Di Panggung Dunia, Monica Berdendang Lagu Berbahasa Haruku yang Terancam Punah
Monica Akihari dan suaminya, Niels Brouwer, sejak 1997 menciptakan dan mendendangkan lagu-lagu berbahasa Haruku, Maluku di panggung musik dunia. Padahal di Maluku, bahasa itu terancam punah.
Oleh
Frans Pati Herin
·4 menit baca
Ketika banyak orang Maluku minder menggunakan bahasa ibu, Monica Akihari, sang "mevrouw" (nyonya) Belanda, percaya diri memanggungkan bahasa Haruku yang terancam punah di panggung musik dunia. Ia bersama suaminya telah membuat 50 lagu berbahasa Haruku dan mendendangkannya di banyak negara.
Hampir semua penonton tak mengerti bahasa dalam lirik lagu yang dilantunkan Monica, penyanyi grup Boi Akih asal Amsterdam, Belanda ketika ia tampil dalam ferstival bertajuk "From and to Infinity" di Desa Tuni, Kota Ambon, Maluku, Minggu (10/11/2019) malam. Meski begitu, kata-katanya tidak sulit diucapkan, seperti akrab dengan lidah kaum Melanesia, sebutan bagi ras di timur Indonesia.
"Bahasa apa itu?" celetuk seorang dari barisan penonton. Penonton lain saling bertanya dan tak satu pun mendapat jawaban pasti. Hingga berakhir nyanyian yang diiringi petikan gitar komposer Niels Brouwer itu, tak satu pun penonton yang bisa menangkap isi lagu. Mereka penasaran. Saat itulah, Monica memberikan jawaban. Ia mengatakan, bahasa yang digunakan dalam lirik lagu itu adalah bahasa Haruku dialek Aboru. Aboru merupakan salah satu desa di Pulau Haruku.
Monica menyebutnya bahasa tanah. Sebagian kosa kata yang digunakan Monica sudah hilang dari percakapan warga setempat. Maklum, banyak warga di Maluku kini lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa melayu dialek Ambon. Mereka berangsur lupa pada bahasa ibu mereka.
Monica yang fasih berbicara dalam bahasa Belanda, melayu dialek Ambon, Inggris, dan Jerman itu, mempelajari bahasa Haruku secara otodidak lewat kamus yang disusun Margaret Florey pada 2003 dan kumpulan puisi ditulis Van Hoevell pada September 1876.
Dua buku itu kerap dia bawa ke mana-mana. Di setiap waktu senggang, ia menulis lagu dengan lirik yang diambil dari kata-kata itu. Jika kesulitan, ia bertanya kepada keluarganya di Belanda maupun di Maluku.
Monica sendiri adalah warga Belanda keturunan Haruku. Kakeknya, mantan tentara Belanda yang memilih pindah ke Belanda. Ia generasi kedua. Kecintaannya akan Maluku memanggilnya datang ke Ambon. "Akar budaya katong (kami) ada di sini. Katong seng (tidak) bisa lupa," ucapnya.
Sejak membentuk Boi Akih bersama Niels Brouwer, yang tak lain adalah suaminya, keduanya sudah menciptakan lebih dari 50 lagu dalam bahasa Haruku. Monica membuat lirik dan Niel membuat komposisinya. Mereka menciptakan genre sendiri hasil improvisasi Niel yang merupakan lulusan musik jaz pada Conservatium van Amsterdam, Belanda, tahun 1992.
Sejak 1997, lagu-lagu itu dinyanyikan dalam konser internasional di puluhan negara di semua benua. "Kami ke Brasil, Kanada, Mesir, India, Cina, Korea, dan negara-negara Eropa. Ada orang mengira itu bahasa dari benua Afrika. Mereka meminta saya menulis lirik lagu itu dan menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris," katanya.
Perjumpaan budaya
Monica memiliki satu misi, yakni memperkenalkan bahasa lokal Maluku kepada dunia. Ia berharap agar generasi muda melestarikan bahasa lokal masing-masing karena bahasa menunjukkan indentitas.
Budayawan Maluku Josep Matheus Rudolf Fofid yang akrab disapa Opa Rudi mengagumi sepak terjang Monica dalam mempopulerkan bahasa daerah. Baginya, Monica adalah mahkluk langka dalam hal kecintaan terhadap bahasa daerah. Sejak ia berjumpa dengan Monica pertama kali tahun 2005 di Belanda hingga kini, mereka terus berkomunikasi tentang musik, puisi, dan bahasa daerah.
"Monica terus gunakan bahasa daerah meskipun lahir dan besar di Belanda. Monica berada di tengah perjumpaan aneka budaya di Eropa, kalau dia ikut arus global, tentu tidak unik," ujar Rudi.
Namun, justru dengan menggali lebih dalam ke akar budaya sendiri yaitu bahasa Haruku dengan rima yang khas, bunyi lirik dalam lagunya lebih sensasional. Bahasa daerah menjadi kekuatan. Ia bisa membuat penonton terbakar.
Rudi melihat, Monica sedang berjuang membawa akar budaya kampung ke permukaan industri musik dunia. Monica berhasil melakukan tanpa ragu dan sangat percaya diri. Mirisnya, banyak masyarakat lokal minder menggunakan bahasa daerah mereka sendiri. Mereka menganggap bahasa ibu adalah bahasa kelas dua yang tidak penting untuk dipelajari.
Data yang dihimpun dari Kantor Bahasa Maluku menyebutkan, sebanyak 61 bahasa daerah di Maluku telah berhasil diidentifikasi. Yang mengagetkan, lebih kurang 70 persen bahasa daerah mengalami kemunduran, terancam punah dan bahkan ada yang dinyatakan sudah punah. Bahasa daerah yang digunakan warga yang berada dekat Kota Ambon, termasuk Pulau Haruku, paling terancam. Banyak desa di Pulau Ambon dan Pulau Haruku tak lagi menggunakan bahasa daerah.
Cerita tentang Monica yang seketika ramai di media sosial memancing perhatian Ernianti, peneliti bahasa daerah di Maluku. Belasan tahun meneliti bahasa daerah, baru kali ini Enianti menemukan sosok yang memanggungkan bahasa daerah melalui lagu di kancah internasional. Menurut hasil penelitian, bahasa yang digunakan Monica berakar dari bahasa Hitu di Pulau Ambon. Turunannya adalah bahasa di Kepulauan Lease yang terdiri atas Pulau Haruku, Saparua, dan Nusalaut.
Lebih dari semua itu, Monica, sang "mevrouw" Belanda itu memberi tamparan keras buat orang-orang lokal yang meninggalkan bahasa daerah agar dianggap modern. Monica yang lahir dan tumbuh dalam kultur moderen mencari indentitas dirinya lewat bahasa. Monica, Ale matele (Anda mantap)!