil jalur melewati Australia-Selandia Baru-Fiji-Vanuatu-Papua Niugini dan berakhir di Bali.
Ketika itu, dia orang Indonesia yang menjadi anak buah kapal (ABK) dari 16 orang hingga 22 orang kru tiap kapal. Greenpeace memiliki tiga kapal. Selain Rainbow Warrior, dua kapal lain adalah Arctic Sunrise dan Esperanza.
Tugas utama Gus Wes di bagian logistik, seperti mengurus surat-surat kapal. Namun, sebagai ABK dengan kegiatan utama kampanye lingkungan, dia juga harus paham dan mengikuti aksi-aksi lingkungan. Salah satu aksi awal yang dia ikuti adalah ketika mereka memblokade kapal pengangkut batubara di Newcastle, Australia. Mereka juga memblokade kapal pengangkut kedelai GMO dari Argentina ke ”Negeri Kanguru” itu.
”Adakalanya ide-ide aksi itu liar dan tidak gampang dipahami. Karena itulah, seni menjadi diperlukan sebagai media komunikasi tulisan dan visual. Saya juga salah satu yang mempersiapkannya, seperti kartun dan poster,” ujarnya.
Segala pengalaman berharga itu semakin mempertajamnya dalam menorehkan ide-ide kritis di jalur seni. Baginya, seni memiliki kekuatan mencubit kebijakan yang tak pro-lingkungan hingga ekonomi. Baginya, narasi itu tak selalu berupa turun ke jalan atau berteriak lantang. Jalan sunyi pun dapat menjadi alternatif cara mengajak sesama mencintai Bumi dan alam semesta. ”Hanya saja tetap lakukan dengan baik, bukan lakukan dengan apa saja…,” pesannya.
I Made Agus Suwesnawa
Lahir: 24 Mei 1981
Istri: Karla Suwesnawa
Anak: Onix Yan Suwesnawa
Pendidikan:
S-1 Seni Rupa Murni ISI Denpasar
S-2 Kajian Budaya Universitas Udayana
Pameran Solo:
PULANG KAMPUNG, Kulidan Art Space Guwang Sukawati Gianyar (solo)
Pameran Grup:
Green Care, Jagatnatha Gallery Jembrana, Bali, Indonesia
AFTER his STORY, Celekotok Community, Dewangga Art Gallery, Bali
Lintas Generasi, Teras Seni, Pengosekan Ubud, Bali
Barak Senggama, Angkatan 2000, Gedung PWI, Denpasar
G 30 S (Gerakan 30 Seniman) Angkatan 2000, Art Centre Denpasar
Bali Poverty History, Akar Rumput, Wong Aye Gede Tabanan