Dwi Suratno Hadi Menjalin Persaudaraan dengan Kopi
Menjelajah dari desa ke desa di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, dan berbagi ilmu tentang kopi kepada petani, Dwi Suratno Hadi (42) tidak bertujuan mengejar sesuatu demi materi. Dia hanya ingin berbagi kecakapan dan menawarkan persaudaraan dengan kopi.
Dalam menjalankan misi berbagi ilmu kopi, Dwi tidak ingin dihargai dengan nominal uang. Selain karena didasari niat dan keinginan pribadi, dia beranggapan uang hanya menawarkan kesenangan sesaat. Sebaliknya, dengan memberikan semuanya tanpa hitungan biaya, dia merasa mendapatkan ikatan persaudaraan dan kesenangan berlipat-lipat.
Ikatan persaudaraan dengan banyak orang itulah diyakini Dwi akan semakin memudahkan hidup dirinya. ”Banyak kenalan akan membuat saya tidak sendirian saat menghadapi masalah. Setidaknya, saya tidak perlu khawatir saat ban motor bocor, atau kelaparan di tengah jalan,” ujar Dwi, yang sebenarnya warga pendatang di Kabupaten Temanggung itu.
Semangat mencari ”saudara” itulah yang menggerakkan langkah Dwi untuk berkeliling, mengajarkan teknik bertanam kopi, hingga penanganan pascapanen. Dia juga membuka jaringan pemasaran dengan mengenalkan kelompok-kelompok tani kepada eksportir kopi jaringannya. Melalui jasanya, kopi produksi petani desa merambah hingga ke pasar Eropa.
Banyak kenalan akan membuat saya tidak sendirian saat menghadapi masalah. Setidaknya, saya tidak perlu khawatir saat ban motor bocor, atau kelaparan di tengah jalan.
Dwi juga tidak segan berbagi ilmu tentang kopi kepada banyak orang dari beragam profesi. Dalam kesehariannya sebagai seorang barista di kedai kopi di Wana Wisata Umbul Jumprit di Desa Tegalrejo, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, dia sering berbagi informasi, pengetahuan perihal kopi, kepada para turis, termasuk kepada sesama barista.
Ia tidak khawatir ilmu dan keterampilannya dicontek. Dwi justru bahagia karena kini mendapat banyak teman. Dia dikenal oleh banyak barista dari sejumlah daerah, seperti Jakarta, Bandung, dan kota-kota di Bali.
Kemampuan di bidang budidaya dan pengolahan kopi serta komitmennya membantu petani membuat Dwi banyak dicari untuk membantu pengembangan kopi di beberapa daerah. Terakhir, dia menerima permintaan untuk terlibat dalam proyek pengembangan kopi di Bengkulu dan Tegal.
Buta kopi
Sebelumnya, Dwi bukanlah pakar di bidang kopi. Tahun 2004 hingga tahun 2009, dia justru bekerja di perusahaan pertambangan. Namun, karena melihat kinerja perusahaan mulai tidak prospektif, dia mengundurkan diri sebagai karyawan.
Saat sedang menganggur, seorang teman meminta Dwi agar ikut menemani, mengembalikan mobil pinjaman ke Gayo, Aceh. Sesampainya di sana, dia justru terkesan pada alam dan pertanian hortikultura serta kopi yang demikian luas.
Kekayaan potensi alam tersebut menarik minat Dwi untuk terlibat di dalamnya. Ketika teman sudah menyelesaikan urusan dan mengajaknya pulang, Dwi justru memilih untuk tetap tinggal dan bertani.
Bekal uang tabungan dan uang pesangon yang didapatkan dari kantornya terdahulu digunakannya untuk berpindah-pindah tempat, mempelajari cara bertani hortikultura dan budidaya kopi.
Dari pengalamannya bertani, Dwi melihat bahwa ada yang salah dalam perilaku petani. Tanah di Aceh sangat subur, tetapi petani sangat bergantung pada pupuk kimia.
Dwi yang gemas melihat kondisi tersebut akhirnya mencoba belajar tentang pertanian organik kepada petani lain, dan juga kepada tokoh pengusaha Bob Sadino (almarhum).
Untuk kopi, misalnya, pupuk organik dibuatnya dari kulit kopi dan lender sisa fermentasi kopi. Dia pun membandingkan antara produk organik dan non-organik. Kesimpulannya, kualitas produk organik jauh lebih baik.
Setelah itu, Dwi pun kembali berkeliling, mengajak petani untuk mulai menjalankan sistem organik pertanian. Selain demi kesehatan tanah dan lingkungan, pertanian organik juga dapat meningkatkan harga jual produk pertaniannya.
Menginjak tahun kedua di Aceh, Dwi pun memutuskan untuk memfokuskan diri pada kopi. Setelah Aceh, dia memilih untuk bergeser, mempelajari kopi ke Wamena, Papua, kemudian berpindah lagi ke Toraja, dan Kintamani, Bali. Selain belajar tentang budidaya, di semua tempat tersebut dia pun belajar tentang proses pascapanen.
Tahun 2013, Dwi diundang oleh salah satu instansi pemerintah untuk bergabung dalam proyek penanaman sengon keliling Jawa Tengah. Dari proyek tersebut, dia mendapatkan pengalaman menarik di Kabupaten Temanggung.
Di sana, Dwi melihat banyak pohon sengon ditanam bersama dengan tanaman kopi di sekitarnya. Namun, di sana, budidaya dan pengolahan hasil tanaman kopi tidak dilakukan dengan serius. Petani bahkan tidak terbiasa mengonsumsi kopi produksinya sendiri. ”Saat di sana, kami sebagai pendatang juga lebih banyak dijamu dengan minuman kopi pabrikan,” ujarnya.
Tak berapa lama setelah pengalaman tersebut, Dwi diajak oleh salah seorang rekan untuk bekerja di Wali Limbung Coffee, sebuah industri kopi sekaligus kafe di Kabupaten Temanggung. Sembari bekerja, dia pun memperkaya dirinya dengan ilmu tentang memproses dan meracik kopi.
Dwi pun akhirnya menepiskan pekerjaan formalnya dan memutuskan untuk mengajari dan berbagi ilmu tentang kopi kepada petani.
Ditolak
Tahun 2015, sebagai tujuan pertama, Dwi mendatangi satu desa di Kecamatan Wonoboyo. Sebagai warga pendatang yang sama sekali asing, kehadiran Dwi ditolak oleh para petani setempat.
Semua ide dan gagasannya ditolak mentah-mentah. Petani menolak saat Dwi meminta agar mereka beralih untuk memanen kopi saat sudah berwarna merah.
Namun, Dwi pantang menyerah. Bekerja sama dengan sejumlah petani lainnya, dia pun menerapkan semua ”teori” yang telah dipelajari, dan menerapkannya di lahan. Sekitar tiga bulan kemudian, banyak petani akhirnya memercayai Dwi.
Teknik budidayanya terbukti berdampak baik pada pertumbuhan tanaman.
Kabar keahlian Dwi di bidang kopi pun menyebar. Banyak petani dari beberapa desa dan daerah beramai-ramai meminta pendampingan dari Dwi. Tidak sekadar di Temanggung, dia pun kini juga mendampingi sejumlah petani kopi di Kabupaten Magelang.
Dia telah melakukan pendampingan pada ratusan kelompok petani kopi. Untuk itu, Dwi hanya mau dibayar jika dirinya direkrut pemerintah daerah saja. Selebihnya, dia menolak uang jasa saat kelompok tani meminta pendampingan.
Dwi pun membantu mencarikan pasar untuk kopi produksi petani. Berbekal relasi dan kenalan, dia pernah membantu mengirim empat kontainer kopi Temanggung ke Korea.
Dia pun intens mempromosikan kopi Temanggung melalui komunitas dan media sosial. Dari upaya itulah, banyak orang asing datang dan membeli kopi Temanggung sebagai buah tangan.
Dwi berhasil mengembangkan nilai penting dari kopi: menjalin persaudaraan dan mengembangkan kebanggaan petani akan kopi produksi sendiri.
Dwi Suratno Hadi
Lahir: Jakarta, 25 September 1976
Pendidikan terakhir: D-3 Teknik Industri UPN Veteran, Jakarta