Tak ada yang meragukan kepakaran Latief Suwignyo (87) soal tenun ikat. Pria bernama asli Nyo Hong Liat itu ikut berpusar dalam jatuh bangun wastra adiluhung khas Kediri.
Oleh
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
·3 menit baca
Tak ada yang meragukan kepakaran Latief Suwignyo (87) soal tenun ikat. Pria bernama asli Nyo Hong Liat itu ikut berpusar dalam jatuh bangun wastra adiluhung khas Kediri. Meski riwayatnya soal kain tersebut lebih banyak dirundung nestapa, Latief tak henti menaruh perhatian terhadap tenun ikat.
Latief disambut sejumlah pengunjung saat menghadiri The 5th Dhoho Street Fashion di Kota Kediri, Jawa Timur, Kamis (5/12/2019). Ia berjalan tertatih-tatih hingga harus dipapah kerabatnya. Sebelum peragaan busana bertema ”Pride of Jayabaya” itu dimulai, Latief didaulat memberikan sekapur sirih.
”Ayah saya membuka usaha tenun ikat tahun 1938. Bikin sarung yang terima toko dan distributor besar di Surabaya,” ujarnya. Kesempatan untuk Latief berbicara di antara sambutan Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar dan Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Jatim Arumi Bachsin menunjukkan figurnya yang disegani.
Fisik yang renta memaksa Latief berbicara pelan dengan suara parau. Kadang, ia terdiam untuk mengingat lagi masa lalunya. ”Usaha ayah saya Pakelrejo, singkatan Pakelan dan rejo (ramai). Sarung enggak bisa dibuat mesin. Harus ditenun,” kenang Latief yang sudah dianggap maestro tenun ikat.
Pakelrejo berada di Kelurahan Pakelan, Kecamatan Kota, Kota Kediri. Keluarga Latief termasuk generasi awal yang mendirikan usaha pembuatan tenun ikat. Sementara sentra tenun ikat berada di Kelurahan Bandarkidul, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri.
”Memang, Pakelrejo bukan produsen pertama di Kediri, tetapi di Bandarkidul saja, usaha tenun ikat waktu itu belum berkembang,” ujarnya. Ia mengenyam pendidikan di Surabaya, diikuti tekadnya untuk menggeluti tenun ikat secara serius dengan kuliah di Sekolah Tinggi Tekstil, Enschede, Belanda.
”Setelah SMA tahun 1948-1951, saya kuliah hingga 1955. Banyak perubahan. Sulitnya, harga benang naik. Setelah Lebaran, penjualan sepi kayak kuburan,” ucapnya. Fluktuasi harga lantaran dipermainkan spekulan bukan baru-baru ini saja terjadi. Ulah mereka membuat Latief menaikkan harga produknya.
”Beli benang harus setor uang dan inden. Kalau jualan, bisa sebulan bahkan dua bulan kemudian baru dibayar. Apa enggak repot,” katanya. Latief juga pernah mengirimkan 200 kodi sarung kepada pemesan di Tanah Abang, Jakarta. Sarung tersebut dikirim ke Kuwait.
”Saya datang ke Tanah Abang untuk memasarkan sarung. Cocok. Ternyata, saya hanya dikasih 10 persen dari uang yang harus dibayar pemesan buat panjar,” ujarnya. Pengorder sarung baru bersedia melunasi sisanya setelah letter of credit keluar.
”Sama saja saya membiayai pemesan. Saya akhirnya capek ngurus sarung,” ujar Latief yang tinggal di Jalan Yos Sudarso. Pakelrejo tak lagi beroperasi tahun 1994. Latief menjual semua mesin tahun 1997. Ia pun pernah menjajal peruntungan dengan membuka pabrik tahu yang berjalan selama 32 tahun.
”Sebenarnya enak kalau bikin tahu. Setelah tahu diantar, besok sudah dibayar. Kontan. Usaha itu juga berhenti,” ucapnya. Pabrik tersebut tutup tahun 1996. Ayah Latief meninggal tiga tahun kemudian. Tak ada lagi usaha Latief yang tersisa, tetapi bagi warga Kediri, ia dianggap legenda hidup tenun ikat.
Latief tahu banyak soal perkembangan tenun ikat. Ia melayani permintaan untuk berbincang atau bertanya tentang kain tersebut dengan ramah. Latief masih diundang menghadiri acara penting mengenai tenun ikat. Ia, misalnya, menjadi tamu dalam Dhoho Street Fashion 2018 di Taman Sekartaji, Kota Kediri.
Latief dan ayahnya menjadi gambaran kemajemukan berkeyakinan. Ayah Latief adalah penganut Khonghucu yang rumahnya sering didatangi sejumlah pastor. ”Saya pemeluk Buddha. Sekarang saya ini simatupang saja. Siang malam tunggu panggilan, tetapi enggak apa-apa,” guraunya.