Mercelino Lopes, Eks Warga Timor Leste yang Setia kepada NKRI
Meskipun 20 tahun tinggal di kamp pengungsi, Marcelino Lopes tidak menyesal bergabung dengan NKRI. Ia hanya kesal karena pemerintah melupakan sebagian janji kepada eks warga Timor Leste yang setia kepada NKRI.
Oleh
Kornelis Kewa Ama dan Frans Pati Herin
·5 menit baca
Pria berkulit gelap itu mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Bola matanya sedikit liar dengan tatapan tajam. Kesan seram di wajahnya seketika lenyap saat ia melepas senyum. Dialah Marcelino Lopes (51), warga eks Timor Leste (dulu Timor Timur), mantan Komandan ”Makikit” yang memilih bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hasil jajak pendapat di Timor Leste pada 1999 dengan kemenangan kubu pro kemerdekaan membawa Marcelino terdampar di kamp pengungsian Tuapukan, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), sekitar 30 kilometer dari Kota Kupang. Di tempat itu, ia tinggal bersama 357 keluarga lainnya. Meskipun status pengungsi sudah dihapus, nyatanya mereka masih mengungsi selama 20 tahun terakhir ini.
Marcelino, tokoh yang dituakan di tempat itu, enggan pergi mencari tempat baru seperti halnya warga lain. Ia memilih bertahan bersama warga eks pengungsi yang ia kawal semenjak mereka meninggalkan kampung halaman di Kecamatan Dilor Distrik Viqueque, Timor Leste.
”Saat itu, saya pastikan masyarakat yang pro Indonesia sudah meninggalkan Timor Timur. Ribuan orang,” kata mantan komandan milisi Makikit dari daerah Viqueque itu di Tuapukan, 15 kilometer dari Oelamasi, ibu kota Kabupaten Kupang, Sabtu (15/2/2020).
Selama 20 tahun terakhir, ia menjadi salah satu penggerak warga eks Timor Leste dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat eks pengungsi. Bersama eks pengungsi lainnya, ia berjuang mulai dari aksi jalanan hingga menyampaikan langsung kepada pengambil kebijakan meskipun sebagian besar tidak diakomodasi. Salah satu yang mereka perjuangkan antara lain mendapatkan rumah layak huni sebagaimana janji pemerintah.
”Kami sudah bolak-balik bawa berkas ke kantor, tapi sia-sia. Ganti pejabat dari periode ke periode berikut pun tidak ada hasil,” ujar pria berambut gondrong yang dikuncir rapi itu.
Sejauh ini memang banyak warga eks Timor Leste yang mendapat rumah. Namun, kualitasnya sangat memprihatinkan. Rumah yang diperoleh berukuran 7 meter x 6 meter dengan konstruksi setengah tembok disambung papan. Tembok terbuat dari pasir dan semen dengan takaran minimum sehingga tidak tahan lama. Tiga tahun, pasir tembok mulai rontok hingga bolong. Sementara itu, dinding papan terbuat dari kayu kapuk. Tidak sampai dua tahun, dinding papan itu mulai dikikis rayap.
Rumah milik Marcelino agak lebih baik dibandingkan dengan rumah milik rekan lain di kamp Tuapukan. Meskipun berdinding ”bebak”, rumah itu berlantai semen dan beratap seng. Ia berjuang dengan segala kemampuan untuk menata rumah itu dalam kurun waktu 20 tahun ini.
Lahan garapan
Mayoritas pengungsi Tuapukan memilih bertahan tinggal di atas lahan milik warga lokal. Mereka membangun rumah darurat dengan satu rumah diisi lebih dari satu keluarga.
Marcelino memilih setia bersama mereka yang lain, termasuk anggota milisi yang dia pimpin. Mereka bersama berjuang di tengah kondisi yang tidak menentu.
Ia membantu warga eks pengungsi Timor Leste untuk mendapatkan lahan garapan. Ia menghubungkan mereka dengan pemilik lahan. Hasil garapan dibagi bersama pemilik lahan sesuai dengan perhitungan yang mereka sepakati. Saat ini, lebih dari 100 hektar lahan yang berhasil digarap warga eks Timor Leste.
Marcelino juga membantu warga memiliki akses air bersih. Ia mengusahakan pembangunan sumur bor. ”Kami tidak dapatkan air bersih dan layanan lain dari pemerintah. Saya menggerakkan 358 kepala keluarga (KK) di sini untuk mengusahkan tiga sumur bor. Biaya satu unit sumur bor Rp 3 juta. Uang ini dikumpulkan dari 15-20 KK. Mereka menikmati sumur itu. Bagi yang tidak memiliki uang, saya beri kesempatan ambil air dari rumah ini,” tuturnya.
Kehidupan ekonomi warga eks Timor Leste yang sulit berefek pada kondisi sosial setempat. Di kawasan itu terdapat banyak geng dan perguruan silat yang sering terlibat bentrokan berdarah. Sejak 20 tahun terakhir, beberapa orang meninggal akibat bentrokan itu. Marcelino yang berpengalaman memimpin pasukan milisi dan mengenal beberapa tokoh setempat ikut berperan meredakan kondisi itu. ”Lebih dari 100 anggota milisi yang saya pimpin masih ada di sini,” katanya.
Marcelino menjadi pemimpin milisi setelah lama terlibat dalam operasi TNI di Timor Leste. Sejak 1983, saat berusia 23 tahun, ia bergabung menjadi tenaga batuan operasi (TBO). Tugas mereka membantu kelancaran operasi, seperti membawa logistik dan mencari air di sungai terdekat, serta memasak. Ia dekat dengan prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Ia mengenal dekat beberapa petinggi baik yang masih aktif berdinas maupun yang sudah pensiun.
Meskipun berstatus mantan komandan perang, ia tidak memanfaatkan jabatan itu untuk mencari keuntungan pribadi, atas nama pengungsi Timor Leste. Ia tetap sederhana, hidup apa adanya. Demi hidup, ia berjuang bersama istri dan anak-anak menggarap lahan milik TVRI Kupang seluas 700 meter persegi yang belum dimanfaatkan.
Marcelino mengaku pernah mengikuti sebuah ajang lomba menembak berjarak 600 meter yang digelar Kopassus di Batujajar, Jawa Barat, sekitar tahun 1996. Ia barhasil finis pada urutan ketiga. Urutan pertama ditempati seorang anggota Kopassus dan urutan kedua ditempati seorang tentara dari Australia.
Setelah pulang, ia dilantik menjadi Komandan Makikit di Lacluta, Dilor, Viqueque. Ia memimpin 600 anggota Makikit. Kelompok ini beroperasi di Viqueque. Setiap kabupaten memiliki satu kelompok TBO dengan komandan masing-masing. Sebut saja Besi Merah Puti di Liquica dan Aitarak di Dili. Saat itu, ia digaji Rp 75.000 per bulan.
Sebagai pejuang pro-integrasi, Marcelino sangat kecewa ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa mengumumkan kekalahan dalam jajak pendapat, 4 September 1999. Saat itu, Pemerintah RI meminta warga Timor Timur (kini Timor Leste) pro-integrasi tetap tinggal atau berpindah sementara ke Timor Barat.
Ia pun mengungsikan lebih awal istri, anak, dan warga pro-integrasi lain ke Timor Barat, 4 September 1999 sore hari. Marcelino menyusul terakhir bersama sejumlah pemimpin TBO dan anggota TNI. Mereka ditempatkan di kamp pengungsi Noelbaki, Kabupaten Kupang, setelah beberapa hari dipindahkan ke Tuapukan sampai hari ini.
”Harga mati Merah Putih. Kesetiaan kami terhadap NKRI tidak pernah luntur oleh situasi yang kami alami hari ini. Ini namanya pejuang. Tetapi, apakah kesetiaan kami diakui dan dihargai? Saya kira tidak. Malah kelompok yang berjuang keluar dari NKRI selalu mendapat perhatian pemerintah,” kata Marcelino kesal.