Deden, Sang Mata Hati Penyintas Bencana
Kehilangan anggota keluarga saat longsor menerjang Kampung Garehong, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, akhir 2018 lalu, tak membuat Deden Sudendi (30) terus larut dalam duka. Matanya membantu menemukan korban tewas. Hatinya menuntun penyintas memelihara kebersamaan pascabencana.
Udara dingin pegunungan menghembus pelan menemani Deden yang bediri lesu di antara reruntuhan rumahnya yang berserak Selasa (8/1/2019) siang. Tak banyak yang tersisa setelah longsor menghajar Garehong. Selain lemari kayu warisan mertua dan beberapa lembar seng, hanya kenangan yang coba ia kenang di sana.
"Rumah hasil menabung selama lima tahun ini sebenarnya tidak rusak akibat longsor. Namun, harus dirobohkan agar alat berat bisa masuk mengevakuasi korban hilang dan meninggal dunia," katanya.
Deden mengatakan, tidak menyesal dengan keputusan itu. Dia tahu, bila ingin proses evakuasi berjalan lancar, ia harus berkorban. Bagi warga Sirnaresmi, bagian Kampung Adat Sinar Resmi, berbagi dan menjaga tali persaudaraan selalu dijaga.
Keputusan Deden berbuah manis. Setelah alat berat masuk, pencarian korban selamat dan tewas bisa dilakukan lebih ideal. Dalam waktu seminggu, 32 orang dari 33 korban meninggal dunia ditemukan. Jasad mereka terkubur material tanah dan reruntuhan rumahnya sendiri di kedalaman hingga empat meter.
"Termasuk di antara korban tewas adalah ibu mertua saya," kata Deden, yang kini mengungsi bersama anak dan istrinya di rumah kerabatnya.
Beri Ketenangan
Kenangan Deden cepat kembali di sore terakhir tahun 2018. Tak ada yang menyangka hujan deras dalam beberapa hari terakhir berujung duka. Diiringi bunyi gemuruh, material tanah longsor memicu trauma. Rumah tertimbun tanah. Hamparan sawah tak terlihat lagi.
Saat longsor datang, Deden tengah berpacak diri hendak pergi sholat maghrib ke masjid. Rumahnya tak terhantam longsor. Hanya sedikit tanah pegunungan menyentuh rumahnya.
“Akan tetapi, ketika keluar rumah, suasana tidak karuan. Banyak rumah tetangga sudah tak terlihat tertimbun tanah," kata dia.
Deden sadar tak ada waktu banyak untuk diam. Di depannya, banyak warga berlarian. Panik. Dia lantas berinisiatif menenangkan sebagian warga.
"Saya ajak belasan orang berlindung di teras rumah. Saya minta warga bersabar dan saling mendoakan," ujarnya.
Selepas menenangkan warga yang panik, ia kembali ke rumah-rumah tertimbun tanah. Kata hatinya mencari asal suara teriakan minta tolong yang terus mendengung di telinga. Kebetulan, salah satu suara datang dari sekitar rumah mertua Deden. Setelah dipanggil-panggil, ternyata suara itu milik tetangganya.
Akan tetapi, hal itu tidak mengurungkan niat dia membongkar puing rumah yang ambruk. Deden melakukannya spontan tanpa alas kaki. Ia tak sadar, ada empat paku bekas bangunan rumah menancap di kakinya. Deden baru merasakan sakit saat memastikan nyawa tetangganya itu selamat.
“Saat menolong tidak terasa sakit. Baru setelahnya sadar kalau kaki saya berdarah," katanya, sambil memperlihatkan empat bekas tusukan paku di telapak kaki kanannya.
Episode kerelawanannya terus berlanjut keesokan harinya. Dia terlibat bersama personel SAR Gabungan mencari korban tertimbun lainnya. Sejak Selasa (1/1) sampai Minggu (6/1). Deden membantu mencari korban dari pagi sampai sore. Hanya hujan deras yang menghentikan dia dan tim SAR Gabungan mencari korban. Dampak longsor susulan rentan terjadi bila memaksakan berada di lokasi kejadian kala hujan deras.
Kali ini, dia jadi mata pemandu evakuasi. Pengetahuannya tentang geografis kampung membantu proses pencarian korban.
Di lokasi longsor, Deden sering berdiskusi dengan tim SAR Gabungan. Dia memandu menjelaskan posisi rumah korban dan jumlah anggota keluarganya. Bahkan, Deden juga diminta mengenali korban dari pakaian atau barang-barang korban. Itu yang membuatnya sering mondar-mandir dari satu titik pencarian ke titik lainnya. Patokannya sederhana, memanfaatkan jalan utama kampung dan sejumlah pohon untuk mengingat rumah warga. Dia juga mengandalkan kearifan masyarakat untuk memetakan keberadaan para korban.
Contohnya, saat berhasil memetakan sembilan korban sekaligus di sekitar mushala. Sejak awal, ia tahu bakal ada banyak warga tertimbun di sana. Dia yakin, ada korban lari ke mushala saat longsor terjadi. Saat kejadian berbarengan dengan warga hendak shalat magrib.
"Kalau bukan warga kampung ini, tentu sulit mencari lokasi rumah korban karena sudah rata tertimbun material longsor," katanya.
Akan tetapi, setiap ada korban ditemukan jelas menambah duka. Tidak jarang Deden menangis setiap korban ditemukan. Dia kenal semua korban.
"Saya bersedih sekaligus bersyukur, masih diberi kesempatan hidup sekaligus membantu menemukan korban yang hilang," kata dia.
Keterlibatan Deden dan warga lainnya membantu tim gabungan itu diapresiasi. ”Keterlibatan warga sangat membantu. Sebagian besar rumah korban tak terlihat karena tertimbun material longsor,” ujar Komandan Resor Militer 061/Suryakencana Kolonel M Hasan.
Bangkit
Semuanya terlihat seperti kebetulan. Namun, pengalaman hidup Deden jadi faktor penentu utama.
Jalan besar dan pohon di sekitar rumah warga itu kerap ia lewati saat melakoni profesinya, berjualan kosmetik keliling. Setiap hari, ia terbiasa menawarkan bedak, lipstik, hingga sabun pencuci muka dari rumah ke rumah. Dari sana, Deden tahu letak rumah hingga baju yang dipakai warga. Saking seringnya bersua pelanggan, ia punya julukan akrab. "Saya dipanggil Mang Metik karena jual kosmetik," kata dia.
Keberadaan sembilan jenazah di dekat mushala juga lebih dari sekadar firasat. Deden paham benar kebiasaan warga yang kerap sembahyang berjamaah dan mengaji setelahnya. Sejak lima tahun lalu, Deden sudah mewakafkan dirinya menjadi guru ngaji bagi anak-anak setempat. “Sejak awal saya ingin warga memperdalam ilmu agama dan beribadah dengan taat," kata dia.
Tidak asal bicara, semua dilakukan dengan cinta. Tak berharap rupiah, honor Rp 150.000 per dua bulan dari pemerintah desa, ia terima dengan lapang dada. Ia bahkan, menambah porsi ibadahnya dengan mendampingi ibu-ibu setempat mengaji.
Doa dan wirausaha itu juga yang kini jadi bentengnya mengajak warga kembali bangkit. Meski masih trauma mendengar suara gemuruh hingga hujan deras, Deden berencana membuka kembali pengajian.
Selain melontarkan puji pada Yang Maha Kuasa, mengaji jadi sarana menenangkan jiwa pascabencana. Tempatnya di salah satu rumah warga yang tidak hancur akibat longsor, selagi menunggu kepastian lahan relokasi dari pemerintah daerah. "Harapannya, kami bisa kembali mengaji di tempat yang layak," katanya.
Dia juga berencana kembali berdagang keliling kampung. Kali ini, ia tak berharap dagangannya bakal ludes. Dia paham, warga masih terpuruk akibat bencana. Deden mengatakan, berdialog dengan warga jadi sasaran utama. Harapannya mulia, saat sesama penyintas saling bercerita, trauma bisa ditekan bersama-sama. Temanya beragam, mulai dari mitigasi bencana hingga bagaimana membangun hidup selanjutnya.
Kesetiaan Deden menjadi bukti, sekeras apapun bencana yang datang bukan alasan meninggalkan persaudaraan. Semua dijalani bersama dengan harapan bakal hidup lebih baik bersama di tanah rawan bencana.
Deden Sudendi
Lahir: Cisolok, 5 Agustus 1988
Pendidikan: SDN Bojong Cisolok (Lulus 2000)