Motivasi Siti mendirikan Medali Mas tak lain untuk mempertahankan tenun ikat Kediri yang keberadaannya telah diketahui sejak lebih dari 100 tahun lalu itu
Oleh
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
·3 menit baca
Bunyi kayu-kayu yang beradu mengiringi gerak simultan 14 alat tenun bukan mesin. Di sanggar kerja tenun ikat Medali Mas, Kelurahan Bandarkidul, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Selasa (3/12/2019), itu, geliat dua pemintal dan satu penggulung benang tak kalah hiruk pikuk.
Di belakang, beberapa pegawai mewarnai benang. Hawa gerah lantaran atap seng dengan dinding bata yang kusam diselipi sarang laba-laba di antara pilarnya. Di sudut sanggar itu, mesin pintal modern malah teronggok diselimuti debu. Mesin tersebut tetap bisa digunakan sewaktu-waktu bila dibutuhkan.
Di sanggar milik Siti Ruqoyah itu, tenun ikat dihasilkan. Tenun tersebut merupakan wastra khas Kediri. Di bagian depan bangunan yang dijadikan ruang pamer, Siti terlihat sibuk melayani tamu-tamu di sela merapikan tenun ikat dan menerangkan harga.
Anak-anak muda menjadi penggerak di sentra industri tenun ikat tradisional di kampung tenun Kelurahan Bandarkidul, Kediri, Jawa Timur, Selasa (3/12/2019).
“Tenun ikat sutera dengan lebar 90 sentimeter (cm) dan panjang 2,5 meter, harganya Rp 500.000. Harga syal dengan panjang 2 meter dan lebar 55 cm, Rp 90.000,” ujarnya. Ia juga menjual sarung dengan lebar 1,15 meter dan panjang 1,3 meter seharga Rp 250.000.
Sementara, harga sepatu berbahan tenun ikat, Rp 110.000. Tenun ikat tentu jamak pula diolah menjadi pakaian. Motif-motif yang diaplikasikan pada tenun ikat seperti tirto tirjo, ceplok, salur, dan loong. Setiap Kamis, PNS Pemkot Kediri wajib mengenakan baju berbahan tenun ikat.
“Sudah dari tahun 1989 saya membuat tenun ikat. Saya hanya punya dua ATBM (alat tenun bukan mesin) waktu itu. Sekarang, ada 74 ATBM,” ujarnya sambil tersenyum. Siti berencana terus menambah ATBM. Hingga tahun 2021, Siti berencana meningkatkan jumlah ATBM setidaknya menjadi 94 unit.
Motivasi Siti mendirikan Medali Mas tak lain untuk mempertahankan tenun ikat Kediri yang keberadaannya telah diketahui sejak lebih dari 100 tahun lalu itu. Motif-motif tenun ikat yang pembuatannya cukup rumit, sulit dibuat dengan mesin. Kain itu dinamakan demikian karena menggunakan ikat.
Saat pencelupan, ikatan itu tak terkena warna sehingga terbentuk motif. Produksi tenun ikat didahului pembuatan lungsi atau keteng dengan pencelupan dan pemintalan. Benang digulung di kelos, dilanjutkan skeer atau menggulung benang di boom dan grayen atau menyambung benang.
Proses itu disusul pembuatan pakan dengan memintal, reek atau menata benang di bidangan, desain lewat pemberian motif, pengikatan, dan pencelupan. Setelah itu, dilakukan pemberian warna kombinasi atau colet, pelepasan tali atau oncek, mengurai benang, pemintalan di palet, dan diakhiri tenun.Siti mempekerjakan 138 pegawai. Bayaran pekerja berbeda-beda. Jika produktivitasnya baik, pekerja bisa mendapatkan Rp 1,8 juta per bulan atau tak jauh berbeda dengan upah minimum Kota Kediri tahun 2019. Bandarkidul dikenal sebagai kampung tenun di Kota Kediri.
Siti tak mengetahui kuantitas produksi tenun ikat namun kapasitas diyakini terus meningkat. Ia memberdayakan pula lima pekerja binaan di Lembaga Pemasyarakatan Kediri. “Saya juga bermitra dengan Pondok Pesantren Al Falah di Desa Ploso, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri,” ucapnya.