Lusia Efriani Kiroyan Melahirkan Cinderella dari Balik Jeruji
Kesibukannya sebagai pengusaha arang tempurung kelapa tak menghalangi niat Lusia Efriani Kiroyan (38) untuk berkegiatan sosial. Lusia menggandeng warga binaan perempuan membuat boneka Cinderella bermotif batik Indonesia. Hasil kreasinya lalu dibagikan kepada anak-anak disabilitas dan kanker di Asia Tenggara.
Boneka-boneka karya narapidana itu diberi nama Batik Girl. Nama itu diberikan karena pada dasarnya boneka-boneka Cinderella yang menggunakan paduan kostum batik. Boneka itu kualitasnya tak kalah dari produk-produk dari luar negeri.
Ide membuat Batik Girl berawal ketika Lusia mengikuti program International Visitor Leadership Program (IVLP) di Amerika Serikat. Saat berada di negeri Paman Sam, Lusia rajin mengenakan baju dari kain batik atau tenun. Dari situlah dia mendapat julukan ”Doll from Indonesia” karena penampilannya yang anggun, rapi, memikat, dan memiliki ciri khas tersendiri.
Dalam pembuatan bonekanya, Lusia memilih mengajak perempuan narapidana. Pembuatan Batik Girl, baginya merupakan kegiatan untuk mengisi waktu sekaligus menjadi salah satu terapi bagi narapidana selama menjalani masa hukuman.
Sejak pertama kali diproduksi pada 2013, ada sekitar 1.000 perempuan narapidana di Rumah Tahanan (Rutan) Batam; Rutan Pondok Bambu, Jakarta; Rutan Denpasar; Rutan Surabaya, dan Rutan Madiun yang mengerjakan boneka-boneka itu. Sebanyak 80 persen narapidana yang terlibat merupakan anak muda berusia produktif yang terjerat kasus narkoba.
Sebelum mulai membuat boneka, Lusia memberikan pelatihan kepada narapidana selama tiga hari. Pelatihan itu meliputi teori dan praktik membuat baju boneka, mulai dari membuat pola hingga memotong kain-kain. Mereka dibebaskan berkreasi dalam membuat Batik Girl.
“Meskipun dibuat dari bahan dan tangan-tangan yang sama, tak ada satu pun boneka yang identik. Boneka-boneka memiliki motif dan aksesoris yang berbeda karena saya ingin mengasah kreativitas narapidana,” kata Lusia di Surabaya, pekan lalu.
“Meskipun dibuat dari bahan dan tangan-tangan yang sama, tak ada satu pun boneka yang identik. Boneka-boneka memiliki motif dan aksesoris yang berbeda karena saya ingin mengasah kreativitas narapidana,” kata Lusia.
Setiap narapidana mendapatkan imbalan sebesar Rp 10.000 dari setiap boneka yang dikerjakan. Dalam sehari, mereka bisa membuat satu hingga tiga buah boneka. Dalam satu jangka waktu pemesanan, sebanyak 1.000 boneka dibuat
Tidak semua bahan yang digunakan untuk membuat Batik Girl dibeli. Kain batik dan aksesori Batik Girl buatan narapidana merupakan sumbangan dari warga.
Lusia hanya membeli boneka untuk bahan baku. Modal awal yang saat itu dikeluarkan untuk membuat boneka sebesar Rp 10 juta berasal dari uang pribadinya.
Batik Girl buatan narapidana itu dijual seharga Rp 150.000 per boneka. Menurut Lusia, boneka buatan narapidana ini tidak kalah berkualitas dibandingkan produk serupa dari luar negeri. "Bahkan Batik Girl dinilai lebih baik karena berbeda satu dengan lainnya serta dibuat langsung dengan tangan," ujarnya.
Meskipun demikian, Lusia mengaku masih kesulitan memasarkan Batik Girl.
Minat pembeli Batik Girl buatan perempuan narapidana dari dalam negeri tidak setinggi di luar negeri. Sehingga mayoritas pembeli Batik Girl justru berasal dari luar negeri, di antaranya Australia dan Amerika Serikat.
Keuntungan yang diperoleh dari penjualan itu digunakan untuk membeli bahan baku dan mencetak boneka-boneka kembali. “Di Amerika Serikat pun, perusahaan lingerie seperti Victoria\'s Secret juga memberdayakan narapiana untuk membuat beberapa produknya,” kata Lusia.
Gerakan satu teman
Untuk menyiasati rendahnya minat pembeli, Lusia membuat gerakan “one friend one doll”. Program ini dibuat karena dia menilai penjualan Batik Girl melalui toko dan road show di berbagai tempat kurang efektif. Boneka-boneka itu disumbangkan kepada anak-anak disabilitas dan kanker.
“Saya tidak berjualan boneka, namun menyebarkan misi sosial untuk memberdayakan perempuan narapidana dan memberikan teman kepada anak-anak disabilitas dan kanker,” kata Lusia. Dengan membeli satu boneka, berarti sudah membantu pemberdayaan narapidana dan kegiatan sosial untuk anak-anak yang membutuhkan.
Untuk itu, dia membuka donasi kepada warga yang ingin menyumbangkan uangnya melalui Yayasan Cinderella from Indonesia. Hasilnya digunakan untuk membeli bahan baku serta membayar upah perempuan narapidana pembuat boneka.
"Saya tidak berjualan boneka, namun menyebarkan misi sosial untuk memberdayakan perempuan narapidana dan memberikan teman kepada anak-anak disabilitas dan kanker,” kata Lusia.
Selain itu, Lusia juga berburu dana hibah dari dalam dan luar negeri untuk, misalnya hibah dari Kedutaan Besar Amerika Serikat. Dia juga pernah memperoleh dana hibah setelah keluar sebagai salah satu pemenang kompetisi Youth South East Asia Leaders Initiative (YSEALI) yang diselenggarakan Pemerintah AS untuk pemuda ASEAN.
Aksi “one friend one doll” dimulai pada 2015. Sebanyak 1.000 Batik Girl yang diproduksi oleh perempuan narapidana dibagikan kepada anak-anak disabilitas dan kanker di 10 provinsi di Indonesia. Program ini disebutnya dengan "Batik Girl for Indonesia".
Sukses memproduksi dan membagikan 1.000 boneka, Lusia melebarkan gerakan ini ke tingkat Asia Tenggara. Pada 2018, dia memulai program "Batik Girl for Asean" dengan target membagikan 10.000 Batik Girl untuk 10 negara Asia Tenggara selama tiga tahun.
Kegiatan sosial bukanlah hal haru bagi Lusia. Sejak 2018, lulusan Universitas Airlangga, Surabaya, ini merintis kegiatan sosial di Batam, tempat tinggal dan lokasi perusahaannya saat ini. Di Batam, dia memberdayakan anak jalanan dan ibu-ibu mereka, pengidap HIV/AIDS, dan perempuan orangtua tunggal.
Dia menggelar aneka pelatihan, seperti membuat es krim, cokelat, dan kue-kue, serta kewirausahaan. Lusia khusus membeli satu unit ruko yang terdiri atas tiga lantai yang ia buat sebagai rumah singgah dan rumah belajar ”Cinderella from Indonesia Center”.
Ibu dari Nailah Parahita dan Muhammad Abstrax, ini juga manusia biasa dia tak luput dari cobaan. Dia pernah terpuruk hingga ke titik nol karena kegagalan perkawinan yang juga membawanya jatuh miskin. Pengalamannya untuk bangkit kembali ia bagikan kepada orang-orang kurang beruntung. “Hidup bisa lebih berwarna ketika bisa berbagi dengan orang lain,” ucapnya.
Melalui berbagi boneka, Lusia terus menebar kebaikan kepada sesama.
Mengajak perempuan-perempuan untuk lebih berdaya serta memberikan teman kepada anak-anak disabilitas dan kanker.
Lusia Efriani Kiroyan
Lahir : Surabaya, 1 Agustus 1980
Pendidikan :
-Jurusan Sastra Inggris, Universitas Airlangga, Surabaya
-SMA Negeri 2 Surabaya
-SMP Negeri 1 Surabaya
-SDK ST. Theresia I Surabaya
Pekerjaan :
-Pendiri Yayasan Cinderella From Indonesia Center
-Pemilik PT General Carbon Industry Batam
Penghargaan :
-Pemenang Skema Hibah Alumni 2017 dari Australia Awards Indonesia
-Pemenang kompetisi Youth South East Asia Leaders Initiative 2015.
-Perempuan paling berpengaruh 2015 versi Majalah Her World.