Sri Wahyuni, Panggilan Jiwa Wartawan Jawa
Bekerja tak sekadar mencari uang melainkan panggilan jiwa. Prinsip itulah yang dipegang Sri Wahyuni alias Yunani alias Nuniek Wulandari. Dedikasi dan semangatnya dalam menjalani profesi sebagai wartawan sekaligus sastrawan Jawa tetap menyala, meski usianya kini tak lagi muda, 73 tahun.
Waktu hampir mendekati azan dzuhur saat kaki menginjak ruang redaksi majalah berbahasa Jawa, Jaya Baya, Rabu (23/1/2019). Di salah satu sudut ruang, duduk seorang perempuan dengan posisi hampir menempel pada meja. Tangannya menari di atas deretan huruf-huruf, sementara sorot matanya yang tajam enggan beranjak dari layar komputer.
Dialah Sri Wahyuni, pembantu khusus pada Redaksi Majalah Jaya Baya yang berbasis di Jawa Timur. Siang itu, enam awak redaksi termasuk Sri Wahyuni tengah berjibaku menyelesaikan materi tulisan untuk majalah edisi minggu ke III Januari 2019. Jaya Baya sendiri berdiri sejak 1 Desember 1945 atau tiga bulan setelah kemerdekaan Republik Indonesia.
“Rabu merupakan deadline terakhir untuk seluruh materi tulisan yang akan naik cetak,” ujar Sri Wahyuni di sela aktivitasnya mengedit materi tulisan cerita pendek (cerita cekak) dan cerita bersambung.
Sri Wahyuni memang bukan pembantu biasa. Perempuan kelahiran Tuban itu telah bekerja sebagai wartawan dan staf redaksi sejak 1980 atau selama 39 tahun. Perusahaan tempatnya bekerja bahkan sudah lama memensiunkannya secara resmi karena usia, sesuai ketentuan perundangan.
Namun, alih-alih beristirahat di rumah, Sri Wahyuni justru kembali bekerja di majalah Jaya Baya. Hatinya senang bukan kepalang saat perusahaan bersedia menerimanya kembali. Baginya, tiada yang lebih membahagiakan selain keluarganya dan kembali menekuni pekerjaan sebagai wartawan.
Bukan pula soal uang karena anak-anaknya jauh lebih mampu memenuhi kebutuhan secara material. Apalagi sudah menjadi rahasia umum apabila kesejahteraan wartawan belum bisa diandalkan dan kerap tak setara dengan beban pekerjaan maupun resiko yang harus dihadapi.
Produktif
Sebelum menjadi wartawan, Sri Wahyuni telah malang melintang di dunia sastra Jawa. Tepatnya sejak 1970 atau 10 tahun sebelum resmi bergabung dengan majalah Jaya Baya, dia telah menulis cerita pendek berbahasa Jawa (cerita cekak), geguritan (puisi Jawa), hingga novel berupa cerita bersambung.
Tulisan-tulisan itu dikirim ke majalah Jaya Baya, majalah Panjebar Semangat, dan mingguan Parikesit. Modal sebagai kontributor tulisan di sejumlah media berbahasa Jawa itulah yang membuatnya diterima menjadi wartawan. Sri Wahyuni pun meningkatkan pengetahuannya dari penulis sastra menjadi jurnalis yang mengejar fakta.
Pengayaan pengetahuan menulis sastra dilakukan setelah menjadi wartawan karena sering jalan ke banyak tempat, bertemu atau mewawancarai banyak orang yang memiliki beragam pengetahuan dan cerita menarik dalam keseharian kehidupannya
Novel pertama Sri Wahyuni berjudul Rumpile Ati Wanita (Retaknya Hati Wanita) diterbitkan pada 1977. Bekalnya menulis kala itu hanya pendidikan SMA jurusan sastra ditambah didikan orangtuanya tentang budaya Jawa. Adapun inspirasi ceritanya berasal dari kejadian yang ditemui sehari-hari bahkan kerap karena ketidaksengajaan, misalnya saat dia naik angkutan umum.
“Pengayaan pengetahuan menulis sastra dilakukan setelah menjadi wartawan karena sering jalan ke banyak tempat, bertemu atau mewawancarai banyak orang yang memiliki beragam pengetahuan dan cerita menarik dalam keseharian kehidupannya,” kata Sri Wahyuni.
Hingga 1986, sebanyak 13 novel berupa cerita bersambung telah dilahirkan antara lain Ayu Sri Rahayu (1980), Mega Klawu Ing Wulan Temanten (1981), Dokter Wulandari (1983), hingga Rengat-Rengat Ing Kaca Bening (1986). Karya novelnya terus bertambah menjadi 17 novel pada 1993.
Selain itu, perempuan yang di dunia sastra Jawa lebih dikenal dengan nama Yunani ini melahirkan ratusan cerita cekak, puluhan puisi Jawa (geguritan), beberapa cerita pendek (berbahasa Indonesia), dan sebuah novel berbahasa Indonesia Menggapai Cinta Yang Tertinggal.
Karena karya-karyanya yang mengalir deras seolah sulit dibendung, Sri dianggap pengarang tulisan-tulisan berbahasa Jawa paling produktif pada masa itu. Semua karyanya lahir di tengah kesibukan bekerja sebagai wartawati dan ibu dari tiga anak hasil pernikahannya dengan Ismail.
Pekerjaannya sebagai staf redaksi di majalah Jaya Baya sering mengharuskannya membikin sendiri cerita bersambung bagi majalahnya, cerita cekak, geguritan, dan karya sastra Jawa lainnya karena semakin sulitnya mencari penulis dalam bahasa Jawa. Di tengah derasnya gempuran budaya modern, tantangan menemukan penulis dalam bahasa Jawa itu semakin berat dan dinamis.
Bagi Sri, karya sastranya tak sekadar karangan yang bertujuan menghibur pembaca melainkan sarana untuk menyampaikan nilai-nilai budaya dan pada akhirnya diharapkan memberikan sumbangsih dalam mencerdaskan bangsa. Setidaknya karya dia telah memperkaya koleksi sastra Jawa dan menjadikan sastra etnis ini tetap eksis di Bumi Pertiwi.
Kesetaraan perempuan
Melihat karya Sri Wahyuni yang banyak mengangkat cerita tentang perempuan, penulis ingin menyuarakan soal feminisme. Dia ingin mengajak perempuan lebih berdaya dan berani memperjuangkan status mereka agar mendapat tempat yang layak di berbagai bidang seperti hukum, perkawinan, adat, dan sosial. Hak-hak dan perlindungan terhadap perempuan harus diperjuangkan oleh perempuan itu sendiri.
Dunia sastra dan dunia wartawan menurut Sri Wahyuni sama-sama memiliki tujuan mencerdaskan dan mencerahkan masyarakat lewat karya-karya yang diproduksi. Bedanya, wartawan menghasilkan karya jurnalistik yang berbasis pada fakta dan data yang terverifikasi oleh nara sumber, bukan karangan semata.
Sebelum menjadi wartawati, perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga meski hanya dua semester itu, pernah bekerja sebagai guru SMP swasta di Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Dia juga sempat bekerja pada perusahaan swasta di Kota Surabaya.
Menurutnya, pekerjaan sebagai sastrawan dan wartawan sama mulianya dengan pekerjaan seorang guru, dengan catatan dilakukan sesuai kode etik keprofesian. Namun godaan berupa pemberian fasilitas oleh nara sumber kerap membuat wartawan menjauhi etika profesinya, meski hal itu tidak berlaku untuk semua.
Perempuan yang juga pernah menjadi staf redaksi majalah pariwisata Panorama East Java, Mimbar Jawa Timur, dan majalah Pembangunan Tingkat I Jawa Timur ini percaya masih banyak wartawan yang memiliki idealisme tinggi dan mendedikasikan hidupnya pada pekerjaan karena panggilan jiwanya.
Sri Wahyuni
Lahir: 2 Febuari 1946
Suami: Ismail (almarhum)
Anak: Ifan Isyunandi (51), Riring Isyunandi (55), Andri Isyunanto (56)
Pendidikan:
- Sekolah Rakyat tahun 1958
- SMP tahun 1961
- SMA Bagian A tahun 1964
Karya Novel Jawa antara lain:
- Rumpile Ati Wanita
- Sawise Langit Katon Biru
- Ayu Sri Rahayu
- Pengarep-arep Secuil Ing Tanah Mencil
- Sumilake Pedhut Klawu
- Mega Klawu Ing Wulan Temanten
- Kado, Kagem Ibu
- Dokter Wulandari
- Sumiliring Angin Pedesaan
- Prahara I
- Prahara II
- Emas Putih
- Rengat-Rengat Ing Kaca Bening
- Bebanten