Hapsa Salampessy, Berkilo-kilometer Jalan Kaki Demi Merawat Warga Pedalaman
Dua puluh lima tahun merintis karier dari kampung hingga di kota, belum sepenuhnya membuat Hapsa Salampessy puas. Ia merasa pengabdiannya belum sempurna lantaran banyak warga pedalaman Pulau Seram belum menikmati layanan kesehatan. Kini, ia mendedikasikan diri untuk merawat warga pedalaman, meski harus berjalan kaki dari kampung ke kampung.
Berjalan kaki mendatangi kampung-kampung di pelosok Pulau Seram menajadi semacam saluran pelampiasan atas gejolak batin yang dia alami selama menjadi aparatur sipil negara yang bertugas di wilayah Seram Bagian Barat tahun 1993. Kala itu, ia sering menangani pasien dari gunung yang sudah dalam keadaan gawat sehingga tak tertolong.
Pasien dari gunung dibawa ke puskesmas di pesisir dengan cara digotong beramai-ramai. Mereka berjalan kaki selama berhari-hari. Itu belum terhitung banyaknya orang sakit yang terpaksa memendam penyakit hingga menanti dijemput malaikat maut. Tak terkira pula banyaknya ibu hamil yang meninggal bersama janinnya lantaran tak tertolong.
Pengalaman Hapsa itu masih terjadi hingga saat ini. Pada Oktober lalu, seorang anak balita asal Desa Maraina yang mengalami gizi buruk digendong orangtuanya berjalan kaki selama tiga hari tiga malam. Mereka menyeberangi 48 sungai dan anak sungai serta tantangan lainnya dalam jarak tempuh lebih kurang 60 kilometer.
Miris karena kisah yang saya alami lebih dari 20 tahun lalu ini masih ada sampai sekarang
“Miris karena kisah yang saya alami lebih dari 20 tahun lalu ini masih ada sampai sekarang. Hal itu yang mendorong saya ingin berbuat dengan cara saya sendiri. Kalau saya hanya mengikuti alur dalam birokrasi, agak lambat. Apalagi, kewenangan saya kan terbatas. Solusinya adalah berbuat. Jangan hanya berharap pada program pemerintah,” kata Hapsa.
Memberi pengobatan gratis bagi pasien kurang mampu yang selama bertahun-tahun dia lakukan di kota dan pusat-pusat kecamatan pun rasanya belum cukup. Tahun 2015, ibu tiga anak yang kini berusia 44 tahun itu memutuskan untuk masuk ke pedalaman di sisi utara Pulau Seram. Bersama Hapsa, ikut juga guru, dokter, dan beberapa lainnya. Hapsa sendiri perawat merangkap bidan.
Tertampar keadaan
Setelah menempuh perjalanan dengan mobil sekitar 4 jam dari Masohi, ibu kota Maluku Tengah, Hapsa dan teman-temannya berjalan kaki selama tiga hari tiga malam hingga mencapai kampung paling jauh. Mereka mendatangi kampung Kaloa, Elemata, Hatuwolo, Manusela, dan Maraina. Kampung-kampung tersebut merupakan wilayah paling terisolasi di Pulau Seram.
Pulau Seram merupakan pulau terbesar di Maluku dengan luas lebih kurang 17.100 kilometer persegi. Di Pulau Seram terdapat tiga kabupaten. Dalam kosmologi masyarakat Maluku, Pulau Seram merupakan tempat dimulainya kehidupan manusia yang kemudian menyebar ke pulau-pulau lain. Itulah alasan Pulau Seram disebut juga Nusa Ina, yang berarti “pulau ibu”.
Lewat perjalanan pertama itu Hapsa merasa tertampar. Di saat pemerintah, termasuk dirinya yang bertugas di Dinas Kesehatan Maluku Tengah, mengklaim keberhasilan dalam bidang kesehatan, ternyata banyak warga pedalaman belum merasakan layanan kesehatan yang baik. Bahkan, banyak dari mereka yang belum dijamah tenaga medis sejak lahir hingga meninggal.
Banyak anak belum diimunisasi, kasus gizi buruk, dan ibu hamil yang belum diperiksa adalah fakta yang ia temukan di pedalaman. Mereka lalu melakukan pengobatan dengan alat serta obat seadanya. Perjalanan yang jauh membuat mereka tidak dapat membawa banyak barang. Meski begitu, masyarakat yang selama ini merindukan kehadiran petugas medis menyambut mereka dengan haru.
Sepulang dari perjalanan pertama itu, Hapsa lalu membentuk komunitas dengan mengajak lulusan pendidikan kesehatan dan guru. Beberapa anak muda yang tertarik mengabdi ke pedalaman pun bergabung. Hingga kini, mereka sudah enam kali melakukan perjalanan ke pedalaman. Untuk satu kali perjalanan mereka menghabiskan waktu paling cepat enam hari.
Saat berkunjung ke kampung-kampung, para perawat mengobati orang sakit, sedangkan para guru mengajar. Banyak desa di pedalaman tidak memiliki sekolah. Jika ada pun itu berupa sekolah darurat dengan tenaga pengajar warga setempat yang dianggap punya kecakapan mengajarkan baca, tulis, dan hitung. Ada juga kampung-kampung yang memiliki sekolah permanen tapi tidak ada guru.
Setelah enam kali perjalanan mendaki utara Seram, Januari tahun depan Hapsa dan komunitasnya akan menyusuri sisi selatan Seram dengan mendatangi Desa Piliana. Saat didatangi Kompas November lalu, ditemukan kasus gizi buruk di Piliana. Di desa yang sering dijuliki “negeri di atas awan” itu tidak ada petugas kesehatan. Layanan puskesmas keliling pun tidak menentu.
Layanan kesehatan di desa itu dilakukan oleh seorang warga desa yang baru saja tamat sekolah keperawatan. Namun, apabila ada warga yang sakit parah, harus dibawa ke ibu kota kabupaten yang berjarak lebih kurang 130 kilometer.
Saya seorang Muslim dan anak-anak di pedalaman itu hampir semuanya Kristen. Saya bilang sama orangtua, jangan khawatir, saya tetap menjaga anak ini. Ke gereja saya akan antar dia
Hapsa tidak memiliki target berapa banyak lagi kampung yang akan dia datangi. Selain kesibukannya sebagai Kepala Seksi Surveilans dan Imunisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Maluku Tengah, Hapsa sendiri tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk membiayai perjalanan mereka.
Penggalangan dana selama ini dilakukan dengan cara penjualan bazar dengan bonus sosialisasi kesehatan kepada pembeli, pentas baca puisi, dan sumbangan dari donatur lokal. Kekurangannya ditutupi dari kantong pribadi.
Melahirkan relawan
Target akhir Hapsa adalah melahirkan relawan yang berasal dari kampung-kampung pedalaman. Para relawan itulah yang nantinya menjadi penggerak. Cara melahirkan relawan adalah mengajak mereka bergabung hingga menyekolahkan mereka. Saat ini, Hapsa sedang membiayai kuliah seorang anak pedalaman.
“Saya seorang Muslim dan anak-anak di pedalaman itu hampir semuanya Kristen. Saya bilang sama orangtua, jangan khawatir, saya tetap menjaga anak ini. Ke gereja saya akan antar dia. Yang saya lihat adalah dia sebagai anak pedalaman yang harus didukung untuk meraih cita-cita,” kata perempuan berhijab itu.
Selama melayani masyarakat pedalaman tanpa pamrih itu, Hapsa menemukan banyak faktor yang menyebabkan masalah kesehatan di pedalaman tidak pernah tuntas. Di antaranya adalah minimnya infrastruktur, masalah pangan, tak ada tenaga medis, dan pola hidup tidak sehat. Hapsa dapat memetakan masalah itu karena dirinya datang dan mengalami langsung.
Diakuinya, keinginan mengabdi di pedalaman mengalahkan tantangan seperti meninggalkan keluarga berhari-hari. Melayani masyarakat pedalaman memang butuh totalitas diri. Kendati banyak yang tidak tertarik ke pedalaman, ia yakin banyak pula yang ingin datang ke sana tapi belum menemukan momentumnya.
Hapsa Salampessy
Lahir: 5 Mei 1974
Anak: tiga orang
Pendidikan terakhir:
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Tamalatea, Makassar 2003