Marnim, Penggerak Ibu Rumah Tangga Berdaya Pangan
Marnim menggerakkan para ibu rumah tangga di Dusun Dasan Tengak, Lombok Utara ini, untuk mengolah sumber daya hutan menjadi penganan dan camilan. Tahun 2010, dia mendirikan koperasi yang bertahan sampai sekarang.
Marnim (46) bersama para ibu rumah tangga punya strategi mengatasi risiko krisis pangan bagi warga di kampungnya. Warga Dusun Dasan Tengak, Lombok Utara ini, mengolah pangan dan sumber daya hutan menjadi penganan dan camilan. Mereka bahkan menanam sayuran di pekarangan sebagai cadangan jika terjadi kebutuhan mendadak.
Berbagai penganan dan camilan yang diolah Marnim dan para ibu, tidak saja untuk memenuhi kebutuhan keluarga sendiri, tetapi lebih untuk dijual. Hasil jualan itu tentu menjadi penghasilan tambahan, yang sangat dibutuhkan keluarga.
Marnim mengajak para ibu untuk selalu mengolah hasil sawah dan kebun agar punya nilai tambah. "Kami tanam tomat, cabai, dan kelor di pekarangan, kalau terjadi gempa sudah ada cadangan makanan," kata Marnim, Sabtu (9/11/2019). Rumah Marnim di Desa Jenggala, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara diapit persawahan dan beberapa petak kolam ikan.
Pengalaman mengajarkan Marnim harus selalu bersiap-siap menghadapi bencana, yang datangnya tidak bisa diduga. Gempa pernah meluluhlantakkan kampung halamannya. Para ibu rumah tangga hampir selalu bersikap pasrah, kehilangan akal sehat, dan hanya mengharapkan bantuan orang lain untuk kebutuhan makan-minum. Dalam kondisi traumatis itu, Marnim hadir menggerakkan semangat ibu rumah tangga untuk mengatasi permasalahan pascagempa.
Pada tahun 2010, Marnim merintis membentuk Kelompok Usaha Perempuan (KUP) Meleko Bangkit. Kelompok itu beranggotakan para istri Kelompok Tani Hutan sebanyak 28 orang. Jenis usaha yang dipilih adalah produk keripik pisang dan kopi bubuk robusta yang kini menjadi usaha andalan warga. Saat itu warga mengumpulkan satu kilogram kopi per orang untuk modal awal usahanya.
Usaha keripik pisang dipilih karena bahan bakunya (pisang) selalu tersedia bahkan menjadi sumber penghasilan tiap hari, meski nilai jualnya relatif murah. Begitu pun kopi yang ditanam secara tumpangsari di kebun yang berdekatan dengan kampung mereka. Warga harus menjual biji kopi ke pengepul yang memberinya modal seharga Rp 18.000 per kilogram, atau di bawah harga pasaran yang berlaku Rp 20.000 per kilogram saat itu.
Dengan dasar itu Marnim minta kepada anggota tidak menjual biji kopi dan pisang ke pengepul, melainkan dijadikan makanan olahan untuk mendapatkan harga lebih kompetitif. Untuk mengolah produk itu Marnim dibantu sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memberikan pelatihan teknis kepada para anggota. Pembuatan keripik pisang diserahkan sepenuhnya kepada anggota, namun untuk sangrai green been (biji kopi mentah) di bawah pengawasan Marnim, yang sekaligus menularkan kemampuannya menyangrai kopi kepada para anggotanya.
“Kalau anggota lagi sangrai saya harus dampingi, biar biji kopinya tidak gosong tetapi sesuai tingkat kematangan yang diinginkan,” tuturnya.
Biji kopi yang sudah disangrai itu digiling dengan mesin, dikemas dan dijual seharga Rp 15.000 per 150 gram. Untuk memasarkan produk keripik pisang dan kopi (kini meliputi varian kopi murni, kopi jahe dan kopi beras), Marnim berkeliling menitipkan produknya ke kios-kios terdekat atau ke Kota Tanjung, Ibu Kota Kabupaten Lombok Utara.
Koperasi wanita
Hasil penjualan produk dimasukkan ke kas KUP yang kemudian berubah menjadi Koperasi Wanita pada tahun 2015. Upah jasa sangrai –sekali sangrai 3 kg kopi- sebesar Rp 8.000 juga disimpan sebagai tabungan, yang diambil saat Rapat Anggota Tahunan dan pembagian Sisa Hasil Usaha. Uang anggota di koperasi juga dialokasikan untuk Tunjangan Hari Raya Idul Fitri setiap tahun.
Selain kopi dengan beragam varian yang produksinya rata-rata 50 kilogram sebulan, Marnim juga mengkoordinasi perajin bambu yang memproduksi aneka tas, dompet, vas buga dan wadah rempah-rempah. Pemesan umumnya dari Denpasar, Bali, yang sekali order sebanyak 1.000 item beragam produk kerajinan yang desainnya dibawa pemesan.
Dengan penghasilan dari beragam jenis usaha, ketika gempa berskala 6,9 SR, Minggu 5 Agustus 2018, melanda KLU, anggota koperasi khususnya dan aktivitas perekonomian desa lebih cepat pulih. Malah ketika warga belum pulih dari trauma, justru Marnim kewalahan memenuhi permintaan kopi karena persediaan barang sedikit. Saat itu, banyak anggota koperasi yang menjadi korban bencana. Selain itu, alat produksi dan tempat kerja (tungku untuk sangrai kopi) rusak berantakan dihantam gempa.
Peran Marnim yang memberdayakan para perempuan mendapat penghargaan dari The Oxford Committee for Famine Relief/Oxfam Indonesia, bersama enam perempuan lain sebagai Perempuan Pejuang Pangan, tahun lalu, di Mataram.
Prestasi itu diraih setelah Marnim melakoni perjalanan panjang. Marnim harus mengubah perilaku ibu rumah tangga, yang awam berorganinasi dan enggan berbicara mengutarakan pendapat.
“Diajak sangkep (pertemuan), mereka bilang ape te mau’ milu sangkep (dapat apa ikut sangkep,” atau “ah bikin koperasi hangat-hangat tai ayam (tidak bertahan lama),” Marnim mengutip respons ibu rumah tangga, ketika diundang hadir untuk membentuk KUP.
Padahal, untuk mengumpulkan ibu rumah tangga itu Marnim keliling dari pintu ke pintu mengingatkan agar hadir saat acara pertemuan. Dari puluhan ibu rumah tangga yang hadir saat sangkep itu, hanya 28 orang yang memiliki komitmen sampai sekarang.
Sinisme dan apatisme warga itu dimaklumi oleh Marnim. Ibarat pepatah berbahasa Sasak, “mara’ pelisa’ bawon batu, lamun ndek man gita’ ndek man nyadu (seperti anak kutu di atas batu, kalau belum lihat hasilnya belum percaya). Oleh sebab itu, saya ingin menunjukkan hasil dari upaya saya,” ujarnya.
Karena ingin melihat kaumnya berdaya secara ekonomi, Marnim berani tekor uang bensin untuk menjual produk usaha. “Selaku ketua koperasi, mestinya saya dapat honor, tetapi saya tidak mau. SHU dan THR yang saya dapatkan, sama dengan yang didapat anggota lainnya," kata Marnim.
Marnim akhirnya menjawab sinisme itu, terindikasi dari jumlah KUP yang kini 33 orang, bahkan untuk sementara tidak menerima anggota baru. Kemudian, para istri tidak terlalu bergantung pada pemberian uang dari suami untuk membeli kebutuhan harian.
Para istri –seperti gempa tahun 2018- bisa mengirit pengeluaran rumah tangga seperti membeli bahan sayuran tomat, cabai dan sayuran lainnya karena tinggal memetik di pekarangan mereka. Kemudian untuk bayar sekolah dan seragam anak-anaknya, anggota meminjam di koperasi atau menyisihkan jatah dari SHU koperasi yang kini memiliki asset Rp 200 juta. Kini pun produk kopi koperasi memiliki pelanggan tetap yaitu pedagang oleh-oleh di Mataram dan tiga intansi di KLU.
Upayanya yang membuahkan hasil nyata itu, membuat Marnim merasa puas karena mampu membalikkan sinisme dan apatisme ibu rumah tangga, yang kini secara nyata menunjukkan upaya untuk mandiri secara ekonomi dengan memaksimal sumber daya pertanian khsusunya pangan dan hasil hutan di desanya.
“Sekarang kalau diajak sangkep, ibu rumah tangga pasti tanda tangan daftar hadir. Dulu jangankan tanda tangan daftar hadir, datang pun belum tentu,” ujar Marnim tentang perubahan perilaku kalangan ibu rumah tangga di desanya.
Marnim
Lahir: 31 Desember 1973, Dusun Todo, Desa Bentek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara.
Jabatan: Ketua Koperasi Wanita Meleko Bangkit
Suami: Raden Madri (48)
Anak:
- Bay Yaratama, Mahasiswa Prodi Pariwisata Universitas Merdeka, Malang, Jatim
- Nia Karunia, Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya Malang, Jatim
Pendidikan:
- SDN 1 Todo tamat 1986
- SMPN 1 Gangga, KLU, tamat 1989
- SMEA Negeri 1 Mataram, tamat 1991