Rosdiah Harlina Menjaga Songket Siak
Boleh jadi, tenun songket siak, di Siak, Riau, kini berada di puncak ketenaran. Penghargaan terhadap karya yang diyakini sudah dimulai sejak era Raja Siak III, pada pertengahan abad ke-18 itu, semakin besar. Permintaan songket semakin pesat tatkala pemerintah daerah, mewajibkan pegawai negeri sipil, menggunakan pakaian adat berbahan songket setiap hari Jumat.
Peningkatan permintaan produk tenun tradisional itu sudah tentu menjadi berkah buat para pengrajin songket, terutama Rosdiah Harlina (41). Setiap bulan, Yati, demikian panggilan akrab Rosdiah, senantiasa kewalahan menyediakan songket kepada pelanggannya. Padahal, ia memiliki 34 penenun yang mampu menyediakan 150 sampai 200 potong songket setiap bulan.
“Saya tidak berani mengiklankan (songket) di pasar internet. Untuk memenuhi permintaan pelanggan yang datang ke rumah, saya sudah kewalahan. Banyak pelanggan marah, karena pesanan tidak selesai tepat waktu,” ungkap Yati dalam perbincangan dengan Kompas di rumahnya yang sekaligus berfungsi sebagai tempat kerja dan ruang pamer songket, di kawasan Rempak, di pinggir Sungai Siak, Siak, Riau, (sekitar 110 km dari Pekanbaru) pada pekan kedua Januari 2019.
Yati adalah pemilik rumah produksi tenun songket terbesar di Siak saat ini. Songket dengan merek dagang Tenun Siak Mekar Permai-Bu Atun adalah yang paling banyak dicari oleh warga Riau. Maklum, songket siak tidak banyak diproduksi, padahal permintaannya tinggi. Yati nyaris tidak dapat menyimpan stok, karena seluruh produk baru selesai ditenun, langsung diserap pembeli.
Kiprah Yati di dunia tenun songket, diturunkan dari almarhumah ibunya Rahimna yang biasa dipanggil Bu Atun. Atun adalah salah seorang penenun tersisa yang sempat mengalami pasang surut serta kandas dalam usaha tenun songket di era tahun 1980-an.
Kala itu, produk songket siak tidak banyak diserap pasar. Songket yang ditenun harus dijajakan ke Pekanbaru, Dumai atau Duri. Meski demikian, Atun senantiasa menenun untuk kebutuhan ekonomi keluarga.
Karena minimnya permintaan, jumlah penenun di Siak terus berkurang karena meninggal dunia, atau pindah pekerjaan lain. Penenun senior pun tidak menurunkan ilmu kepada anaknya. Namun Atun tetap berkarya.
“Sewaktu SMP, saya sudah menenun. Saya diajarkan memakai alat gedogan yang lebih rumit,” kata Yati didampingi suaminya Puguh Sutrisno yang aktif membantu dalam pra-produksi tenun songket siak.
Perubahan pasar songket baru terjadi saat Kecamatan Siak berubah menjadi kabupaten otonom pada tahun 1999. Mulai saat itu, permintaan songket semakin besar. Atun yang masih aktif menenun, mulai mendapatkan pasar yang bagus. Namun Yati belum berkecimpung dalam bisnis songket karena masih menyelesaikan kuliah di Jurusan Biologi, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas Riau.
Ketika ibunya mulai sakit-sakitan pada tahun 2009, Yati yang sudah berkarier sebagai guru di Siak, diminta membantu bisnis ibunya. Ketika ibunya meninggal tahun 2011, seluruh bisnis songket keluarga itu sudah dibawah kendali Yati. Namun profesi guru tetap dijalankannya sampai saat ini.
Di tangan Yati, songket siak semakin berkembang. Ia bersama suaminya Puguh, mengembangkan motif-motif baru, teknik pewarnaan dan berbagai teknik lainnya. Mereka mengembangkan motif-motif tradisional dengan memadukan motif baru sehingga bentuknya lebih menarik. Namun mereka tetap mempertahankan motif-motif tradisional seperti pucuk rebung dan siku keluang.
Dalam penciptaan motif baru, Yati bekerjasama dengan penenun senior mantan anak asuh ibunya. Setelah motif dipahami oleh para senior, barulah ilmu itu diajarkan kepada penenun yunior.
Seorang penenun senior, dapat menyelesaikan satu lembar kain songket motif sederhana dalam tempo 3,5 hari. Semakin rumit motif, semakin lama waktu pengerjaannya. Harga songket yang sarat motif, semakin mahal pula harganya.
Meski demikian, harga produk songket Yati, tidaklah terlalu mahal, berkisar Rp 500 ribu sampai Rp 1,5 juta rupiah. Namun masih ada pesanan-pesanan eksklusif yang harganya lebih mahal lagi.
“Saya tidak menyimpan songket eksklusif. Kalau ada pemesan, kami tunjukkan fotonya, baru kami kerjakan. Biasanya motif eksklusif untuk dipakai ibu pejabat atau hadiah kepada tamu penting,” ujar Yati.
Untuk motif eksklusif, tidak seluruh penenun dapat mengerjakannya. Hanya ada tiga penenun senior dengan ketrampilan khusus yang mampu membuatnya. Biasanya, untuk motif-motif berat seperti itu, Yati turun langsung mengawasi pekerjaan penenunnya.
Menurut Yati, songket siak secara umum hampir sama dengan produk tetangga di Sumatera Barat atau Sumatera Selatan. Bedanya, songket siak biasanya memiliki motif lebih sederhana.
“Lembaran kain songket siak memang tidak penuh dengan motif. Masih ada ruang kosong dari dasar kain (polos) yang tersisa. Sedangkan songket dari Sumbar dan Palembang biasanya penuh motif, sehingga pengerjaannya lebih lama. Songket kami juga tidak menggunakan benang sutra,” ujar Yati.
Menurut Puguh, sejarah songket siak berasal dari Trengganu, Malaysia. Kala itu, Raja Siak ke-III membawa seorang perempuan asal Trengganu bernama Siti binti Wan Karim untuk menenun songket buat keperluan kerajaan. Kerajinan songket kemudian diajarkan kepada dayang istana. Seiring waktu, keahlian tenun itu berkembang ke masyarakat dan bertahan dari masa ke masa.
Meski saat ini sedang berada pada masa kejayaan, Yati justru merasa waswas dan prihatin terhadap kelanjutan tenun siak di masa mendatang. Persoalannya, mencari penenun baru justru semakin sulit. Sejak melanjutkan usaha ibunya pada tahun 2011, jumlah penenun aktif di rumah Yati semakin berkurang.
“Sekarang ini, tidak banyak perempuan muda yang ingin menjadi penenun. Mereka lebih memilih bekerja di kantor atau bahkan menjadi pelayan di kafe atau toko. Padahal, penghasilan menjadi penenun lebih besar daripada pekerja biasa,” kata Yati.
Selain itu, keterampilan pra-tenun songket siak, yaitu pengerjaan mengubah helai benang dari pabrik berbentuk kiloan (dengan menggunakan mesin hani) sampai ke bentuk gelondongan besar (bom benang) siap tenun di alat tenun bukan mesin (ATBM), masih dikerjakan oleh Puguh sendiri. Tanpa gulungan bom benang di ATBM, otomatis penenun tidak dapat membuat songket.
“Sangat sulit mencari orang yang mau bekerja di bidang produksi. Tingkat kesulitannya tinggi. Untuk membuat bom benang ada hitung-hitungan yang rumit, memakai rumus matematika. Karena untuk satu lembar kain, harus disusun 3,840 helai benang di bom. Lagipula, mesin hani di Siak hanya ada dua, satu di rumah kami dan satu lagi di Dekranasda Siak,” tambah Puguh.
Di sisi lain, alih pengetahuan tenun songket Siak secara massal lewat jalur formal di sekolah telah terhenti. Kegiatan studi tenun yang sebelumnya disiapkan oleh Dinas Pendidikan Siak, beberapa tahun lalu, kini tidak lagi berjalan karena ketiadaan guru.
Yati dan Puguh tentu tidak dapat mengubah kondisi itu berdua. Diperlukan campur tangan pemerintah untuk menumbuhkan minat anak muda menekuni songket di masa depan. Bila tidak, tenun siak bakal mengalami stagnansi dan kemunduran.
Rosdiah Harlina
Lahir : Siak 2 Oktober 1978
Suami : Puguh Sutrisno
Anak: M Zikri A (10), Atifah Zahraini (8), Bintang Arkan R (4)
Pendidikan
- SDN Rempak lulus 1991
- SMPN Siak (1994)
- SMAN Siak (1997)
- Jurusan Biologi FKIP Universitas Riau (2001)