Sartini Aisah, Tepung "Mocaf" Untuk Keluarga Miskin
Produksi singkong yang melimpah di desanya, menginspirasi Sartini Aisah (39), untuk mengolahnya menjadi tepung "mocaf" (modification casava flour). Tepung ini dijadikan bahan produk olahan dan turunannya, guna memberi alternatif pendapatan dan memberdayakan keluarga miskin di kampungnya, Desa Jatimulyo, Kecamatan Jatipuro, Kabupaten Karang Anyar, Jawa Tengah.
“Selagi musim panen, singkong tidak ada harganya. Petani malah tidak mencabutnya di sawah, karena biaya tenaga kerja yang mencabut singkong tidak sebanding dengan harga jualnya. Kadangkala singkong dijual tebas (dijual di sawah),” tutur Sartini.
Komentar itu diutarakan Rabu (19/12/2018) di Mataram, Lombok, sebelum Sartini bersama enam perempuan lain menerima penghargaan ‘Perempuan Pejuang Pangan’ dari Oxfam Indonesia, Kamis (20/12/2018) di Mataram, NTB.
Menekuni produk mocaf bermula dari kondisi masyarakat di desanya. Petani dan buruh tani menanami palawija, kacang tanah dan singkong di lahan tadah hujan. Selebihnya mereka menanam padi selama enam bulan dalam setahun. Hasil panen sejumlah komoditi itu sebatas memenuhi kebutuhan domestik keluarga, tidak sebanding dengan ongkos proses produksi.
“Selagi musim panen, singkong tidak ada harganya. Petani malah tidak mencabutnya di sawah, karena biaya tenaga kerja yang mencabut singkong tidak sebanding dengan harga jualnya. Kadangkala singkong dijual tebas (dijual di sawah),” tutur Sartini.
Terbatasnya sumber penghasilan di desa, mendorong laki-laki dan perempuan merantau ke Jakarta, Surabaya, Palembang dan Banjarmasin (Kalsel) berjualan jamu gendong dan bakso. Sementara mereka yang tinggal di desa mengharapkan kiriman uang dari suami/isteri yang bekerja di perantauan.
Tinggal di desa tanpa sumber penghasilan yang jelas, juga harus mengikuti aturan sosial kemasyaratan seperti pirukunan (gotong-royong). Bila ada warga tidak hadir dalam gotong-royong bersih-bersih desa, harus membayar denda. Juga ketika satu keluarga mengadakan acara hajatan, kepala keluarga mesti hadir, jika tidak mau dikenakan denda berupa uang.
Paham dengan tuntutan denda dan kondisi sosial ekonomi warga, awal tahun 2012, Sartini mengajak sembilan ibu rumah tangga untuk mengisi waktu dengan kerja produktif. Mereka diajak belajar menjahit dan merenda. Harapannya, aktivitas itu dijadikan usaha bersama, meski usaha itu tidak jalan karena tidak ditangani secara serius.
Suatu ketika atas anjuran Petugas Pertanian Lapangan, Sartini membentuk Kelompok Wanita Tani/KWT Makmur. Syaratnya, kelompok memiliki anggota 20 orang. Untuk mencukupi syarat itu, Sartini menugaskan seorang anggota merekrut dua orang anggota baru.
Setelah terbentuk, dan Sartini menjabat ketua kelompok, lalu minta instansi teknis melakukan pendampingan dalam Program Optimalisasi Lahan Pekarangan. Program itu memanfaatkan pekarangan rumah untuk bertanam sawi, terung, bayam, cabai, sekaligus melakukan pembibitan, membuat pupuk organik dan pestisida nabati.
Belakangan Dinas Pertanian Karang Anyar menawarinya mengikuti pelatihan membuat tepung mocaf. Sartini kemudian menularkan ilmu mengolah mocaf kepada anggota KWT. Awalnya dia bingung memasarkan produk mocaf karena masih asing itu. Orang lebih suka cita-rasa tepung terigu. Bila mocaf dijadikan roti, tekstur roti kasar. Dia pun mewajibkan semua anggota membeli sekaligus mencicipi produk sendiri. "Seperti jeruk makan jeruk he he,” katanya.
Sartini tidak putus asa. Dia lalu membuat produk olahan turunan kue kering dan kue basah berbahan baku tepung mocaf berupa balung ketek, kerupuk, rengginang dan kerepek egg roll dalam bentuk kemasan. Produk olahan dan tepung mocaf itu dijual keliling menumpang sepeda motor ke ibu-ibu PKK dan sejumlah dinas Kabupaten Karang Anyar.
Cita rasa
Karena selera warga telanjur pada tepung terigu, menjadikan penjualan tepung mocaf tersendat-sendat. Namun akhirnya dia mendapat pelanggan tetap sebuah produsen makanan sekitar satu kuintal sebulan. Selain itu dia harus memenuhi pesanan perorangan yang dibawanya ke rumah pemesan. Permintaan itu bisa terpenuhi bila saat panen singkong, mengingat terbatasnya tenaga kerja dan proses pengerjaan tepung mocaf secara manual.
Sejalan datangnya permintaan, Sartini membagi tugas anggotanya meliputi tim produksi mocaf dan produk turunannya. Dari usaha itu para ibu berubah kehidupan sosialnya sedikit demi sedikit. “Mereka yang dulunya susah membeli kebutuhan dapur, sekarang bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dari kegiatan ekonomi produktif ini,” kata isteri Agus Purwasit ini.
Sartini juga membentuk koperasi simpan-pinjam guna menopang aktivitas usaha 38 anggota KWT. Tiap anggota dikenakan dana sebagai anggota Rp 25.000, dan simpanan wajib Rp 10.000 sebulan, selain simpanan sukarela yang tidak ditentukan nominalnya. Bila ada pembuatan produk, anggota juga mendapat uang jasa, selain mengantongi sisa hasil usaha tiap tahun. Anggota KWT yang merantau (tujuh orang) selain dikenakan sumbangan untuk membayar ketidakhdirannya saat hajatan dan gotong-royong di desa, juga kebagian SHU.
Terhadap anggota yang kurang telaten membuat tepung dan produk lainnya, diberi modal untuk usaha lain seperti memelihara ayam: seekor induk dan dua ekor anak ayam jantan. Waktu enam bulan ayam itu diserahkan dua ekor sebagai aset koperasi. Dengan sistem bagi hasil, anggota dimodali –dana stimulan dari Pemkab Karang Anyar- seekor kambing betina dan dua ekor anak kambing jantan. Hasilnya dibagi 70 persen buat pemelihara dan 30 persen untuk koperasi.
“Artinya uang pemerintah tidak terbuang percuma, tetapo ada manfaat langsungnya bagi warga,” ungkapnya. Sartini juga memberikan pengetahuan manajemen kepada anggotanya. Langkah itu dirasakan mengurangi beban ibu rumah tangga.
“Artinya uang pemerintah tidak terbuang percuma, tetapo ada manfaat langsungnya bagi warga,” ungkap Sartini.
Apa yang diraih Sartini seperti saat ini memerlukan proses panjang. Tahun 1993, dalam usia 13 tahun, dia merantau ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan untuk berjualan jamu. Dia tinggal bersama kakaknya di kota tersebut. Namun dia hanya bekerja lima bulan karena menderita lumpuh selama 2,5 bulan. Setelah sembuh dia pun pulang kampung, untuk selanjutnya pada tahun 1995 berjualan jamu di Jakarta sembari kursus menjahit.
Ia menetap di kampungnya tahun 1999, kemudian membagi waktu untuk kerja kreatifnya. Pencapaiannya saat ini pengorbanan moral mengingat pola pikir masyarakat yang susah berubah bila belum melihat hasil. Tidak sedikit pula pengorbanan material untuk membeli bahan baku berbagai produk olahan tiap kali ada praktik dan pelatihan KWT dan material untuk kemasan. Produk tepung mocaf dan turunannya buatan orang miskin di kampung kini mulai menembus pasar.
“Saya bersyukur Tuhan masih menjadikan saya bermanfaat buat orang banyak,” ujarnya.
Sartini Aisah
Lahir: 17 April 1979, Karang Anyar, Jawa Tengah
Anak: Azizah, Abdan Syakur, Biahusna Salsabila
Pendidikan:
SDN Jatimulyo III lulus tahun 1991