Ratna Riantiarno Cerita tentang Toleransi dan Teater Koma
Teater Koma terus beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Baru-baru ini, Teater Koma muncul dengan gaya milenial ketika menampilkan lakon "Mahabarata". Ini bentuk toleransi Teater Koma terhadap zaman sekaligus menyebarkan toleransi antargolongan.
Dulu Tater Koma senang sekali mengusung beragam properti yang ribet dan berjibun. Dalam lakon "Mahabarata", Teater Koma menggunakan multimedia tiga dimensi, yang bukan saja berfungsi secara artistik, juga menjadi bagian penting dari cerita. Itu mereka lakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan audien. Tentu saja berbasis riset.
Setiap lakon, cerita, dan latar belakang yang dibawakan Teater Koma melalui riset. Misalnya, saat mengangkat cerita dan karakter orang gila, mereka mendatangi langsung rumah sakit jiwa dan berinteraksi dengan para penghuni menjadi sebuah keharusan.
"Ada yang sampai gila karena ditinggal kekasihnya," ungkap Ratna Riantiarno (66), yang bersama suaminya, N Riantiarno, mendirikan Teater Koma.
Awalnya, orang berpikir hal tersebut konyol, tetapi setelah mendengar kisah di baliknya akan memahami. Kondisi korban yang saat itu tidak bisa mengatasi keadaan ditambah tidak ada dukungan dari orang-orang sekitarnya.
Ibu dari tiga anak ini, yaitu Satria Rangga Buana, Rasapta Candrika, dan Gagah Tridarma Prastya mengatakan, untuk mendalami peran harus sampai melihat kondisi sesungguhnya. Di sisi lain, Ratna menyadari bahwa hidup tidak bisa hanya mengandalkan dari teater.
"Bagi saya teater sampai sekarang tidak bisa untuk penghidupan, tapi hidup dari seni peran itu mungkin," kata perempuan yang menyukai jajanan klappertaart dan wajib ada dalam setiap perayaan termasuk Natal.
Apalagi menunggu April saat pemilu nanti seperti api dalam sekam
Terkait karya Teater Koma yang baru-baru ini, "Mahabarata", Ratna prihatin melihat kondisi politik Indonesia saat ini. Ma"habarata" yang dibungkus versi Nusantara tersebut mengangkat soal perbedaan bahwa dunia atau lebih kerucut Indonesia, dengan berbagai keberagaman jika tidak dijaga akan hancur.
"Apalagi menunggu April saat pemilu nanti seperti api dalam sekam," cetusnya. Dia ingin terus menumbuhkan sikap toleran sebagaimana keluarganya mengajarinya.
Beragam
Lahir dan tumbuh dalam keluarga yang mempunyai latar belakang berbeda, Ratna menjadi sosok toleran. Ia dididik oleh ayahnya yang seorang muslim dan ibunya kristen. Tak heran jika sikap toleransi dari aktris ini tumbuh dengan baik. Ratna dibebaskan oleh orangtuanya untuk memilih dan mempelajari agama apapun.
“Saya lahir dari keluarga yang merayakan Natal dan Lebaran, bahkan semasa SD ikut dalam pelajaran agama Kristen maupun Islam.” kata perempuan kelahiran Manado yang banyak menerima penghargaan dalam bidang seni peran ini, Kamis (20/12/2018), di Jakarta.
Kebiasaan menyambut Natal dan Tahun Baru yang masih berlangsung sampai sekarang dalam keluarga besarnya adalah gotong royong. Seperti saat Natal, saudara yang muslim membantu menghias pohon natal atau pun menyiapkan kue-kue natal.
Untuk perayaan Natal kali ini Ratna dan keluarga pergi ke daerah Jawa Tengah. Dia survei terlebih dahulu tentang lokasi yang hendak dikunjungi, layaknya setiap akan membuat pertunjukan melakukan riset ke daerah-daerah untuk mencari lokasi yang unik. Hal yang sama juga akan dia lakukan jika nanti sekiranya macet, akan berhenti di kota kecil sekitar yang mungkin menarik.
“Tanah air kita perlu ditengok,” imbuh tentang betapa kayanya tanah air ini.
Berangkat dari salah satu keberagaman itulah, Teater Koma yang dibentuk oleh Ratna dan suaminya Nano Riantiarno bisa bertahan hingga berusia lebih dari 40 tahun. Mengangkat tentang sejarah, keberagaman budaya, bahkan gejolak politik yang terjadi sekarang ini menjadi ciri khas teaternya.
Perjalanan Teater Koma hingga saat ini tentu tidak mudah. Pelarangan tampil sempat dialami beberapa kali terutama saat era Pemerintahan Soeharto. Salah satunya, saat menampilkan "Kisah Sampek Engtay". Teater yang mengangkat kisah dari Negeri Cina tersebut dianggap tidak nasionalis.
"Padahal itu hanya adaptasi dan tokoh yang dibawakan berdasar pada suku-suku yang ada di Indonesia," jelas Ratna.
Menurut Ratna, teater itu selain belajar soal olah tubuh, juga mempelajari orang lain. Menahan diri dan mengontrol emosi adalah kunci agar dapat membawakan peran dengan baik. Sebaliknya, Jika emosi pemeran dalam keadaan kacau balau, tidak akan bisa fokus dan gagal memerankan peran.
“Jadi, orang yang mudah tersinggung atau mudah tersulut emosi bisa masuk teater untuk mempelajari pengendalian emosi,” celetuknya.
Mudah tersinggung
Situasi di Indonesia saat ini juga membuat Ratna kesal. Orang mudah tersinggung dan merasa paling benar hanya dari membaca media sosial atau menonton televisi. Dahulu orang tidak mudah tersinggung, tetapi berbeda dengan sekarang. Mudah sekali segala sesuatu dibawa menjadi hal yang serius. Padahal kacamata benar dan salah seringkali berbeda.
Diskusi menjadi cara efektif untuk saling mengerti agar tidak mudah tersinggung dan marah. Cara ini diterapkan orantua Ratna, dan ia kini juga menerapkannya dalam keluarga.
Dalam memilih pasangan hidup, misalnya. Ayah dan ibunya hidup rukun dalam perbedaan agama bahkan bisa membesarkan anak dengan baik semua karena kedua belah pihak keluarga mempunyai toleransi yang besar.
Namun, ayahnya pernah berpesan, menikah itu lebih mudah jika satu agama. Bebas memilih yang mana tapi yakini dengan baik. “Suami saya yang akhirnya mengikuti saya. Dua dari anak saya memilih menjadi muslim mengikuti pasangannya dan tidak ada masalah dalam pilihan itu,” kata Ratna.
Bermula dari menjadi seorang penari tradisional, yaitu tari Bali, Ratna berkeliling ke sejumlah negara. Salah satunya adalah New York, Amerika Serikat. Ia menjadi penari di sebuah restoran lndonesia yang berada di New York selama lebih kurang satu setengah tahun. Usianya waktu itu baru menginjak 23 tahun.
Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang membuatnya lebih ahli dalam berbenah rumah dan bersih-bersih ketimbang memasak. "Tanpa masak, makanan saat itu sudah tersedia dan terjamin, membuat saya makin tidak mau masak," kilah perempuan yang pernah memperoleh penghargaan Juara I tari Bali se-DKI.
Menapaki perjalanan dalam dunia tari menuntun Ratna tertarik dalam bidang kesenian lainnya, yaitu seni peran. Saat menyaksikan penampilan teater Arifin C Noer, timbul rasa penasaran dan ketertarikan untuk mendalaminya. Meski, orangtuanya sempat menentang, Ratna tetap nekat.
Kesungguhan untuk menggeluti dunia seni peran tersebut mempertemukan Ratna pada pasangan hidupnya, Nano. Mereka menikah pada 28 Juli 1978. Lalu mereka membentuk Teater Koma. Sebagai salah satu motor Teater Koma, Ratna ingin menyebarkan kedamaian, dialog, dan toleransi. (E16/Fransisca Natalia Anggraeni)
Ratna Riantiarno
Manado, 23 April 1952
Pendidikan:
- SD Sumbangsih, Jakarta (1958-1964)
- SMPN 1 Cikini, Jakarta (1964-1967)
- SMAN 3 Jakarta (1967-1970)
- Akademi Sekretaris ISWI Jakarta (1970-1971)
Aktifitas Seni
- Bergabung dengan sanggar tari Yasa Sedaya (1968)
- Bergabung dengan sanggar tari Yayasan Seni Budaya Saraswati (1969)
- Bergabung dengan Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noor (1969)
- Menjadi Manajer pelaksana Indonesia Modelling Agency (1976-1978)
- Mendirikan Teater Koma (1977)
- Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1993-2004)
- Aktif di Forum Apresiasi Seni pertunjukan yang didanai Ford Foundation (1997-2007)
Karier
- Penari tetap di restoran Ramayana, New York, Amerika Serikat (1975-1976)\
- Bekerja di PT Chubb Lips Indonesia (1980-1987)
- Bekerja di Majalah Pertiwi (1987-1988)
Pencapaian
- Juara I tari Bali se DKI
- Memperoleh grant dari pemerintah Amerika Serikat untuk kunjungan budaya selama sebulan dalam program The Role of Theatre in US Society (2000)
- Golden Music Theatre Award dari yayasan Pendidikan Music (2002)
- Penghargaan Femina kategori Wanita Berprestasi di Bidang Seni Teater (2007)
- Tupperware She-Can Award sebagai wanita berprestasi di bidang Seni Teater (2011)
- Pemeran Pembantu Wanita Terpuji dari Festival Film Bandung (2011),