Ilhan Omar, Perempuan Pengungsi di Kursi Kongres
Saat tinggal di kamp pengungsian di Mombasa, Kenya, Ilhan Omar sering mendengar "dongeng" tentang impian Amerika atau American Dream. Ia percaya impian itu bisa jadi kenyataan, dan itulah yang terjadi ketika ia dewasa. Ia menjadi perempuan Muslim pertama yang berjilbab sekaligus imigran pengungsi pertama yang terpilih sebagai anggota Kongres AS.
Ilhan menjadi bagian dari perubahan bersejarah dalam lembaga legislatif AS. Dari 435 anggota DPR AS yang dipilih pada Pemilu 2018 lalu, terdapat 102 orang perempuan. Mereka juga terdiri dari beragam latar belakang. Ada Muslim, Latin, penduduk asli AS, dan Afrika-Amerika. Komposisi anggota DPR yang beragam ini menyerupai komposisi populasi AS.
Anggota DPR yang beragam latar belakang itu, sebagian besar adalah generasi baru yang dikerahkan Partai Demokrat. Sebaliknya, Partai Republik masih tetap mengerahkan banyak laki-laki dan kulit putih.
Meski berdarah Somalia, pada setiap kesempatan, Ilhan selalu menekankan bahwa ia bukan perwakilan dari Somalia, masyarakat muslim, perempuan, ataupun generasi millennia. “Saya wakil rakyat yang kebetulan menyandang semua identitas marjinal itu,” katanya tegas.
Ketegasan dan keteguhan tekad Ilhan disebut-sebut sebagai kunci suksesnya terpilih sebagai anggota DPR yang akan menjabat dalam dua tahun. Namun menurut berbagai media di AS, kunci kemenangan Ilhan ada pada partisipasi anak muda terutama pelajar dan mahasiswa.
Selama masa kampanye, Ilhan fokus pada anak muda. Bahkan hampir semua relawan yang membantu kampanye Ilhan adalah anak muda. Manajer kampanye, direktur komunikasi, dan direktur lapangan yang membantu Ilhan semua masih berusia sekitar 20 tahun.
Relawannya pun banyak pelajar dan mahasiswa. “Mesin” anak muda ini yang diabaikan para pendahulu Ilhan. Karena fokus pada anak muda, perolehan suara para pemilih pemula dan mahasiswa meningkat. Paling tidak ada 1.000 relawan yang membantu Ilhan menggapai sedikitnya 100.000 pemilih di wilayahnya.
Perjalanan hidup Ilhan menjadi inspirasi bagi anak muda dan imigran AS. Majalah Time edisi 18 September 2017 “Firsts: Women Who Are Changing the World” menjadikan Ilhan sebagai salah satu sosok perempuan pembuat perubahan dan fotonya menjadi sampul edisi itu. Pada Februari 2018, majalah Vogue menyebut keluarga Ilhan sebagai contoh keluarga yang akan mengubah dunia.
Sutradara Norah Shapiro juga membuat film dokumenter berjudul “Time for Ilhan” yang menceritakan perjalanan Ilhan saat kampanye. Dokumenter itu terpilih di Tribeca Film Festival dan Mill Valley Film Festival.
Pengaruh keluarga
Ilhan dan keenam kakaknya dibesarkan oleh ayah dan kakek mereka karena ibu mereka meninggal saat Ilhan berusia 2 tahun. Keluarga itu terpaksa pergi keluar Somalia untuk menyelamatkan diri setelah kelompok milisi bersiap menyerang rumah mereka saat tengah malam.
Ilhan yang saat itu berusia 8 tahun harus berjalan kaki melewati jalanan yang penuh mayat dan puing untuk menuju kamp pengungsian Utango yang terisolasi di tengah hutan. Selama berada di kamp itu, ia bertugas mengumpulkan kayu bakar dan mencari air bersih untuk keluarganya. Karena sanitasi yang buruk, banyak pengungsi yang meninggal.
Ketika tinggal di pengungsian, ia kerap mendengar materi orientasi tentang impian Amerika. Ia yakin benar suatu ketika impian Amerika itu akan terwujud. Setelah empat tahun tinggal di pengungsian, impian itu memang benar-benar terwujud. Ia dan keluarganya mendapat suaka dari Pemerintah AS.
Pada 1995 saat berusia 12 tahun, Ilhan dan keluarga pindah ke AS. Keluarga Ilhan pertama kali menginjakkan kaki di daerah Arlington, Virginia. Di tahun yang sama, mereka pindah ke Minnesota sampai sekarang.
Pertama kali masuk AS, Ilhan hanya mengenal kata-kata dalam bahasa Inggris, yakni “hello” dan “shut up”. Ilhan belajar Bahasa Inggris selama tiga bulan hanya dengan menonton televisi.
Seperti kebanyakan pengungsi lainnya, Ilhan mesti berjuang agar bisa beradaptasi dengan kultur AS. Harian the New York Times, 30 Desember 2018, menyebutkan, Ilhan sulit beradaptasi karena kerap mendapat perundungan dari anak-anak di sekolahnya. Ada yang menempelkan permen karet bekas di jilbabnya. Ada yang mendorongnya di tangga sampai terjatuh. Ada juga yang mengganggunya saat ia sedang berganti baju olahraga.
“Ayah saya bilang orang-orang itu berbuat tidak baik kepada saya bukan karena mereka tidak suka dengan saya tetapi karena mereka merasa terancam oleh kehadiran saya,” kata Ilhan yang resmi menjadi warga AS pada 2000 saat berusia 17 tahun.
Ilhan bersekolah di SMA Edison, Minneapolis, lalu melanjutkan kuliah di North Dakota State University dan lulus dengan predikat sarjana Ilmu Politik dan Internasional pada 2011. Setelah peristiwa 11 September 2001, Ilhan memutuskan mengenakan jilbab sebagai pernyataan terbuka identitasnya sebagai Muslim.
Pada 2002, Ilhan bertunangan dengan temannya, Ahmed Hirsi. Mereka mengajukan izin menikah tetapi tidak pernah diformalkan secara hukum. Setelah anak keduanya lahir, Ilhan dan Hirsi berpisah pada 2008. Pada 2009, Ilhan menikah dengan Ahmed Nur Said Elmi, warga negara Inggris. Namun pernikahan itu hanya bertahan dua tahun. Ilhan kemudian memutuskan kembali dengan Hirsi lalu keduanya menikah secara adat. Anak ketiga mereka pun lahir pada 2012. Barulah pada 2018, Ilhan dan Hirsi resmi menikah.
Ilhan jatuh cinta pada demokrasi yang berkembang di AS. Ia pun terjun ke dunia politik, awalnya sebagai aktivis pendampingan masyarakat. Inspirasi untuk terjun ke dunia politik itu, kata Ilhan, datang dari keluarganya yang selalu membicarakan politik, perkembangan berita dunia, dan demokrasi pada saat mereka makan malam bersama.
“Sejak anak-anak saya jadi penerjemah kakek di pertemuan-pertemuan politik. Kakek juga yang membangkitkan minat saya pada politik. Meski sudah tidak ada, saya yakin dia ada di sini menemani saya,” kata Ilhan saat upacara pelantikan di Kongres AS, pekan lalu.
Incaran media
Minnesota yang memiliki populasi Somalia terbesar di luar Somalia, merupakan wilayah dengan isu kesenjangan sosial yang lebar antara kulit putih dengan kulit berwarna. Ada kesenjangan pada urusan pendapatan, tingkat pengangguran tinggi, kemiskinan, dan capaian pendidikan yang memprihatinkan.
Ilhan bertekad menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat seperti ketidaksetaraan pendapatan, beban berat utang atau pinjaman biaya pendidikan tinggi, dan sistem hukum yang harus direformasi. Ia lalu aktif di berbagai kegiatan kampanye politik hingga akhirnya mencalonkan diri menjadi anggota DPRD Minnesota pada 2017. Ia berhasil menjadi anggota DPRD Minnesota saat itu.
“Saya menang bukan karena saya dari Somalia. Saya menang karena progresif. Rakyat menginginkan wakil yang progresif dan bisa mewakili kepentingan mereka,” kata Ilhan seperti dikutip the New Yorker, 15 Agustus 2018.
Tahun lalu, ia mencalonkan diri sebagai anggota DPR AS mewakili Minnesota. Perempuan berjilbab yang lahir di Mogadishu, Somalia, pada 1981 itu langsung menjadi incaran media. Sayangnya berita yang mereka tulis umumnya berkisar pada identitasnya saja. Mereka melupakan program-program kampanye yang Ilhan tawarkan.
Karena itu, tak ada jalan lain bagi Ilhan selain mengetuk satu per satu pintu rumah warga untuk mendekatkan diri. Ia memakai pendekatan “saya juga punya masalah yang sama”.
Bagi Ilhan, masyarakat butuh didengarkan dan wakil rakyat harus belajar mendengarkan keluhan atau aspirasi rakyat agar kebijakan yang dihasilkan sesuai kebutuhan rakyat. Lewat kerja keras dan kampanye yang cerdas, Ilhan berhasil menembus Kongres AS mewakili Minnesota.
Ilhan sering mengungkapkan ketidakpercayaannya pada segala capaian yang mengantarnya menjadi bagian dari wajah Kongres AS. “Saya sering mau mencubit tangan saya sendiri karena akhirnya bisa berada di sini,” kata Ilhan.
Ilhan Abdullahi Omar
Lahir: Mogadishu, Somalia, 4 Oktober 1981
Anak: 3
Pendidikan:
- BA dari North Dakota State University
Jabatan:
- Anggota Kongres (DPR) AS (mulai 3 Januari 2019)
- Anggota parlemen Minnesota 2 Januari 2017-3 Januari 2019
- Anggota Partai Demokrat