Sugian Noor Menumbuhkan Bakat Musik Anak-anak Difabel
Sugian Noor dengan penuh kesabaran melatih anak-anak penyang disabilitas untuk bermain musik.
Pada 1977 Sugian Noor berusia 9 tahun. Ia terserang polio. Kedua kakinya lumpuh dan tangan kanannya lebih kecil dari tangan kirinya. Dalam keterbatasan fisik, Sugian justru mampu menemukan bakatnya bermain musik, yang kemudian ia tularkan kepada anak-anak penyandang disabilitas.
Sugian melatih anak-anak penyandang disabilitas di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Solo, Jawa Tengah. Gedung YPAC Solo, Kamis (12/12/2019) siang itu sudah sepi. Siswa dan sebagian besar guru telah pulang. Namun, Sugian yang biasa disapa Om Sugi oleh murid-murid SLB-D YPAC Solo masih betah di dalam studio musik.
Studio musik itu tampak sederhana dengan luas sekitar 4 meter x 4 meter. Lantainya dilapisi karpet berwarna hijau dengan dinding dilapisi material untuk meredam suara yang juga berwarna hijau. Ada alat-alat musik di situ, di antaranya keyboard, drum, gitar, serta beberapa pengeras suara. Ruangan ini menjadi tempat bagi Sugi menggali dan memupuk bakat bermain musik murid-murid yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler YPAC Music Percussion.
Seluruh personel grup musik YPAC Music Percussion adalah anak-anak penyandang disabilitas, baik tuna daksa maupun tuna grahita. Setiap anak memiliki peran masing-masing, ada yang bermain keyboard, tamborin, marakas, vokal, gitar, jimbe dan penabuh drum.
Grup YPAC Music Percussion telah malang-melintang tampil di beragam kegiatan, di antaranya mengisi rangkaian acara peringatan Hari Anak Sedunia dan 30 Tahun Konvensi Hak Anak di Balai Kota Solo, 19 November 2019 lalu. Saat itu, mereka unjuk kepiawaian bermusik di hadapan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga. Mereka juga biasa pentas rutin sebulan sekali pada hari Minggu saat Car Free Day di Jalan Slamet Riyadi, Solo.
“Mulanya saya melatih musik untuk terapi. Tetapi saya ingin membangun suasana yang tidak seperti terapi, jadi saya mengajak anak-anak bagaimana caranya enjoy bermain musik, tidak terpaksa,” kata guru honorer yang mengampu mata pelajaran seni budaya dan keterampilan di YPAC Solo ini.
Sugi merintis grup musik YPAC Music Percussion pada tahun 2006. Sebelum membina grup perkusi, Sugi lebih dulu melatih musik kulintang untuk kegiatan ekstrakurikuler di YPAC Solo. Ketika merintis grup perkusi, YPAC Solo belum memiliki studio berikut seperangkat alat musik band.
Barang bekas
Sugi juga memanfaatkan sejumlah barang bekas, di antaranya galon air minum dan drum plastik bekas bak sampah. Selain itu, bekas botol air minum kemasan yang diisi beras ataupun kacang hijau sebagai marakas serta membuat tamborin dari tutup-tutup botol minuman. Hingga kini, YPAC Music Percussion masih tetap memanfaatkan drum plastik bekas tempat sampah saat tampil di depan publik.
Gemblengan Sugi yang tegas dalam melatih musik membuahkan hasil nyata. Bakat bermusik anak-anak penyandang disabilitas tumbuh. Mereka mampu bermain musik secara harmoni saat membawakan lagu-lagu populer. Hal itu mengundang apresiasi dari masyarakat luas. Bahkan, ada yang sukarela menyumbang alat musik kepada YPAC. Pihak YPAC Solo juga membeli berbagai alat musik yang dibutuhkan.
Sugi juga memanfaatkan sejumlah barang bekas, di antaranya galon air minum dan drum plastik bekas bak sampah. Selain itu, bekas botol air minum kemasan yang diisi beras ataupun kacang hijau sebagai marakas serta membuat tamborin dari tutup-tutup botol minuman.
“Awal mula ketika grup perkusi itu berdiri, saya tidak minta anggaran karena belum jadi apa-apa kok sudah minta anggaran. Saya harus bisa buktikan dulu,” kata Sugi yang sehari-hari menggunakan kursi roda untuk beraktivitas.
Sugi mengatakan, bermain musik akan melatih kemandirian anak-anak penyandang disabilitas. Ini juga sebuah cara yang ampuh untuk menanamkan kepercayaan diri mereka.
“Dari awalnya malu di depan orang banyak, mereka berubah menjadi berani dan percaya diri tampil di depan publik,” ujar Sugi yang mulai mengajar di YPAC Solo sejak tahun 1992.
Upaya itu tidak semudah membalik telapak tangan. Sugi tidak lelah memotivasi anak-anak didiknya untuk mengoptimalkan potensi yang mereka miliki meskipun mengalami berbagai keterbatasan fisik dan mental. Ia meyakini setiap anak yang lahir di dunia memiliki keistimewaanya masing-masing. Keistimewaan itu harus digali, ditumbuhkan dan dikembangkan.
“Tidak ada ciptaan Tuhan yang gagal. Ciptaan Tuhan pasti bermanfaat dan berguna buat diri dan orang-orang di sekitarmu,” ujarnya mengulangi nasihat yang kerap disampaikannya kepada anak-anak yang dilatihnya.
Sugi belajar bermain musik secara otodidak sejak bersekolah di SLB YPAC Solo. Awalnya dia belajar bermain gitar. Untuk mengatasi keterbatasan jari-jari tangan kanannya yang lumpuh akibat serangan polio, ia mengikatnya jadi satu dengan gelang karet setiap kali berlatih menggitar. Suatu kali ketika berlatih, ia mendapat pujian bahwa permainan gitarnya enak didengarkan.
Hal itu memotivasinya berlatih. Pujian kemudian datang lagi sehingga semakin rajinlah ia berlatih. Sugi lantas jatuh hati dengan keyboard. Ia belajar otodidak bermain keyboard pada tahun 1980-an ketika tinggal di sebuah rumah kos di Badran, Solo.
Pemilik kos saat itu memiliki sebuah keyboard namun tidak pernah dimainkan. Ia pun meminjamnya untuk berlatih. “Sekarang saya paling suka bermain keyboard,” katanya.
Sugi memanfaatkan kepiawaianya bermain keyboard untuk mencari penghasilan tambahan di luar jam mengajar. Tak jarang, ia diminta bermain organ tunggal untuk mengisi acara-acara pernikahan dan acara lainnya. “Saya jadi lebih dikenal sebagai Sugi si pemain organ tunggal, bukan Sugi yang pakai kursi roda,” tuturnya.
Tidak hanya melatih musik, ia bergerak aktif di bidang sosial dengan mendorong rekan-rekannya sesama penyandang disabilitas yang tergabung dalam komunitas Self Help Grup (SHG) Solo yang dipimpinnya, mandiri secara ekonomi. SHG yang pembentukannya diinisiasi oleh lembaga swadaya masyarakat, Pusat Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (PPRBM) Solo tahun 2010 itu, sekarang beranggotakan 17 penyandang disabilitas berusia dewasa. “Melalui SHG ini kami berusaha memberdayakan ekonomi anggota agar mandiri,” katanya.
“Tidak ada ciptaan Tuhan yang gagal. Ciptaan Tuhan pasti bermanfaat dan berguna buat diri dan orang-orang di sekitarmu,” ujarnya mengulangi nasihat yang kerap disampaikannya kepada anak-anak yang dilatihnya.
Untuk itu, diadakan kegiatan pelatihan kewirausahaan hingga simpan pinjam untuk anggota. Bekerja sama dengan PPRBM, pihaknya mengadakan pelatihan menjahit dan membuat kerajinan tangan. Anggota SHG Solo saat ini ada yang membuka usaha jasa menjahit, kuliner, dan membuat kerajinan. Setiap hari Minggu saat CFD di Solo, SHG membuka lapak untuk menjual berbagai produk buatan tangan anggotanya, di antaranya kuliner, kerajinan, dan pakaian. Mereka bersaing dengan PKL lain yang menawarkan dagangan di sepanjang Citywalk Solo.
Sebesar 10 persen hasil keuntungan penjualan dimasukkan ke kas organisasi. Dana yang terkumpul dimanfaatkan untuk membantu anggota SHG, di antaranya melalui kegiatan simpan-pinjam. Simpan-pinjam menggunakan konsep tanggung renteng kelompok. Setiap kelompok peminjam minimal terdiri dari tiga orang.
Jika ada anggota kelompok yang ternyata kesulitan membayar pinjaman maka harus ditanggung renteng oleh anggota kelompok. Dengan demikian, dana pinjaman tidak macet sehingga dapat terus berputar untuk membantu anggota yang lain. “Bagi saya difabel harus mandiri, produktif, dan kreatif. Tanpa itu, kita akan dipandang sebagai difabel yang biasa-biasa saja,” kata Sugi.
Sugian Noor
Lahir : Jakarta, 12 Juni 1968
Pendidikan :
1. SLB YPAC Solo
2. SMA Pancasila, Solo
3. S1 Fakultas Hukum, Universitas Islam Batik, Solo
Istri : Ratna Wijayanti (37)
Anak : Abiyasa Noor Dewangga (9), Nandya Noor Alqilla (7)