Jane Callista Merajut Prestasi Dunia Sejak Kecil
Suara Jane Callista (11) mantap dan lantang saat bernyanyi. Tak jarang, ia menyelipkan cengkok bernada centil sambil menari lincah. Bahasa tubuhnya meniadakan gestur kaku. Baginya, panggung tak ubahnya sebuah taman bermain.
Nama Jane dikenal luas setelah menjadi finalis The Voice Kids Indonesia 2016. Dengan figur mungil dan suara besar, Jane memukau tiga orang juri kala itu: Tulus, Agnez Mo, dan Bebi Romeo. Perjalanannya di kompetisi tersebut berlanjut hingga babak pertunjukan langsung (live show).
Pada Juni 2019, Jane memenangkan kompetisi menyanyi se-Asia di Singapura. Melalui lomba bertajuk Asia Dreamerz!, Jane membawa nama Indonesia sebagai juara pertama. Juara kedua dan ketiga disandang oleh penyanyi cilik dari Filipina serta Malaysia.
Ada dua lagu yang dibawakan Jane saat itu. Lagu pertama ialah folk song berbahasa Inggris yang berasal dari Eropa. Lagu kedua berjudul "Burung Camar" yang dipopulerkan oleh penyanyi Vina Panduwinata. Menurut Jane, "Burung Camar" merupakan lagu yang paling menantang. Sebab, ia memadukan unsur klasik, jazz, dan blues dalam lagu hasil aransemen Willy Aviantara tersebut.
“Pilihan lagu ini hasil diskusi sama mama, papa, kakak, dan mentor aku. Lagunya diaransemen sesuai warna dan karakter suaraku,” kata Jane saat ditemui di Jakarta, Kamis (20/6/2019). Atas prestasinya, ia akan kembali berkompetisi di Spanyol pada November 2019.
Ia pernah meraih Grand Champion Vocalist di ajang Asia Pacific Arts Festival 2018 yang berlangsung di Kamboja. Jane pun pernah menjadi salah satu cast atau pemeran utama pada teater bertajuk The Sound of Music oleh London West End di Singapura pada 2017.
Sebelumnya, siswi yang baru naik kelas enam SD ini telah mengikuti puluhan kompetisi menyanyi, baik skala kecil, maupun besar. Kompetisi pertamanya berskala nasional dan disiarkan di televisi. Kala itu, usianya masih enam tahun.
“Waktu itu miss (guru les) piano nyuruh aku nyanyi sambil direkam. Eh, ternyata videonya buat didaftarin lomba. Terus ternyata aku lolos dan dipanggil buat audisi, deh,” kata Jane.
Jane masih sangat muda saat menjejak di panggung besar untuk pertama kalinya. Namun, kompetisi tak membuatnya gentar. Sebab, ia belum paham benar apa arti kompetisi saat itu. Pikirannya sederhana, nyanyi saja sebagus mungkin. Itu saja prinsip yang ia imani.
Prinsip tersebut polos tanpa pretensi. Soal kalah dan menang tidak ia pikirkan. Hasilnya berimbas pada lantunan nada yang terasa bebas tak berbeban. Mendengarnya bernyanyi seperti membangkitkan kenangan masa kecil saat Tasya, Joshua, dan Trio Kwek-Kwek tengah berjaya. Energi kanak-kanak yang dibawa Jane sarat akan kelakar, tarian, dan senyum.
Saat bernyanyi di lomba pertamanya, Jane diberi tahu bahwa para juri adalah orang terkenal. Informasi itu membakar semangat Jane. Dalam pikiran kanak-kanaknya, orang terkenal yang dimaksud antara lain Taylor Swift dan Selena Gomez, para penyanyi terkenal dari Amerika Serikat. Nama dan wajah mereka sudah berulang kali hilir mudik di majalah, berita daring, hingga tangga lagu internasional.
“Ternyata bukan mereka. Aku jadi tahu kalau orang terkenal itu ada banyak jenisnya. Ada yang terkenal banget di seluruh dunia kayak Taylor Swift, ada yang terkenal di bidang tertentu, ada juga yang terkenalnya di Indonesia,” kata Jane.
Jalan panjang
Kemampuan menyanyi anak bungsu dari dua bersaudara ini diperoleh dari proses yang panjang. Ini dimulai dari hobinya bernyanyi sejak bisa berbicara. Usianya tiga tahun kala itu. Hobi itu muncul karena pertunjukan musikal Disney yang sering Jane tonton bersama Ibu dan kakaknya.
“Jane yang waktu itu usianya masih dua tahun betah duduk diam sampai tontonannya habis. Dia suka sekali Aladdin, The Little Mermaid, Cinderella, Mary Poppins, juga The Sound of Music,” kata Fanny Kurnia (40), ibu Jane.
Sejak Jane terdeteksi bisa bernyanyi oleh guru les piano, orangtua Jane memasukkan anaknya untuk ikut les menyanyi. Ia tekun mengikuti kelas bernyanyi sejak belia. Namun, karena kesibukannya sekarang, Jane harus rela memadatkan jam lesnya. Bila biasanya murid les belajar bernyanyi selama 30 menit, Jane bisa belajar selama dua jam dalam sekali pertemuan. Di luar itu, Jane kerap melatih dirinya sendiri di depan cermin.
“Aku tulis apa saja kekuranganku di handphone. Misalnya, ada beberapa penggalan lirik yang harus diatur napasnya. Aku liatin terus (catatannya) biar hapal. Jadi, pas nyanyi, aku ingat harus atur napasnya,” kata Jane.
Walaupun bersinar sebagai penyanyi, sebagai seorang siswa, Jane juga harus mengutamakan pendidikan. Ia mengaku masih kesulitan beradaptasi dengan waktunya yang padat. Terkadang, ia mengorbankan waktu sekolah untuk shooting acara televisi. Ketertinggalan materi pelajaran ia kejar dengan jam tambahan.
Di hari-hari lain, ia juga harus berkutat dengan sejumlah jadwal les menari, seperti tari balet dan jazz. Walaupun terhimpit oleh padatnya kegiatan, Jane berkomitmen menjalani kewajibannya. Tak jarang ia mengorbankan waktu bermain. Baginya, bermain cukuplah dengan membaca komik dan bermain gim di gawai.
“Aku pernah merasa jenuh dan capek. Kegiatannya sama terus dan aku enggak ada teman main. Tapi, aku, kan, punya tanggung jawab. Masa ditinggalkan begitu saja karena jenuh,” katanya.
Kenang-kenangan
Kini, Jane punya album berisi delapan lagu. Dari semuanya, ia menulis sendiri empat lagu. Ia mengaku tidak kesulitan menulis sebuah lagu terlepas usianya yang masih belia. Ia cukup menuangkan keseharian dan pemikirannya dalam lagu.
Album bertajuk This Is Jane tidak dibuat untuk bersaing di pasar. Jane membuat album ini sebagai kenang-kenangan untuk dirinya di masa depan. Ia ingin mengingat semangat berkarya yang ia miliki saat kanak-kanak. "Aku mau buktiin bahwa aku bisa bekerja sama kerasnya dengan orang gede," katanya.
Salah satu lagu berjudul "Special" ia tulis untuk merefleksikan diri. Kehidupannya cukup berbeda dengan teman-teman sebaya yang bebas bermain. Di usia muda, Jane terikat dengan beragam tanggung jawab demi mengembangkan talenta. Beragam kompetisi juga ia jalani untuk menempa diri.
Puluhan kompetisi yang ia jalani pun sedikit banyak membentuk pribadi Jane. Proses panjang dari berlatih hingga tampil di panggung diilhami sebagai perjalanan menjadi dewasa. Ia belajar soal disiplin, ketekunan, kerja keras, kesabaran, dan sportifitas.
“Saat berlomba, kadang tidak harus menang, tapi untuk cari pengalaman dan belajar. Kalau terlalu mikir soal menang, jadinya gak belajar dan malah sirik. Kalau begitu, yang ada hanya melihat semua orang sebagai musuh,” kata Jane.