Hartono, Perajin Tas Gitar dari Kembangan
Jeli melihat peluang dan tabu untuk menyerah. Dua hal itu bagaikan mantra bagi Hartono (48) setelah bangkrut digempur krisis ekonomi 1998. Di saat hampir seluruh tetangga kampungnya membuat gitar, dia putuskan memproduksi tas gitar.
Ruangan rumah bagian depan berukuran sekitar 10 meter x 6 meter di Dukuh Kembangan, Desa Mancasan, Kecamatan Baki, Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (9/11/2018) pagi nampak ramai. Beberapa pekerja nampak menyelesaikan aneka tas gitar bermacam bahan dan model. Di ruangan ini, Hartono dan para pekerjanya setiap hari membuat sekitar 20 lusin aneka tas gitar.
“Sekarang saya kewalahan memenuhi pesanan. Kemampuan produksi masih kurang dibandingkan pesanan,” ujar Hartono.
Kini setidaknya, Hartono memroduksi 25 macam model dan ukuran tas, antara lain tas gitar akustik, tas gitar elektrik, tas ukulele, dan lainnya. Tas-tas berjenis softcase itu dibuat dari bahan kain sintetis 600D (denier) yang sangat umum digunakan untuk tas ransel. Ada juga tas gitar dari bahan kulit imitasi. Menurut dia, permintaan tas sebenarnya sampai 23-25 lusin per hari, tapi hanya bisa dipenuhi 20 lusin.
Sekarang saya kewalahan memenuhi pesanan. Kemampuan produksi masih kurang dibandingkan pesanan.
Pada mulanya, Hartono dan Tumiyem (48) istrinya, juga menggeluti usaha pembuatan gitar seperti hampir semua warga Dukuh Kembangan. Kemampuan itu diperoleh secara otodidak dari ayahnya, Minarto (almarhum). Sebelum Hartono lahir, Minarto bekerja di tempat pembuatan gitar di Semanggi, Solo. Ia kemudian membuka usaha sendiri di rumahnya di Kembangan. Karena itulah, sedari kecil, Hartono sudah begitu akrab dengan proses produksi gitar.
Kepiawaian Minarto ditularkan kepada putranya serta banyak warga di Kembangan, Mancasan yang kini dikenal sebagai sentra industri kecil menengah gitar. “Sejak kecil saya lihat orang bikin gitar, akhirnya ikutan,” katanya.
Gulung tikar
Kepiawaian Hartono membuat gitar membuatnya sempat direkrut produsen gitar bermerek di Bogor, Jawa Barat. Ia mengajak serta 60 orang warga Kembangan. Namun, Hartono kemudian keluar karena perusahaan tempatnya bekerja itu terus menaikkan target produksi tanpa menambah upah perajin.
Dia sempat berlabuh bekerja di pabrik gitar ternama di Jakarta. Namun akhirnya memutuskan pulang ke kampung halaman untuk meneruskan usaha gitar sang ayah.
Jumlah karyawannya kala itu lebih kurang 12 orang. Setiap minggu, mereka mampu memproduksi 10-15 lusin gitar. Tanpa diduga, krisis ekonomi melanda. Harga bahan baku gitar melonjak. Di sisi lain, penjualannya terus merosot. Hartono kelimpungan mengelola usahanya hingga akhirnya gulung tikar. Ia pun merantau ke Kalimantan Timur.
“Saya bekerja di perusahaan tambang batu bara. Gajinya besar, tapi saya hanya betah tiga bulan disana. Gaji saya tabung untuk tambahan modal usaha,” katanya.
Hartono pun pulang dengan tekad bulat membesarkan usaha tas gitar yang dirintis Tumiyem, sang istri. Sebelum membuka usaha sendiri, sejak 1995, Tumiyem bekerja kepada Salimin (almarhum), tetangganya yang memiliki usaha tas gitar. Setelah roda bisnis tempatnya bekerja menurun sepeninggal Salimin, Tumiyem lantas membuka usaha sendiri.
Mengantongi modal tambahan, Hartono fokus mengembangkan usaha tas gitar bersama istrinya. Ia berinovasi dengan mendesain dan membuat tas gitar dengan model-model baru. "Istri saya dulu hanya membuat satu jenis tas yang sangat sederhana modelnya," kata dia.
Kreativitas Hartono membuahkan hasil. Toko-toko grosir alat musik di Kembangan melirik produknya. Pesanan mulai mengalir. Ia juga menerima pesanan tas dari para pemusik keroncong. Tanpa banyak kesulitan, Hartono mampu memenuhi permintaan mereka. Tak hanya tas gitar dan alat musik petik lainnya, Hartono juga membuat tas keyboard.
Perlahan, usaha tas gitarnya terus berkembang. Dari satu mesin jahit bertambah menjadi dua dan seterusnya. Kini Hartono memiliki 16 mesin jahit. Delapan mesin jahit ditempatkan di rumah. Adapun delapan mesin jahit lain dipinjamkan kepada karyawannya agar mereka bisa bekerja lembur di rumah masing-masing.
Hartono dan istri merekrut ibu-ibu warga Kembangan sebagai karyawan. “Dulu hanya saya dan istri saja. Sekarang sudah ada delapan penjahit dan tiga karyawan di bagian pemotongan bahan,” tuturnya.
Prospektif
Dibanding gitar, Hartono lebih bersemangat mengembangkan usaha tas gitar. Prospek usahanya dia nilai menjanjikan karena tingkat persaingan lebih rendah. Itu membuatnya tertantang menghasilkan karya-karya inovatif. “Di Kembangan, hampir semua rumah membuat gitar tetapi hanya delapan rumah yang membuat tas gitar,” tuturnya.
Hanya saja, ketimpangan antara kemampuan produksi dan banyaknya pesanan membuat Hartono tak mau mengumbar janji kepada pelanggannya terkait kepastian waktu penyelesaian. Ia pun menolak diberi uang muka.
"Saya tidak mau mengecewakan pelanggan, takutnya sudah menerima uang muka atau menjanjikan selesai tanggal tertentu, ternyata molor. Nanti mereka kecewa dan marah. Tapi saya tetap selalu berusaha memenuhi permintaan secepatnya," ujar ayah dua anak tersebut.
Untuk mendongkrak produksi, Hartono berusaha merekrut tenaga kerja tambahan. Namun, mencari tenaga kerja terampil ternyata tak mudah. “Ada yang tertarik bekerja di sini, namun tidak punya kemampuan menjahit. Padahal, syarat utama adalah harus bisa menjahit," ungkapnya.
Saya tidak mau mengecewakan pelanggan, takutnya sudah menerima uang muka atau menjanjikan selesai tanggal tertentu, ternyata molor. Nanti mereka kecewa dan marah. Tapi saya tetap selalu berusaha memenuhi permintaan secepatnya.
Untuk memperkuat modal usaha, dua tahun lalu, Hartono mengajukan pinjaman kepada Bank Jateng. Ia mengajukan pinjaman dengan plafon Rp 500 juta. "Saya pilih Bank Jateng karena bunganya rendah, 0,5 persen per bulan, " katanya.
Hartono mengaku, pernah meminjam kepada dua bank swasta sebelumnya, namun beban bunganya dirasakan terlalu tinggi yaitu 1,5-2 persen per bulan. Akhirnya, ia memutuskan beralih ke Bank Jateng. "Saya pinjam ke Bank Jateng dengan jangka waktu pengembalian 3 tahun karena tak ingin berlama- lama mengutang," katanya.
Tas gitar produksinya dijual dengan harga bervariasi. Tas yang paling kecil dan sederhana untuk ukulele, misalnya, dijual mulai dari Rp 10.000 per buah. Adapun, tas gitar paling bagus dihargai sekitar Rp 500.000. “Semakin bagus model dan bahannya, harganya juga semakin mahal,” ujar Hartono yang telah dikaruniai dua cucu.
Selain memenuhi permintaan toko-toko grosir alat musik di Kembangan, Sukoharjo, Hartono juga mengirimkan produknya ke toko-toko musik di berbagai kota, antara lain, Malang, Ponorogo, Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta.
Kini, Hartono bercita-cita memiliki merek sendiri. Sebab, selama ini, tas-tas gitar buatannya belum diberi merek sesuai kehendak pasar. “Saya ingin mengembangkan usaha dengan membuat produk yang beraneka ragam, seperti jenis tas hardcase dan tas sekolah,” katanya.
Hartono meyakini dua kunci utama agar usaha berkembang yaitu terus kreatif berinovasi dan menjaga kualitas produk. Dia juga memanfaatkan betul teknologi internet untuk mencari inspirasi model-model tas gitar termutakhir yang sesuai selera pasar.
Hartono
Lahir : Kembangan, Sukoharjo, 24 April 1970
Istri : Tumiyem (48)
Anak : Esti Umi (27), Tiara Harmilawati (19)
Cucu : 2 orang
Pendidikan
1. SDN 2 Ngrombo, Kecamatan Baki, Sukoharjo
2. Sekolah Teknik Negeri 8 Solo (setara SMP)