Harkopo Lie Merawat Jejak Bioskop Tua
Kisah layar tancap dan bioskop era 1970-an mungkin hampir dilupakan. Namun, tak terbayangkan, sampai 50 tahun kemudian, Harkopo Lie (59) tetap merawat mesin-mesin tua pemutar film beserta perlengkapannya. Artefak itu menghidupkan kembali nostalgia tempo dulu.
Lewat Festival Budaya Bioskop Jambi yang digelar sejak akhir November hingga Desember ini, Harkopo membawa kembali nostalgia bioskop ke masa kini. Puluhan mesin pemutar film kuno alias proyektor berusia hampir seabad bisa dilihat langsung dalam museum bioskop miliknya di kawasan Hayam Wuruk, Kota Jambi, lengkap gulungan rol filmnya.
Tampak pula sederetan kursi penonton di masa itu, loket masuk, karcis tiket, senter, hingga seragam para penjaga loket. Yang tak kalah menarik, ribuan poster film tempo dulu masih tersusun rapi dalam puluhan rak. Beberapa di antaranya dibentangkan kembali. Tampaklah adegan-adegan seru mulai dari yang menggambarkan konflik hingga romansa.
Melihat poster dan baliho itu mengingatkan kita akan semarak perfilman tanah air di masa lalu, mulai dari film kolosal seperti Tutur Tinular, hingga film horor dan percintaan macam Si Manis Jembatan Ancol, Pembalasan Laut Selatan. Selain itu, ada pula film-film laga impor seperti yang diperankan Bruce Lee atau Arnold Schwazeneger. Jangan heran, sebagian poster tersebut merupakan hasil goresan tangan Harkopo sendiri.
Dunia Harkopo memang tak pernah jauh dari film dan bioskop. Sejak dirinya masih kecil, ayahnya membangun bioskop mini di bagian belakang rumah mereka di Jambi. Di ruang itulah bangku-bangku disusun. Harkopo yang merupakan anak kedua dari 20 bersaudara pun rutin menonton film bersama-sama saudaranya.
Kecintaan pada gambar mendorongnya merantau ke Jakarta pada usia remaja. Harkopo tak melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama, melainkan memilih jalur seni. Ia mengambil kursus melukis.
Ketika mulai mahir melukis, ia pun mulai mendapatkan tawaran untuk melukis poster dan baliho film. Harkopo sangat senang, sebab untuk melukis poster, ia terlebih dulu menyaksikan filmnya. Dengan demikian, ia selalu mendapatkan jatah nonton duluan sebelum film-film itu diputar di bioskop.
Usaha bioskop
Kegemaran menonton film mendorong keluarga besarnya membangun usaha bioskop di Jambi. Harkopo masih ingat, sebelum tahun 1970, dunia hiburan amat sepi di kota itu. Hanya ada sebuah bioskop kecil yang sudah hampir mati.
Kakak dan ayahnya lalu memperbaiki dan menghidupkan lagi bioskop kecil yang kemudian diberi nama Mega. Harkopo yang telah menjadi pelukis baliho film di Jakarta dipanggil pulang kampung untuk membantu bisnis bioskop.
Kehadiran bioskop baru rupanya menarik minat orang menonton. Bioskop itu berkembang pesat. Mereka lalu membangun lagi bioskop di beberapa tempat. Sepanjang 1970 hingga 1980-an, telah berdiri 12 bioskop di Kota Jambi. Jaringan terus diperluas hingga luar daerah, mulai dari Kuala Tungkal, Muara Sabak, Muara Bungo, Sarolangun, hingga Kerinci. Total ada 20 bioskop di seluruh wilayah Jambi.
Bersama sang kakak, Arwin Lie, Harkopo juga menjalankan bioskop keliling ke pelosok daerah. Film layar lebar diputar di tengah lapangan terbuka ataupun di gedung-gedung sekolah. “Perjalanan ke daerah biasanya harus menempuh medan yang sulit, melintasi sungai dan jalan yang belum beraspal, bahkan belum bisa dilalui mobil,” kenangnya.
Peralatan dan perlengkapan layar tancap dikemas sedemikian rupa agar siap untuk menempuh perjalanan jauh dan medan yang berat.
Memasuki tahun 1990-an bioskop tanah air menghadapi tantangan baru. Tayangan televisi swasta dan video rumahan mulai marak. Berlanjut dengan tumbuhnya bioskop-bioskop baru jaringan dunia yang mengandalkan teknologi baru dan kenyamanan baru.
Menonton di bioskop tua pun tak lagi dianggap nyaman. Perlahan bioskop-bioskop mulai kehilangan penonton. Apalagi biaya untuk mengoperasikan mesin-mesin proyektor tua semakin membengkak. Untuk menayangkan sebuah film biaya yang dibutuhkan sebesar harga karcis 50 penonton. Bisa dibayangkan betapa megap-megapnya pengelola bioskop jika penonton yang datang hanya segelintir, jauh di bawah 50 orang.
Tak sampai di situ, usaha poster dan baliho film pun menghadapi tantangan serupa. Poster film bioskop mulai diproduksi dengan mengandalkan kemudahan digital. Selain lebih murah, produksinya pun lebih hemat waktu. Berbeda dengan melukis di atas kain kanvas berukuran besar yang membutuhkan waktu produksi beberapa hari.
Bisnis bioskop lokal dan jasa pelukis baliho film akhirnya semakin tergilas. Harkopo yang baru saja menyelesaikan pembangunan gedung bioskop terbaru di kompleks rumahnya terpaksa mengambil langkah lain. Gedung itu tak jadi beroperasi.
Sebagai gantinya, Harkopo memanfaatkan lantai dasar gedung menjadi pusat kuliner dan galeri seni The Tempoa. Sementara itu, lantai dua tidak bisa dimanfaatkan karena bentuk lantainya yang miring sebagaimana bioskop pada umumnya.
Tetap merawat
Meskipun kisah biskop tempo dulu tinggal cerita, Harkopo bertekad tetap merawat seluruh isinya. Saat itu, ia meyakini benda-benda memiliki nilai sejarah. Peninggalan masa lalu, baik poster maupun mesin-mesin tua tak sekadar menghadirkan nostalgia. Seluruh peninggalan itu merupakan penanda sebuah peradaban.
Informasi tentang keberadaan koleksi bioskop tempo dulu pun akhirnya dilirik Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta. Para peneliti dan mahasiswa seni turut mencatat dan mendokumentasikan seluruh koleksi baliho buatannya sebagai bagian dari program Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Belakangan diketahui ternyata jumlahnya ada 1.080 baliho.
Sempat baliho-baliho itu ditawar oleh para kolektor, namun Harkopo bergeming. Menurutnya, baliho-baliho itu merupakan aset sejarah dan bermanfaat untuk riset. Dari situlah berbagai aspek dapat dipelajari, mulai dari kesenian, teknologi, bisnis, dan kebudayaan masyarakat. “Dapat terpotret pokok-pokok perjalanan penting dari budaya yang terkait dengan bioskop,” lanjutnya.
Ia berharap, seluruh aset itu dapat menginspirasi masyarakat untuk mengembangkan peradaban ke depan yang lebih baik.
Harkopo Lie
Lahir: Jambi, 12 November 1959
Istri: Lim Lie Lie (51)
Anak: Erick Masterlie (27), Willie Syahputra (23), dan Jeanly Syahputri (21)
Kegiatan:
- Pelukis baliho dan poster film tempo dulu
- Pendiri galeri seni Tempoa Art Gallery (2015)