Abdul Aziz, Dalang di Balik Prestasi Atlet Difabel
Prestasi atlet di ajang Asian Para Games 2018 tak lepas dari peran pelatih atletik Abdul Aziz. Melalui tangan dinginnnya, lahirlah banyak atlet berprestasi. Bersama anggota dan pengurus Komite Paralimpiade Nasional (NPC) Indonesia, mantan atlet nasional ini juga mendorong adanya perlindungan dan penghargaan terhadap atlet-atlet difabel melalui Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
Bagi Aziz, perhelatan Asian Para Games 2018 menjadi ajang olahraga yang paling berkesan. Di ajang ini, harapan Aziz untuk melihat atlet-atlet difabel diterima dan mendapat sambutan penonton terwujud. Di Jakarta, atlet-atlet disabilitas yang biasanya tampil tanpa penonton, bisa merasakan atmosfer dukungan dari masyarakat Indonesia, bahkan menjadi inspirasi Asia.
Hal ini sungguh berbeda ketika Indonesia pertama kali menjadi tuan rumah kejuaraan penyandang disabilitas FESPIC Games (Far East and South Pacific Games for the Disabled) 1986 ataupun ASEAN Para Games 2011 di Solo, Jawa Tengah. Pada dua kejuaraan itu, tribune penonton selalu sepi. “Saya heran, kenapa justru di Asian Para Games 2018 yang dimainkan di Jakarta orang-orang mau menonton. Padahal, orang Jakarta sibuk dan mereka selalu terjebak kemacetan,” ujarnya.
Tampil di hadapan publik sendiri, tim “Merah Putih” berhasil memenuhi ambisi dengan menembus peringkat lima besar Asia. Diperkuat dengan 295 atlet dari 18 cabang olahraga, tim Indonesia meraup 37 emas, 47 perak, dan 51 perunggu. Aziz patut berbangga karena tim atletik yang dipimpinnya menjadi penyumbang medali terbanyak, dengan 6 emas, 12 perak, dan 10 perunggu.
Pada hari terakhir penyelenggaraan Asian Para Games, Jumat (12/10/2018) malam, Indonesia menambah perolehan dua medali dari nomor atletik. Rasyidi mempersembahkan perunggu di nomor lompat jauh (T44/62/64). Tim estafet universal 4x100 meter yang terdiri dari atlet Putri Aulia, Karisma Evi Tiarani, Sapto Yogo Purnomo, dan Jaenal Aripin, juga menyumbang perunggu.
Kemenangan atlet Indonesia membuat arena atletik di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, riuh dengan tepuk tangan. Sekitar 7.000 penonton yang terdiri dari orang dewasa dan anak-anak bersorak meneriakkan, “Indonesia! Indonesia!” Di pinggir lapangan, pelatih dan atlet menitikkan air mata. Mereka hanyut dengan rasa haru, bangga, dan bahagia dapat menorehkan sejarah.
Di antara para pelatih, wajah Azis bersinar. Ada raut rasa puas, gembira, dan lega, terpancar dari wajahnya. Perlombaan terakhir cabang atletik berakhir pukul 23.00. Selepas itu, Aziz bersama sejumlah pelatih bersantai arena latihan yang berada di Stadion Madya, GBK.
Aziz duduk di atas matras sambil mendengarkan musik. Dirinya merasa puas terutama karena tim atletik Indonesia bisa memperoleh medali melampaui target tiga medali emas. “Saya sama sekali tidak punya beban karena target terpenuhi. Beban hanya akan terasa kalau target pelatih tidak tercapai,” ujarnya. Prestasi atlet telah melunasi peluh dan rasa lelah yang dirasakan Aziz sejak pelatnas bergulir setahun menjelang Asian Para Games.
Beragam peran
Sebagai pelatih atlet difabel, tugas Aziz beragam. Mulai dari memastikan anak didiknya bisa mencapai target prestasi yang ditetapkan, mengurus perlengkapan dan peralatan, hingga mengurus administrasi lomba. Selama Asian Games, Aziz selalu tidur selepas pukul 02.00 dini hari. Dia hanya tidur 2-3 jam, karena harus kembali membantu atlet menyiapkan kebutuhan lomba.
Azis merupakan salah satu dalang di balik perjuangan atlet-atlet difabel. Dia pernah merasakan asam-garam kehidupan jadi atlet difabel pada tahun 1982-1996. Bukan hanya tampil tanpa penonton, penghargaan dari pemerintah pun nihil. Padahal, atlet-atlet disabilitas dan non-disabilitas sama-sama berjuang untuk mengibarkan bendera merah-putih di kejuaraan internasional.
Selepas jadi atlet, Aziz kemudian terpanggil untuk memperjuangkan harkat dan martabat mereka yang berkebutuhan khusus. Aziz mengawalinya dengan menjadi pelatih atletik dan sepak bola pada 2000. Pelatih asal Jombang, Jawa Timur ini merekrut atlet dari Pusat Rehabilitasi Prof Dr Soeharso. Atlet berlatih di GOR Sriwedari, Solo.
Meski Aziz terkesan galak, tetapi dari ketegasan itulah yang lahir atlet-atlet profesional. Mereka yang awalnya tak mengenal olahraga, dilatih agar bisa berkompetisi bahkan berprestasi. Dari tangan dingin Aziz lahirlah antara lain atlet lompat jauh Setiyo Budihartanto, dan pebalap sepeda tangan Doni Yulianto dan Jaenal Aripin. Di bawah bimbingan pelatih dengan tangan satu ini, kaum disabilitas yang mulanya merasa tak punya harapan menjadi punya masa depan, lebih percaya diri, mandiri, dan dapat hidup setara dengan masyarakat umum.
Pada 2011 Aziz mulai melatih balap sepeda tangan. Ketika itu, dia menjabat sebagai Ketua Pembinaan Prestasi NPC Jawa Tengah. “Saya punya misi untuk mengalahkan Jabar pada Pekan Paralimpiade Nasional,” ujarnya.
Aziz lalu merekrut orang dengan kursi roda untuk menjadi atlet. Dengan alat las seadanya, dia memasang roda tambahan di bagian depan pada kursi roda agar bisa dipakai untuk berlomba. Disiplin dan mengandalkan kreativitas dalam melatih mengantar tim Paralimpiade Jateng menjadi juara umum Paralimpiade Riau 2012. Selanjutnya, Aziz mengasah kemampuan atlet agar bisa bersaing di tingkat Asia Tenggara, bahkan dunia.
Salah satu anak didiknya, Jaenal Aripin (T54) kini menempati peringkat 10 besar dunia untuk nomor lomba 100 dan 200 meter. Baru-baru ini Jaenal meraih medali emas Kejuaraan Dunia 2018. Aziz juga berperan melatih atlet lompat jauh Setiyo Budihartanto yang tidak pernah absen menyumbangkan medali untuk Indonesia pada ajang ASEAN Para Games sejak Manila, Filipina 2005. Setiyo menyumbangkan medali di Asian Para Games 2014 dan 2018.
Saya punya pemikiran bagaimana caranya mengangkat harkat martabat teman-taman disabilitas melalui olahraga
Aziz menuturkan, dirinya tak pernah menyangka akan berkiprah di dunia olahraga. Selepas dari pesantren di Jombang, Aziz bergabung dengan Pusat Rehabilitasi Prof Dr Soeharso untuk berlatih keterampilan. Di sana, dia malah diarahkan menjadi atlet atletik di Yayasan Pembina Olahraga Cacat (YPOC), yang didirikan oleh Prof Dr Soeharso dan Pairan Manurung.
Ketika menjadi atlet, Aziz menorehkan sejumlah prestasi, seperti meraih medali emas nomor lari jarak 800 meter di Kejuaraan FESPIC Games 1986. Setelah pensiun menjadi atlet, Aziz terpanggil untuk tetap berkontribusi bagi negara ini. “Saya punya pemikiran bagaimana caranya mengangkat harkat martabat teman-taman disabilitas melalui olahraga,” ujar Aziz.
Pada 1982, YPOC kemudian berganti menjadi Badan Pembina Olahraga Cacat (BPOC). Selanjutnya, pada 2001, BPOC atau yang kini dikenal sebagai Komite Paralimpiade Nasional Indonesia (NPC), menggelar musyawarah nasional dan memilih Senny Marbun sebagai Ketua. Saat itu, Aziz bergabung menjadi pelatih dan pengurus. Sejak saat itu, NPC memperjuangkan atlet-atlet difabel melalui Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
Aziz menuturkan, atlet difabel merasakan dampak signifikan dengan lahirnya undang-undang. Dukungan anggaran untuk pelatnas dan kejuaraan, misalnya, tak lagi kembang-kempis seperti dulu. “Dulu, kalau mau ikut kejuaraan anggaran sudah habis untuk menyablon kaos seragam kontingen. Sekarang, ada anggaran untuk tiket pesawat, seragam, sepatu, dan uang saku,” ujarnya.
Meski keberadaan Undang-undang sudah menciptakan perubahan, menurut Aziz, atlet difabel masih menjumpai sejumlah tantangan. “Masih banyak pemimpin daerah yang kurang paham dengan undang-undang itu, sehingga dukungan juga kurang maksimal,” katanya.
Keterbatasan anggaran kerap membuat atlet tidak bisa selalu ikut dalam kejuaraan multicabang. Saat berlaga di ASEAN Para Games 2008 di Thailand, Kontingen Indonesia hanya terdiri dari 40 orang, yaitu 25 atlet dan 15 tim pendukung. Namun, putra-putri bangsa bisa merebut 33 emas, 25 perak, 18 perunggu, dan menempati peringkat keempat.
Prestasi membuat atlet dikenal masyarakat. Atlet juga merasa lebih percaya diri karena bisa hidup mandiri. Apalagi, saat ini atlet disabilitas mendapatkan bonus sama besar dengan non-disabilitas dan mendapatkan jaminan untuk diangkat sebagai PNS sehingga kesejahteraan lebih terjamin. “Kalau dulu mau mencari atlet susah. Diajak berlatih sepak bola saja mereka akan bertanya, ada uangnya tidak. Sekarang, banyak atlet malah berlomba-lomba bergabung dengan NPC,” ujarnya.
Abdul Aziz
Lahir: Jombang, Jawa Timur, 18 Desember 1964
Pekerjaan:
- Koordinator Depatemen Cabang Olahraga NPC
- Pelatih kepala tim atletik Asian Para Games 2018
Pengalaman Pelatih:
- Membina atlet ASEAN Para Games 2001 – sekarang
- Ketua Bidang Pembinaan Prestasi NPC Jateng 2007-2011
- Pemilik klub BKR Racing di Solo, Jateng, 2007 – sekarang