Mustafa Badrun, Penjaga Manfaat Hutan Desa Sapat
Pada tahun 1997, Mustafa Badrun muda berlibur selama sepekan untuk menjumpai orang tuanya di Sapat, sebuah pulau kecil di perairan Kuala Indragiri, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau (sekitar 340 kilometer dari Pekanbaru). Waktu itu ia baru tamat pendidikan Pesantren Darul Islah di Jakarta. Rencananya, setelah melepas rindu dengan keluarga dan teman masa kecil, ia kembali ke Jakarta untuk menuntut ilmu lebih tinggi.
Rencana itu buyar. Ayahnya Badrun, guru madrasah di dusun kecil di Sapat, memintanya menetap di kampung. Badrun berharap, putranya dapat meringankan pekerjaan di kampung. Mustafa mematuhi arahan ayahnya.
Setelah kembali ke kampung, Mustafa merasa ada yang hilang. Ia tidak lagi merasakan suasana indah masa kecil di aliran Sungai Batang di depan rumahnya.
“Sewaktu kecil saya sering bermain di sungai itu. Sambil bermain kami menangkap udang galah hanya dengan tangan. Sewaktu saya kembali ke kampung, jangankan udang galah, udang kecil pun sulit ditemukan,” kata Mustafa mengenang kepulangannya dalam perbincangan dengan Kompas di Sapat, akhir Oktober 2018.
Setelah mengamati perilaku warga, Mustafa menyadari ada yang tidak beres dalam pola penangkapan ikan di kampungnya. Ternyata, warga menggunakan racun. Pantas saja ikan, udang dan kepiting di sungai itu lenyap. Racun telah mematikan seluruh satwa di sungai itu.
Pola meracun ikan itu awalnya bukan perbuatan warga kampung. Mereka meniru nelayan tetangga mengambil ikan menggunakan racun, menyetrum dan mengebom ikan di sungai itu.
“Warga kami ikut-ikutan. Mereka berdalih, \'kalau orang luar boleh (meracun ikan), mengapa kami (yang hidup di sisi sungai) tidak boleh\',” ucap Mustafa .
Meski sudah kehilangan pendapatan dari sungai, kehidupan warga Sapat waktu itu belum terlalu berdampak. Warga memiliki pencarian yang lebih bagus dari kebun kelapa.
Kampung Sapat dulunya adalah kawasan hutan mangrove yang asri. Hutan itu merupakan tempat ikan, udang dan kepiting bertelur dan berkembang biak. Pada pertengahan tahun 1970-an, puluhan warga terutama dari Sungai Luar, Kecamatan Batang Tuaka, Indragiri Hilir, bermigrasi ke daerah baru itu untuk mencari penghidupan baru.
Badrun pun pindah ke ujung Kampung Sapat pada 1979 dengan membawa Mustafa kecil yang masih berusia tiga tahun. Warga pendatang kemudian membuka hutan mangrove dan menanam kelapa. Sebelum kelapa berproduksi, warga menangkap ikan, udang dan kepiting di Sungai Batang yang membelah hutan sebagai penghasilan keluarga.
Pada saat ikan habis akibat diracun, warga mengandalkan kebun kelapa. Harga kelapa waktu itu masih sangat baik, berkisar Rp 2.000 sampai Rp 2.500 per butir. Rata-rata keluarga memiliki produksi 20.000 sampai 30.000 butir kelapa per tiga bulan. Dengan harga kelapa Rp 2.000 per butir,, penghasilan kotor warga mencapai Rp 60 juta. Setelah dipotong ongkos produksi, petani mengantongi uang Rp 45 juta per panen, atau penghasilan sebesar Rp 15 juta per bulan.
Sewindu terakhir, produksi kelapa menurun tajam. Penyebabnya, hutan mangrove yang rusak membuat air asin mengintrusi daratan. Kelapa sekarat dan mati. Di saat kebun rusak dan produksi menurun, harga kelapa justru anjlok sampai Rp 700 per butir. Di sisi lain, penghasilan dari sungai tidak ada lagi. Kehidupan warga menjadi kocar-kacir. Warga mendapat pukulan ganda yang telak. Sebagian besar warga tidak mampu bertahan. Selama satu dekade, dua pertiga warga RW 5 Sapat bermigrasi ke Tembilahan, mencari penghidupan baru.
Patroli
Mustafa yang kemudian terpilih menjadi Ketua RW 5 Sapat, bertahan. Ia mulai berpikir menyelamatkan kampungnya. Pada tahun 2013, saat pergi ke Tembilahan, ia tergerak membuat spanduk kecil berisi kata-kata “Dilarang Meracun. Jagalah Kami untuk Anak Cucu Kita”. Di bawah kalimat itu terdapat gambar ikan, udang dan kepiting.
“Saya pasang spanduk itu pengkolan (tikungan) sungai. Ternyata spanduk itu cukup berhasil. Nelayan yang meracun berkurang. Namun di sisi lain, penggunaan racun masih marak,” kata Mustafa.
Setelah spanduk, Mustafa mengumpulkan orang yang sepaham untuk menyosialisasikan cara menangkap ikan tanpa racun. Awalnya ia mendapat perlawanan dari warga yang ikut meracun. Namun lama kelamaan orang yang kontra semakin sedikit.
Pada tahun 2016, Mustafa diajak oleh Yayasan Mitra Insani (YMI), sebuah LSM lingkungan di Riau, untuk semakin intensif menyelamatkan hutan mangrove di desa itu. Upaya pengelolaan lingkungan pun menjadi semakin terstruktur. Secara rutin warga melakukan patroli sembari menangkap ikan dan udang di sungai.
“Kalau ada nelayan tetangga masuk, kami datangi dan mengajak mereka ikut menjaga lingkungan,” kata Mustafa.
Di pertengahan 2016, nyaris terjadi aksi massa tatkala warga Sapat menangkap basah dua nelayan tetangga sedang meracun ikan. Untungnya, Ketua RT 13 Saidah, yang hadir di lokasi dapat menenangkan warga yang marah. Jaring togok nelayan peracun dirusak, namun nelayan itu dibiarkan pulang. Kejadian itu tersiar jauh. Sejak saat itu tidak ada lagi nelayan tetangga meracun ikan di Sungai Batang.
Berkat pendampingan YMI, pada akhir 2017, Kementerian Lingkungan Hidup memberikan izin pemanfaatan hutan mangrove (perhutanan sosial) kepada warga Sapat bersama tiga desa lainnya di Kuala Kampar, yaitu Desa Perigi Raja, Sungai Piyai dan Tanjung Melayu. Mustafa ditunjuk sebagai Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa Sapat.
Menurut Abizar, pendamping warga dari YMI, empat hutan desa di Kuala Kampar, berada satu hamparan. Hutan Desa Sapat berada di tengah. Kalau hutan mangrove desa lain rusak, penyelamatan lingkungan hutan Sapat menjadi kurang berarti. Makanya warga desa lain diajak mengelola lingkungan. Masyarakat Sapat, terutama Mustafa, menjadi panutan pengelolaan hutan desa di Kuala Indragiri.
Sejak penggunaan racun dilarang, ikan, udang dan kepiting kini semakin banyak ditemukan di Sungai Batang. Di saat harga kelapa anjlok seperti sekarang, pekerjaan nelayan sudah mampu menyokong rumah tangga warga lagi. “Sekarang kami mengembangkan ekowisata dengan mengundang warga luar memancing di sungai kami,” kata Mustafa.
Menurut Mustafa, sejak melancarkan kampanye anti racun, produksi hasil laut dari Sungai Batang meningkat pesat. Pada tahun 2017, nelayan memperoleh penghasilan sebesar Rp 3,7 miliar dari pengelolaan sungai di tengah hutan desa terutama dari sumber daya seperti ikan, udang dan kepiting. Pada tahun 2018, Bupati Indragiri Hilir memberikan penghargaan Gemilang Award kepada warga Sapat yang berhasil menjaga ekosistem hutan mangrovenya.
Mustafa Badrun
Lahir: Batang Tuaka, 4 Agustus 1976
Istri: Latifah
Anak:
1. Zakiatul Hikmah (17)
2. Ahmad Syaukani (almarhum)
3.Ahmad Muslih (12)
4. Azkiatuzzahra (8)
5. Mohammad gazali (5).
Pendidikan:
- Madrasah Arrasyid Sapat 1990
- Madrasah Aliyah Batang Tuaka 1993
- Pesantren Darul Islah Jakarta 1997