Nasib ludruk di Surabaya, Jawa Timur, seperti amsal ”hidup segan mati tak mau”. Sampai dengan 1985, masih ada 58 grup ludruk yang aktif. Namun, dua dekade kemudian tersisa 14 grup. Untunglah, masih ada muda-mudi yang pantang menyerah untuk menghidupkan terus ludruk. Salah satunya adalah Erland Setiawan alias Robets Bayoned lewat Ludrukan Nom-noman Tjap Arek Suroboio (Luntas).
Luntas didirikan pada 21 Januari 2016. Masih bau kencur dalam hitungan usia grup ludruk. Namun, kiprah mereka seperti ungkapan kecil-kecil cabe rawit, cukup dikenal terutama di kalangan generasi muda. Pelan tetapi pasti, Luntas menjadi bagian dari ”gerakan ludruk” yang ingin bangun dari mati suri. Saat ini, ada 10 rombongan dari 37 kelompok ludruk yang bertahan. Kelompok-kelompok itu dimotori oleh muda-mudi.
Luntas punya daya tarik yang mampu membuat kalangan penonton setia ludruk tuntas tertawa selama pementasan. Ibarat tanaman beluntas atau luntas dalam bahasa Jawa, grup ini mampu hidup di tanah keras dan tanah batu. Luntas berarti tanaman tangguh.
Tanah yang keras dan batu ibarat zaman saat ini yang penuh tantangan. Ludruk jika tidak berubah sudah pasti ditinggalkan, merana, sekarat, dan kemudian mati. Apalagi, generasi muda saat ini lebih senang menonton hiburan kontemporer melalui sabak dan gawai.
Masihkah ludruk bertahan dan bernapas? Bagi para pengelola Luntas, jawabannya masih. Perayaan ulang tahun ke-3 Luntas, Senin (21/1/2019), di Waroeng Mbah Cokro, Jalan Raya Prapen, Surabaya, menandakan pentas cuma-cuma lebih dari 50 kali di sana. Jumlah itu tidak termasuk belasan atau puluhan pentas di Taman Hiburan Rakyat, Balai Pemuda, sekolah, hotel, atau balai dan kediaman masyarakat penanggap.
Menurut Robets, mementaskan ludruk yang notabene seni tradisi jawatimuran di era generasi milenial tidak bisa dengan cara-cara konservatif. Jauh sebelumnya, durasi ludruk bisa setara dengan wayang kulit, yakni semalam suntuk. Ceritanya digali dari keseharian rakyat, seperti pada lakon Sarip Tambak Oso, Sakerah, atau Sawunggalih. Jika begini terus, nasib ludruk sudah pasti digariskan menuju kematian.
”Pakem dipertahankan, tetapi selera konsumen patut diperhatikan,” kata Robets. Pakem dimaksud ialah tari remo, jula-juli, bedhayan, dagelan (lawakan), dan lakon (cerita). Namun, durasi bisa dimampatkan menjadi maksimal 2 jam dengan tata suara, tata cahaya, desain, efek, dan kostum yang enak dilihat, bahkan membuat penonton terpukau.
Alur cerita merupakan perpaduan antara legenda dan urban legend kekinian yang ditunjang rangkaian adegan tidak saklek (kaku). Ludruk tetap perlu pakem, tetapi luwes.
Dengan cara itu, Luntas ingin lebih membuat ludruk bisa dinikmati generasi saat ini. Tantangan amat besar ialah persepsi sebagian generasi zaman now bahwa ludruk itu kuno, tradisional, ketinggalan zaman.
”Kami berusaha keras mengenalkan ludruk yang tidak jadul sebab seiring perjalanan, ludruk itu berkembang, bahkan bermetamorfosis,” ujar Robets.
Luntas berambisi menjalankan misi melestarikan ludruk secara tuntas. Jalan yang ditempuh harus berbeda. Di kelompok ini ada kerabat kerja untuk broadcasting, meliputi sutradara, produser, dan lainnya. Robets menjadi jantung jika tidak ingin menyebutnya sebagai orang super sibuk. Dia menjadi sutradara, pemain, dan tukang dekor panggung. Istri tercinta yang memberinya tiga anak, Paramita Indra, berperan sebagai produser dan sesekali tampil di panggung.
Perjalanan
Robets terlibat di Luntas sejak kelompok ini berdiri. Sebelumnya, Robets dan sejumlah kawan punya grup lain. Namun, dalam perjalanan ada anggota yang keluar, lalu mendirikan grup dengan nama yang sama. Merasa tidak cocok, Robets dan teman-teman memilih membuat kelompok baru.
”Di awal Luntas berdiri, hanya ada empat orang anggota. Saya kemudian merekrut murid-murid teater di tempat saya mengajar ekstrakurikuler,” kata Robets mengenang.
Empat peludruk menjadi delapan dan jumlah itu terus bertambah hingga pernah mencapai seratus orang. Namun, banyak juga anggota yang keluar masuk sehingga yang masih aktif hingga kini sebanyak 15 peludruk.
Luntas berprinsip melestarikan ludruk tanpa menggantungkan hidup dari seni tradisi ini. Peludruk sudah punya mata pencarian sehingga berlatih dan berludruk merupakan kesenangan. Jika ada keuntungan ekonomi, itu dianggap anugerah yang harus disyukuri.
Di awal-awal mengembangkan Luntas, Robets dan kawan-kawan merogoh kocek sendiri. Biaya produksi sering kali di atas pendapatan dari karcis. Situasi besar pasak daripada tiang itu disikapi dengan ketulusan dan keyakinan bahwa Allah akan membalas.
”Saya tidak pernah kapok karena ludruk begitu penting dalam perjalanan hidup,” ucap Robets.
Ya, lelaki berambut gondrong ini memang sudah menceburkan diri dalam ludruk sejak remaja. Ludruk dipelajari dari kaset dan video saat SMP. Di SMA, Robets terjun ke teater sekaligus mencoba ludruk.
Pada 2010, Robets bergabung dengan kelompok ludruk Sempalan. Kelompok ini dianggap Robets seperti Luntas yang penuh dengan generasi muda. Namun, Robets berseberangan dengan rekan-rekannya di Sempalan karena ingin ludruk lebih modern.
Setelah tiga tahun dengan Sempalan, Robets pergi. Selanjutnya, ia tidak bergabung dengan grup ludruk, tetapi masih pentas atas undangan kelompok sampai mendirikan Luntas.
Sebagai arek Surabaya, Robets tak ingin ludruk ambruk. Pembaruan dan regenerasi menjadi kunci. Di Luntas, ketiga anaknya dilibatkan dalam pementasan. Si bungsu yang belum dua tahun sudah lima kali pentas meski perannya sebagai bayi.
Robets percaya, pengalaman akan terekam dan siapa tahu mendarah daging dalam diri si bungsu. Dua anaknya yang lain selalu ingin dilibatkan dalam setiap pementasan. ”Saya menaruh harapan besar pada anak-anak dan generasinya agar ludruk tetap lestari dan berkembang seiring perjalanan zaman,” katanya.
Upaya Robets bersama rekan-rekan di Luntas mendapat apresiasi. Setahun sejak berdiri, Luntas mendapat anugerah Juara Pertura (Pertunjukan untuk Rakyat) dari Pemerintah Kota Surabaya dan Pahlawan Kekinian dari Patata Surabaya (produsen oleh-oleh). Tahun lalu, mereka mendapat penghargaan Pahlawan Surabaya Award dari Lapis Kukus Pahlawan serta Muda Luar Biasa dari Suara Surabaya, radio terkemuka di Jawa Timur.