Oscar Motuloh Pemberi Warna Baru Fotografi Jurnalistik
Mengawali karier sebagai reporter, Oscar Motuloh (60) justru ”tersesat” ke belantara fotografi jurnalistik. Dari seorang fotografer biasa, ia berproses hingga menjadi tokoh penting fotografi di Indonesia.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
Mengawali karier sebagai reporter, Oscar Motuloh (60) justru ”tersesat” ke belantara fotografi jurnalistik. Dari seorang fotografer biasa, ia berproses hingga menjadi tokoh penting fotografi di Indonesia. Oscar tidak hanya telah menghasilkan karya foto yang luar biasa, tetapi juga berjasa besar mengembangkan model pendidikan untuk menempa para pewarta foto muda.
Suatu sore di tahun 1988, saat sedang nongkrong bersama sejumlah temannya, Oscar membaca iklan lowongan pekerjaan yang dimuat di harian Kompas. Iklan itu menyebut, sebuah lembaga pers nasional membutuhkan tenaga penyunting dan pewarta. Dalam iklan tersebut hanya tercantum alamat kotak pos untuk alamat pengiriman lamaran. Nama lembaga yang membuka lowongan justru tak tercantum.
Belakangan, Oscar tahu bahwa perusahaan yang membuka lowongan itu adalah Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara. Ia lalu melamar dan akhirnya diterima sebagai reporter.
”Tahun 1988 gue mulai ikut pendidikan di Antara, hampir setahun itu pendidikannya,” kata Oscar saat ditemui Kompas, Selasa (17/9/2019), di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Mulai tahun 1989, Oscar resmi menjadi reporter di Antara. Seperti lazimnya wartawan baru, ia ditugaskan meliput berbagai macam peristiwa dan tema, dari kasus kriminalitas, kenaikan harga cabai, hingga acara kesenian.
Akan tetapi, pada akhir tahun 1989, Oscar tiba-tiba dimutasi ke bagian fotografi. Dari seorang reporter yang bertugas menulis berita, Oscar ditugaskan menjadi fotografer yang mesti memotret berbagai peristiwa. Alasannya, semua pewarta foto yang dimiliki Antara saat itu telah memasuki masa pensiun, sementara proses regenerasi fotografer tak berjalan.
Dia tak tahu secara pasti kenapa dirinya yang dipilih untuk dipindahkan menjadi pewarta foto. ”Mungkin mereka main comot aja, atau lihat gue gondrong, lalu dipindah jadi fotografer. Padahal, waktu itu gue enggak punya basic (dasar) fotografi,” ujarnya.
Saat pertama kali mendengar penugasan itu, Oscar merasa dirinya ”dibuang”. Sebab, waktu itu, di dunia jurnalistik ada kesan bahwa fotografer merupakan ”wartawan kelas dua” di bawah reporter. Oleh karena itu, Oscar pun memprotes pemimpinnya untuk menolak pemindahan tersebut.
Namun, pemimpin Antara waktu itu tetap menugasi Oscar menjadi fotografer. Sejak awal tahun 1990, Oscar pun aktif sebagai pewarta foto dan banyak bergaul dengan fotografer dari media lain.
Begitu turun ke lapangan, Oscar membawa warna baru di bagian fotografi Antara. Menurut Oscar, pada tahun-tahun itu, foto-foto yang dihasilkan Antara lebih banyak berisi acara seremonial atau acara-acara resmi. Namun, saat mulai aktif di lapangan, Oscar banyak memotret acara kesenian dan olahraga sehingga foto-foto yang diproduksi Antara menjadi lebih berwarna.
Pendidikan
Terjun ke dunia jurnalistik sebenarnya tak pernah ada di bayangan Oscar saat kecil. Apalagi, Oscar memiliki latar belakang pendidikan Hubungan Internasional sehingga ia pernah mendaftar menjadi diplomat. Namun, takdir membawanya ke arah lain.
Sebagai fotografer, Oscar bukan hanya bertugas di lapangan. Di Antara, ia juga kemudian diberi tugas menyusun kurikulum pendidikan untuk fotografer pemula yang diberi nama Kursus Dasar Pewarta Foto (Susdafo). Kurikulum pendidikan yang disusun Oscar sangat khas karena para fotografer muda tidak hanya diajak belajar teknik fotografi, tetapi juga mempelajari teknik reportase dan menulis berita seperti halnya wartawan tulis.
”Waktu perekrutan, mereka (pewarta foto) harus ikut belajar bareng reporter tulis dulu. Jadi, mereka jadi wartawan dulu, ikut nulis berita dan sebagainya. Baru setelah itu belajar fotografi,” ujar Oscar.
Model pendidikan semacam itu perlu agar seorang pewarta foto memiliki bekal jurnalistik yang memadai sehingga mereka mampu menghasilkan fotografi jurnalistik yang khas.
Selain itu, Oscar juga mendirikan Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) yang aktif menggelar pameran, pelatihan, dan berbagai acara terkait fotografi jurnalistik. GFJA kemudian menjadi salah satu institusi yang paling berpengaruh dalam perkembangan fotografi jurnalistik di Indonesia.
Saat ini, Oscar merupakan kurator dan penanggung jawab GFJA sehingga ia banyak mengurasi dan menulis tentang pameran foto yang digelar di sana. Oscar juga pernah menjadi Direktur Antara Foto yang merupakan bagian dari LKBN Antara.
Sebagai fotografer, Oscar mengaku kerap bekerja dengan dua pendekatan yang berbeda. Di satu sisi, sebagai pewarta foto, ia bekerja dengan pendekatan jurnalistik sehingga foto-fotonya tentu mengandung informasi yang jelas dan tegas dari suatu peristiwa. Di sisi lain, ia juga kerap memotret dengan pendekatan yang lebih personal. Dalam karya-karyanya yang lebih personal, Oscar lebih banyak menggunakan metafora atau simbol untuk menyampaikan pesan.
Karya-karya fotografi Oscar yang lebih personal antara lain tampak dalam sejumlah pameran tunggalnya, semisal ”Voice of Angkor” (1995), ”Art of Dying” (1997), dan ”Soulscape Road” (2007). Dalam tiga pameran itu, Oscar mengeksplorasi tema kematian melalui beragam simbol sehingga karya fotonya menjadi lebih reflektif.
Pada 18 September lalu, Oscar dianugerahi gelar Empu Ageng Bidang Fotografi Jurnalistik oleh Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Empu Ageng merupakan gelar kehormatan yang diberikan ISI Yogyakarta untuk para maestro yang memiliki kompetensi tinggi di bidang seni. Gelar tersebut memiliki kedudukan yang setara dengan gelar doktor honoris causa.
Gelar Empu Ageng diberikan karena Oscar telah menghasilkan karya-karya yang luar biasa sekaligus memberikan jasa besar dalam pengembangan fotografi jurnalistik di Indonesia. Menurut Rektor ISI Yogyakarta Agus Burhan, salah satu capaian Oscar adalah keberhasilannya memadukan gaya fotografi ala Inggris Raya (dipresentasikan oleh Reuters) dengan gaya fotografi Eropa daratan (AFP asal Perancis).
”Dari sintesis dua karakter gaya itulah muncul gaya Oscar Motuloh dalam karya-karya fotografi jurnalistik yang estetis dengan menggunakan simbol-simbol dan pesan yang kuat di dalamnya,” ujar Agus.
Oscar Motuloh
Lahir: Surabaya, 17 Agustus 1959
Jabatan: Penanggung Jawab dan Kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara
Penghargaan:
- Empu Ageng Fotografi Jurnalistik dari ISI Yogyakarta (2019)
- Lifetime Achievement Anugerah Pewarta Foto Indonesia dari organisasi Pewarta Foto Indonesia (2018)
- Pelopor Fotografi Jurnalistik dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2015)
- 30 Most Influential Photographers in Asia dari Invisible Photographer Asia (2014)