Bambang Irianto Membangun Kota dari Lorong Kampung
Kampung kerap dicitrakan sebagai wilayah kumuh, banjir, dan diwarnai sejumlah permasalahan sosial. Namun tidak dengan Glintung, salah satu kampung di Malang, Jawa Timur. Bambang Irianto (61) dan warga menyulap kampung itu menjadi maju dan berwawasan lingkungan. Atas kiprahnya itu, Agustus 2018, Bambang menerima penghargaan kalpataru dari pemerintah.
Meski agak tersamar oleh reklame, papan bundar di tepi Jalan Letjen S Parman, di tengah kota Malang, yang berbunyi Glintung Go Green (3G) menyambut di mulut gang yang menghijau. Ribuan tanaman menghiasi kawasan itu. Mulai dari pot, tanaman gantung penghias teras rumah, rangkaian pipa hidroponik, hingga yang menempel sebagai taman vertikal di dinding pagar.
Sepanjang mata memandang, kampung yang diapit oleh jalan raya (sisi barat) dan rel kereta api (timur) serta jalan kecil (utara) dan sungai kecil (selatan) itu terlihat bersih dan tertata, termasuk lorong-lorong di dalamnya. Papan-papan kecil penunjuk arah, seperti ke Rumah Prestasi, biopori, mikrohidro, menghiasi kawasan yang dihuni oleh 303 keluarga (1.080 jiwa) tersebut.
Sekilas, orang awam tidak banyak tahu apa saja potensi di Glintung--masuk Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing--karena dari luar pandangan mereka terhalang oleh pertokoan dan show room kendaraan. Padahal, saat ini, setidaknya terdapat 7 sumur resapan, 700 buah biopori standar, 200 biopori jumbo, dan 200 buah superjumbo.
Biopori dan sumur resapan ini disebut-sebut mampu menghisap 100.000 liter air setiap kali hujan turun. Akibat keberadaan piranti ini--kampung yang disebut-sebut sebagai sentra kripik tempe pertama di Malang--itu terhindar dari banjir sejak tahun 2013.
Padahal, saat ini, setidaknya terdapat 7 sumur resapan, 700 buah biopori standar, 200 biopori jumbo, dan 200 buah superjumbo.
Tidak hanya sumur resapan dan biopori, di Glitung juga terdapat mikrohidro kecil dengan daya 1.800 watt. Perangkat ini bantuan dari Perum Jasa Tirta dengan memanfaatkan aliran air sungai kecil di tempat itu. Glintung juga punya spot swafoto yang dinamakan Eco Edu Park BRI, lorong konservasi, dan rumah prestasi yang memanfaatkan rumah milik Bambang.
Atas perubahan yang terjadi inilah, Glintung menyabet sejumlah penghargaan baik di tingkat lokal maupun nasional. Bahkan, Bambang--sebagai sosok pemantik semangat warga untuk peduli akan lingkungan kampung--juga meraih penghargaan di tingkat internasional.
Penghargaan terbaru 24 Oktober 2018 mengukuhkan Glintung sebagai Kampung Proiklim (Proklim) Kategori Utama oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebelum itu, pada Bulan Agutus, Bambang menerima Kalpataru kategori Pembina Lingkungan. Adapun tahun 2017 Glintung ditetapkan sebagai Kampung Konservasi Air oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
“Tahun 2016 saya terpilih sebagai inovator dalam ajang Guang Zou International for Urban Inovation 2016. Ada 15 kota yang dipilih. Inovasi saya water banking. Ini cocok untuk daerah urban dan dianggap sebagai inovasi yang menginspirasi untuk diterapkan di perkotaan,” katanya.
Menyambung air
Bambang menceritakan semua ini berawal saat dirinya dipilih sebagai Ketua RW 23 tahun 2013. Mengetahui Glintung sering banjir, terbesit di benak Bambang untuk membuat biopori. Karena tidak paham caranya, akhirnya Bambang memanfaatkan pendampingan dari Fakultas Teknik Universitas Brawijaya.
Dalam proses pendampingan itu terbuat 100 lubang biopori menggunakan media paralon di lorong-lorong. Setelah itu dilakukan penambahan secara swadaya menggunakan kaleng bekas cat ukuran 5 kilogram (jumbo) dan 25 kilogram (superjumbo). Begitu pula dengan aneka tanaman hias yang dikembangkan oleh masyarakat. Keduanya berpadu secara simultan.
Pada tahun ketiga, permukaan air di sumur gali milik warga ternyata naik—yang sebagai dampak dari kegiatan penghijauan. Pun dengan suhu udara di tengah kampung menjadi lebih sejuk pada siang hari. “Di kampung sebelah muncul mata air baru. Sehingga program ini kemudian kami namakan gerakan menabung air (gemar),” kata Pria yang pernah merintis dan menjabat sebagai direktur di salah satu obyek wisata ternama di Batu itu.
Diakui Bambang ada strategi khusus untuk mengubah itu semua. Strategi yang dimaksud adalah mengubah pola pikir masyarakat. Sosialisasi dan imbauan terus dilakukan agar mereka mau berinovasi. “Kalau ada warga yang tidak mau, ya, kita tinggal. Begitu melihat ada hasilnya, mereka akan tergerak hati untuk ikut serta dengan sendirinya,” ucap bapak tiga anak, yang dua di antaranya tengah menuntut ilmu di luar negeri itu.
“Kalau ada warga yang tidak mau, ya, kita tinggal. Begitu melihat ada hasilnya, mereka akan tergerak hati untuk ikut serta dengan sendirinya”
Menurut Bambang masyarakat kampung terus berubah. Upaya menata kampung tidak berjalan selalu mulus. Kadang ada riak dan gangguan namun hal itu tidak menjadi penghalang. Ia mencontohkan, ada orang-orang yang awalnya pro sekarang berbalik menjadi kontra. Begitu pula sebaliknya, yang tadinya kontra sekarang menjadi pro.
Bambang juga pernah harus berhadapan dengan pemilik show room kendaraan yang merasa keberatan fasilitas umum yang ada di tempat itu dipakai untuk berjualan oleh warga. Namun konflik itu akhirnya berakhir damai setelah ada mediasi dari pemerintah kecamatan. “Kadang ada juga yang tidak suka dan merusak tanaman,” ucapnya.
Kampung dan lorong yang ada di dalamnya memang punya nilai tersendiri bagi Bambang. Di mata alumni Jurusan Pertanian Universitas Brawijaya itu, sebagian besar warga perkotaan tinggal di Kampung. Di Malang sendiri 45 persen warga tinggal di kampung.
“Selama ini warga kampung dianggap sebagai warga kelas dua. Padahal di tempat itu mereka tinggal dan hidup sebagaimana warga perkotaan lainnya. Saya memang orang kampung tetapi maaf saya bukan orang kampungan,” kata Bambang yang berharap bisa membangun negeri ini dari lorong kampung.
Untuk mendukung Glintung menghijau itulah, Bambang menyediakan rumahnya sebagai Rumah Prestasi. Selain sebagai balai RW, Rumah Prestasi digunakan untuk menyimpan piagam dan penghargaan yang saat ini jumlahnya mencapai puluhan buah.
Di Rumah Prestasi itu pula, tamu dari berbagai daerah--khususnya dari unsur pemerintahan--belajar tentang pengelolaan lingkungan, termasuk bagaimana menjadikan lorong di perkampungan bisa hidup seperti di Glintung. Glintung telah menjelma sebagai kampung wisata edukasi. Dan sejauh ini 90 persen pengunjung datang untuk belajar bagaimana membangun kampung.
“Yang saya berikan bukan hanya infrastruktur lingkungan tetapi juga ilmu, sosio enginering, inovasi-inovasi untuk bongkar mind set masyarakat. Ilmu itu yang saya berikan, bagaimana membangun kampung. Supaya kita tidak jatuh pada development disempowering atau membangun tapi mematikan,” katanya.
Bambang Iriawan
Lahir : 5 Mei 1957
Istri : Erni Handayani
Anak:
- Raditya Putra
- Bagus Duta
- Nandaka Satria Bimantara
Pendidikan:
- SDN Kedawung
- SMPN 3 Malang
- SMA Cor Jeru Malang
- Universitas Brawijaya